HUKUM ONANI MENURUT PARA 'ULAMA
PENDAPAT PARA ‘ULAMA MENGENAI ONANI:
1.
Mereka yaitu para ’Ulamâ Mâlikiyah,
Syâfi’îyah, dan Zaidîyah yang MENGHARAMKAN
ONANI. Argumentasi mereka adalah: ”Bahwa Allah memerintahkan
untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk isteri dan budak
yang dihalalkan (milku al-yamîn)”.
Jika seseorang melampaui
dua hal tersebut dan dia beronani, maka dia dianggap
seperti Kaum ’Âd yang melampaui batas dari apa yang
dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah SWT. berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)
إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ (٧)
5.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6.
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7.
Barangsiapa mencari di balik (selain) itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. {Surat al-Mu’minûn (23), Ayat: 5-7}.
2.
Mereka adalah para ’Ulamâ Hanafîyah
yang berpendapat bahwa: ”ONANI HARAM
dalam kondisi tertentu dan WAJIB dalam
kondisi yang lain”. Mereka mengatakan: “Onani
menjadi WAJIB, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai
dengan Kaidah Fikih:
إِرْتِكَابُ أَََخَفِّ
الضَّرَرَيْنِ.
“Mengambil perbuatan teringan dari dua mudharat
(bahaya yang ada)”.
Sedangkan mereka yang
mengatakan HARAM, jika dilakukan UNTUK MEMANCING NAFSU. Mereka mengatakan: “Tidak
apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum
memiliki isteri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.
3.
Mereka adalah para ’Ulamâ Mazhab Hanbalî
yang mengatakan bahwa: ”ONANI hukumnya
HARAM, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai isteri
atau budak wanita. Dia juga belum mampu
menikah. Maka dalam kondisi
seperti ini dia DIBOLEHKAN BERONANI”.
4.
‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Athâ’ memakruhkan onani.
5.
‘Abdullâh bin ‘Abbâs dan Hasan al-Bashrî membolehkan onani.
6.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa: “ONANI hukumnya
MAKRUH DAN TIDAK BERDOSA, sebab seseorang
menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan
Ijmâ (kesepakatan para ’Ulamâ). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah
dari sifat mubah, kecuali apabila sengaja mengeluarkan mani”. {Fiqh as-Sunnah, vol. 3, halaman: 424-426}.
KESIMPULAN:
Dari berbagai macam
pendapat di atas, saya (Jati Sarwo Edi) berpendapat bahwa ONANI hukumnya adalah HARAM. DAN DALAM KONDISI TERTENTU DIBOLEHKAN, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus.
Kondisi tertentu tersebut antara lain seperti: Untuk kasus sepasang suami-isteri yang
terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah
melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. Juga dibolehkannya seorang isteri yang sedang dalam keadaan
haid membantu keluarnya mani suaminya (maaf, dengan tangan isteri tersebut) yang mana isterinya sedang terhalang secara Syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami-isteri. Sebagaimana
merujuk pada sebuah riwayat dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim, Kitab: al-Haidh
(646):
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: "وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ … إِلَى آخِرِ الآيَةِ.
{البقرة الآية:
222}.
فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
{رواه
مسلم}.
“Telah menceritakan pada
kami Tsabit dari Anas ra. bahwa (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi
apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama,
bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu,
lalu turun Ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena
itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2), Ayat:
222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya
selain bersenggama”. {HR. Muslim}.
Selain itu, artinya bagi
mereka yang MEMBIASAKAN BERONANI dan tidak dalam kondisi dharurah (bahaya), maka
ia telah BERMAKSIAT dan melakukan
perbuatan yang termasuk kategori PENGANTAR MENUJU
ZINA. Padahal Allah SWT. berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
32. “Dan janganlah kamu
mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji (haram) dan
suatu jalan yang buruk (dosa besar)”. {Surat al-Isrâ’ (17),
Ayat: 32}.
Al-Jurjawî berkata: ”Dari
segi kesehatan, jika ONANI maupun MASTURBASI itu sering dilakukan
dan menjadi kebiasaan, maka dapat
menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran).
Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta
kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu
dengan sel telur wanita (ovum)”. {al-Jurjawi, 1931: 198-199}.
Beberapa langkah yang
dianjurkan agar setiap Muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan Onani ini
di antaranya sebagai berikut:
a.
Menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktifitas yang
bermanfaat.
b. Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan
maksiat dan nafsu syahwat seperti bacaan, film, dan media yang berbau
pornografi dan lain-lainnya.
c. Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika
belum mampu, sebagaimana Rasulullah SAW. menganjurkannya untuk berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar