Jumat, 17 Februari 2012

HUKUM ONANI MENURUT PARA 'ULAMA


HUKUM ONANI MENURUT PARA 'ULAMA


PENDAPAT PARA ‘ULAMA MENGENAI ONANI:
1.         Mereka yaitu para ’Ulamâ Mâlikiyah, Syâfi’îyah, dan Zaidîyah yang MENGHARAMKAN ONANI. Argumentasi mereka adalah: ”Bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk isteri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn)”.
Jika seseorang melampaui dua hal tersebut dan dia beronani, maka dia dianggap seperti Kaum ’Âd yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah SWT. berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)
إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧)
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari di balik (selain) itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. {Surat al-Mu’minûn (23), Ayat: 5-7}.

2.         Mereka adalah para ’Ulamâ Hanafîyah yang berpendapat bahwa: ONANI HARAM dalam kondisi tertentu dan WAJIB dalam kondisi yang lain”. Mereka mengatakan: Onani menjadi WAJIB, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan Kaidah Fikih:
إِرْتِكَابُ أَََخَفِّ الضَّرَرَيْنِ.
Mengambil perbuatan teringan dari dua mudharat (bahaya yang ada)”.

Sedangkan mereka yang mengatakan HARAM, jika dilakukan UNTUK MEMANCING NAFSU. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki isteri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.

3.         Mereka adalah para ’Ulamâ Mazhab Hanbalî yang mengatakan bahwa: ONANI hukumnya HARAM, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai isteri atau budak wanita. Dia juga belum mampu menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia DIBOLEHKAN BERONANI.
4.         ‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Athâ’ memakruhkan onani.
5.         ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dan Hasan al-Bashrî membolehkan onani.
6.         Ibnu Hazm berpendapat bahwa: ONANI hukumnya MAKRUH DAN TIDAK BERDOSA, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan Ijmâ (kesepakatan para ’Ulamâ). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali apabila sengaja mengeluarkan mani. {Fiqh as-Sunnah, vol. 3, halaman: 424-426}.




KESIMPULAN:
Dari berbagai macam pendapat di atas, saya (Jati Sarwo Edi) berpendapat bahwa ONANI hukumnya adalah HARAM. DAN DALAM KONDISI TERTENTU DIBOLEHKAN, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus. Kondisi tertentu tersebut antara lain seperti: Untuk kasus sepasang suami-isteri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. Juga dibolehkannya seorang isteri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani suaminya (maaf, dengan tangan isteri tersebut) yang mana isterinya sedang terhalang secara Syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami-isteri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim, Kitab: al-Haidh (646):
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: "وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِإِلَى آخِرِ الآيَةِ. {البقرة الآية: 222}. فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. {رواه مسلم}.
“Telah menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa  (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu, lalu turun Ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2), Ayat: 222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama”. {HR. Muslim}.

Selain itu, artinya bagi mereka yang MEMBIASAKAN BERONANI dan tidak dalam kondisi dharurah (bahaya), maka ia telah BERMAKSIAT dan melakukan perbuatan yang termasuk kategori PENGANTAR MENUJU ZINA. Padahal Allah SWT. berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
32. “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji (haram) dan suatu jalan yang buruk (dosa besar)”. {Surat al-Isrâ’ (17), Ayat: 32}.

Al-Jurjawî berkata: ”Dari segi kesehatan, jika ONANI maupun MASTURBASI itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, maka dapat menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum). {al-Jurjawi, 1931: 198-199}.



Beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap Muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan Onani ini di antaranya sebagai berikut:
a.    Menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktifitas yang bermanfaat.
b.   Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan maksiat dan nafsu syahwat seperti bacaan, film, dan media yang berbau pornografi dan lain-lainnya.
c.  Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana Rasulullah SAW. menganjurkannya untuk berpuasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar