Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 127
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى
النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
...................... (١٢٧)
127. Dan mereka[1]
meminta fatwa kepadamu (kepada Nabi SAW.) tentang para wanita. Katakanlah (wahai Muhammad): "Allah memberi fatwa kepadamu (kepada kaum
Muslimîn) tentang mereka (tentang para wanita), dan apa yang dibacakan kepadamu (kepada kaum Muslimîn) dalam al-Quran[2]; (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang mana kamu (kaum Muslimîn) tidak memberikan kepada mereka (kepada wanita yatim tersebut) apa[3]
yang ditetapkan untuk mereka (untuk wanita yatim tersebut), sedangkan kamu (kaum Muslimîn) ingin menikahi mereka (menikahi wanita yatim tersebut)[4]….........................
Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (6/58):
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْعَامِرِيُّ الْأُوَيْسِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ قَوْلِ
اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لَا تُقْسِطُوْا فِيْ الْيَتَامَى...................} (٣). فَقَالَتْ {عَائِشَةُ}: يَا ابْنَ
أُخْتِي, هِيَ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِي حَجْرِ وَلِيِّهَا تُشَارِكُهُ فِي مَالِهِ
فَيُعْجِبُهُ مَالُهَا وَجَمَالُهَا فَيُرِيدُ وَلِيُّهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِغَيْرِ
أَنْ يُقْسِطَ فِي صَدَاقِهَا فَيُعْطِيهَا مِثْلَ مَا يُعْطِيهَا غَيْرُهُ فَنُهُوا
أَنْ يُنْكِحُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ وَيَبْلُغُوا بِهِنَّ أَعْلَى
سُنَّتِهِنَّ مِنْ الصَّدَاقِ وَأُمِرُوا أَنْ يَنْكِحُوا مَا طَابَ لَهُمْ مِنْ النِّسَاءِ
سِوَاهُنَّ قَالَ عُرْوَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ اسْتَفْتَوْا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ هَذِهِ الْآيَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ:
{وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ..............}, إِلَى قَوْلِهِ: {وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ.............} (١٢٧).
“(SANAD PERTAMA) telah
bercerita kepada kami (Bukhârî) ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh al-‘Âmirî al-Uwaysî[5],
katanya (‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh al-‘Âmirî al-Uwaysî): “Ibrâhîm bin Sa’d[6]
telah bercerita kepada kami (‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh al-‘Âmirî al-Uwaysî) dari
Shâleh[7]
dari Ibnu Syihâb[8],
katanya (Ibnu Syihâb): “Telah mengabarkan kepada saya (Ibnu Syihâb) ‘Urwah bin az-Zubair,
bahwa: “Dia (‘Urwah bin az-Zubair) bertanya kepada ‘Âisyah”. (SANAD KEDUA) dan
kata Laits[9]:
“Yûnus[10]
telah bercerita kepada saya (Laits) dari Ibnu Syihâb, katanya (Ibnu Syihâb):
“Telah mengabarkan kepada saya (Ibnu Syihâb) ‘Urwah bin az-Zubair[11]
bahwa: “Dia (‘Urwah bin az-Zubair) bertanya kepada ‘Âisyah[12]
tentang Firman Allah SWT. (Surat
an-Nisâ’, Ayat: 3):
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى.......................... (٣)
3. Dan jika kamu takut (khawatir) tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan Yatim (bilamana kamu menikahinya)………………”.
“Dan dia (‘Âisyah) berkata: “Wahai putera saudara perempuanku, perempuan
yatim yang dimaksud dalam Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 3) tersebut adalah perempuan yatim
yang berada dalam asuhan walinya yang mengurus hartanya; kemudian wali tersebut
terpikat kepada harta dan kecantikan perempuan yatim tersebut hingga dia (walinya)
ingin menikahinya (menikahi perempuan yatim yang diasuhnya) tanpa berlaku adil
dalam memberikan mahar (maskawin) yakni: hanya memberinya mahar (maskawin) sebanding
dengan apa yang diberikan laki-laki lain kepada para perempuan yatim pada
umumnya. Dengan adanya kasus tersebut, maka wali yang mengasuh perempuan yatim itu
dilarang menikahinya (menikahi perempuan yatim yang diasuhnya) kecuali jika
bisa berlaku adil dan memberinya mahar (maskawin) lebih tinggi daripada yang
diberikan oleh laki-laki lain pada umumnya. Para wali yatim tersebut
diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka (jika
mereka takut/khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan
yatim yang ada dalam perwalian mereka)”. Dia (‘Urwah bin az-Zubair) berkata: “Ia (‘Âisyah) berkata: “Sesudah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 3) ini, kemudian orang-orang (kaum
Muslimîn) meminta fatwa
kepada Rasûlullâh SAW;
maka Allah SWT. menurunkan:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ............... (١٢٧)
127. Dan mereka (kaum Muslimîn) meminta fatwa kepadamu (kepada Nabi SAW.) tentang para wanita………………….”.
“Hingga (sampai):
...........وَتَرْغَبُونَ
أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ ........... (١٢٧)
127. …………….sedangkan kamu (kaum Muslimîn) ingin menikahi mereka (menikahi wanita yatim tersebut)………………”.
KETERANGAN:
Imâm Bukhârî mengulangi sebagaimana
Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh
li al-Bukhârînya (halaman: 320, 9/308, 11/39 dan 11/103). Imâm Muslim juga
meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi ash-Shahîh li Muslimnya (18/154 dan 18/155). Al-Hâfizh[13] Abû Dâwûd juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan
Abî Dâwûdnya (2/184). Al-Hâfizh an-Nasâ-î juga meriwayatkan
sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/95). Ad-Dâruquthnî juga
meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan ad-Dâruquthnînya (3/265).
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurânnya
(5/301). Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada
Imâm Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li
al-Bukhârînya (6/58).
PENJELASAN
(kedudukan hadis di atas):
Atsar[14] ‘Âisyah binti Abû Bakar
ash-Shiddîq di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’,
maksudnya: hadis Mawqûf[15]
yang dihukumi Marfu’[16].
Karena para Muhadditsîn[17]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Âisyah binti
Abû Bakar ash-Shiddîq di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Âisyah binti
Abû Bakar ash-Shiddîq di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li al-Bukhârî
(Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li Muslim
(Imâm Muslim/al-Imâm Abû al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(al-Hâfizh as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Sunan Abî
Dâwud (al-Hâfizh Abû Dâwud/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif
al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî
al-Azadî).
Sunan
ad-Dâruquthnî
(ad-Dâruquthnî).
Sunan an-Nasâ-î
al-Kubrâ (al-Hâfizh an-Nasâ-î/al-Hâfizh
Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin
Syu’aib
bin ‘Alî bin Bahr bin Sunân bin Dînâr an-Nasâ-î).
[1] Mereka dalam
Ayat ini, yaitu: Kaum Muslimîn.
[4] Menurut Adat Arab Jâhiliyyah: Seorang Wali berkuasa
atas wanita yatim yang dalam asuhannya, dan juga berkuasa atas hartanya. Jika
wanita yatim itu cantik dikawini (oleh walinya yang mengasuhnya) dan diambil
hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya (dihalangi oleh walinya
yang mengasuhnya untuk) kawin (menikah) dengan laki-laki yang lain supaya dia
(wali yang mengasuhnya) tetap menguasai hartanya. Kebiasaan tersebut kemudian
dilarang oleh Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 127.
[5] Nama sebenarnya
yaitu: ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh bin Yahyâ bin ‘Amrû bin Uwais. Ia (Uwais) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Uwaisî al-Qurasyî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Qâsim. Tempat tinggalnya
di Madînah.
[6] Nama lengkapnya
yaitu: Ibrâhîm bin Sa’d bin Ibrâhîm bin ‘Abdurrahmân bin ‘Auf. Ia (Ibrâhîm bin
Sa’d) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Nasab
(keturunan) nya yaitu: az-Zuhrî al-Qurasyî. Kuniyah (nama akrab)
nya yaitu: Abû Ishâq. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibrâhîm
bin Sa’d) wafat pada tahun 185 Hijriyah.
[7] Nama
lengkapnya yaitu: Shâleh bin Kaisân. Ia (Shâleh bin Kaisân) merupakan seorang
yang hidup semasa (bersama) dengan Tâbi’în pertengahan. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Madanî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu:
Abû Muhammad. Tempat tinggalnya di Madînah.
[8] Nama sebenarnya
yaitu: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin Syihâb. Ia (Ibnu Syihâb) merupakan seorang yang hidup semasa (bersama) dengan Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî
az-Zuhrî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bakr. Tempat
tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Syihâb) wafat pada tahun 124 Hijriyah.
[9] Nama
lengkapnya yaitu: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân. Ia (Laits) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Fahimî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hârits. Tempat tinggalnya
di Marwa. Ia (Laits) wafat pada tahun 175 Hijriyah.
[10] Nama
lengkapnya yaitu: Yûnus bin Yazîd bin Abî
an-Najâd. Ia (Yûnus) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Iîlî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Zaid. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia (Yûnus)
wafat di Marwa pada tahun 159 Hijriyah.
[11] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwâm bin Khuwailid bin Asad bin
‘Abdul ‘Izzî bin Qushay. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) merupakan
seorang Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh.
Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) wafat pada tahun
93 Hijriyah.
[12] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq. Ia (‘Âisyah) merupakan
salah satu isteri Nabi SAW; serta ia (‘Âisyah) telah meriwayatkan 2.210 Hadîts. Nasab
(keturunan) nya yaitu: at-Taymiyyah. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Ummu ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Âisyah)
wafat di Madînah pada tahun 58 Hijriyah.
[13] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[14] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[15] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[16] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[17] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar