Orang Yang Berhak Adzan Ketika Bepergian, Serta
Orang Yang Berhak Menjadi Imâm Ketika Shalat Berjamâ’ah Di Daerah Orang Lain
Hadis Pertama (hadis ini adalah lafazh Shahîh
Bukhârî):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ
قَالَ أَتَى رَجُلَانِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا
ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا.
“Muhammad bin Yûnus telah bercerita kepada
kami (kepada Muslim), dia (Muhammad bin Yûnus) berkata: “Sufyân telah bercerita
kepada kami (kepada Muhammad bin Yûnus) dari Khâlid al-Hadzdzâ’, dari Abî Qilâbah,
dari Mâlik bin al-Huwairis, dia (Mâlik bin al-Huwairis) berkata: “Ada dua orang
datang menemui Nabi SAW. mereka berdua hendak bepergian (safar). Maka Nabi SAW.
berkata (kepada kedua orang tersebut): “Apabila kamu berdua bepergian (musafir kemudian masuk waktu shalat),
maka adzanlah (salah satu dari kalian), kemudian
qamatlah (salah satu dari kalian), dan hendaklah
orang yang lebih tua yang menjadi Imâm (shalat)”. {HR. Bukhârî No. Hadis: 594. Muslim
No. Hadis: 1081. At-Tirmidzî No. Hadis: 189. An-Nasâ-î No. Hadis: 630 dan 773.
Ibnu Mâjah No. Hadis: 969}.
PENJELASAN:
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî berkata dalam Fath
al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârînya: “Hadis di atas dalam konteks “SAFAR (bepergian)”, yang mana dalam hal ADZAN itu diserahkan kepada KEHENDAK (keinginan) MASING-MASING INDIVIDU yang mau
adzan maupun iqamah. Lain halnya dengan orang yang berhak menjadi IMÂM SHALAT, maka diserahkan kepada ORANG YANG LEBIH TUA UMURNYA”.
Hadis Kedua (hadis ini adalah lafazh Shahîh
Muslim):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ
قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ إِسْمَعِيلَ
بْنِ رَجَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَوْسَ بْنَ ضَمْعَجٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا مَسْعُودٍ
يَقُولُا قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ
لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً
فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ
وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا
أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ.
“Muhammad bin al-Mutsannâ
dan Ibnu Basysyâr telah bercerita kepada kami (kepada Muslim), Ibnu al-Mutsannâ
berkata: “Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu al-Mutsannâ)
dari Syu’bah, dari Isma’îl bin Rajâ’, dia (Isma’îl bin Rajâ’) berkata: “Saya (Isma’îl
bin Rajâ’) mendengar Uwas bin Dham’aj berkata: “Saya (Uwas bin Dham’aj) mendengar
‘Abdullâh bin Mas’ûd berkata: “Rasûlullâh SAW. berkata kepada kami (kepada para
Sahabat): “Orang yang paling berhak menjadi Imâm (Shalat)
yaitu yang paling menguasai (memahami) al-Qurân
dan yang paling baik (unggul) bacaan al-Qurânnya.
Jika dalam hal bacaan setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah)
yang terlebih dulu hijrah. Jika dalam hal
hijrah setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah) yang paling tua usianya. Dan jangalah kalian mengimami (shalat) suatu kaum yang bukan kaumnya
dan juga bukan daerah tempat tinggalnya, serta janganlah mukim (menginap)
di suatu rumah kecuali dengan izinya (maksudnya: kecuali
mendapatkan izin ataupun dipersilahkan menjadi Imâm Shalat oleh penduduk setempat)”. {HR. Muslim No. Hadis: 1078 dan 1079. At-Tirmidzî
No. Hadis: 218. An-Nasâ-î No. Hadis: 772 dan 775. Abû Dâwud No. Hadis: 494. Ibnu
Mâjah No. Hadis: 970. Imâm Ahmad bin Hanbal No. Hadis: 16446, 16472 dan 21308}.
PENJELASAN:
Imâm an-Nawawî berkata dalam Syarh Shahîh
Muslim li an-Nawawînya: “Orang yang paling berhak
menjadi Imâm Shalat adalah yang paling menguasai
(memahami) al-Qurân, kemudian yang paling
baik bacaan al-Qurânnya, kemudian yang paling
dulu berhijrah, kemudian yang paling tua umurnya.
Hadis di atas juga mengandung larangan bagi seseorang
yang mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan kaum (warga) nya, juga melarang
mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan di daerah tempat tinggalnya.
Apabila dipersilahkan (dizinkan) oleh warga setempat,
maka ia boleh menjadi Imâm Shalat mereka. Karena mendapatkan izin (untuk menjadi Imâm Shalat) di suatu kaum yang
bukan kaumnya, dan juga bukan di daerah tempat tinggalnya itu lebih afdhal (lebih
utama) daripada mengimami mereka tanpa keridhaan (kerelaan) dan tanpa izin mereka”.
KESIMPULAN:
1. Dalam hal ADZAN maupun IQAMAH itu diserahkan kepada masing-masing individu yang mau adzan dan iqamah.
2. Namun, masalah Imâm Shalat itu disyari’atkan
kepada orang yang paling menguasai (memahami) al-Qurân;
kemudian yang paling baik bacaan al-Qurânnya;
kemudian yang paling dahulu hijrah; kemudian
yang paling tua umurnya.
3. Apabila mengimami shalat suatu kaum (penduduk)
yang bukan kaumnya, juga bukan di daerah tempatnya tinggalnya, apabila tidak mendapatkan
izin dari warga (penduduk) setempat, maka janganlah mengimami mereka.
Karena mendapatkan izin untuk menjadi Imâm Shalat itu
lebih utama (afdhal) daripada mengimami mereka tanpa ridhâ (kerelaan)
dan izin mereka.
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li al-Bukhârî
(Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li Muslim
(Imâm Muslim/al-Imâm Abû al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’
ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Fath
al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârî (al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
Musnad
al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal
(Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Sunan Abî Dâwud (al-Hâfizh Abû Dâwud/al-Imâm
al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats
as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan ad-Dârimî (ad-Dârimî).
Sunan an-Nasâ-î
al-Kubrâ (al-Hâfizh an-Nasâ-î/al-Hâfizh
Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin
Syu’aib
bin ‘Alî bin Bahr bin Sunân bin Dînâr an-Nasâ-î).
Sunan Ibn Mâjah (al-Hâfizh
Ibnu Mâjah/al-Hâfizh Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd
al-Qazwînî Ibnu
Mâjah).
Syarh Shahîh Muslim li Imâm an-Nawawî (Imâm an-Nawawî).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar