Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
59.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
Ulil Amri[1]
di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian[2];
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan jalan[3]
terbaik.
Imâm Bukhârî
meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/322):
“Shadaqah
bin al-Fadhl telah bercerita kepada kami (Bukhârî), katanya (Shadaqah bin
al-Fadhl): “Hajjaj bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami (Shadaqah bin
al-Fadhl) dari ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) dari Ya’lâ
bin Muslim dari Sa’îd bin Jubair dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, (tentang Firman
Allah SWT. Surat an-Nisâ’,
Ayat: 59):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
59.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian; yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan jalan terbaik.
“Kata beliau (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Turun tentang ‘Abdullâh bin Hudzafah bin Qais ketika dia (‘Abdullâh bin Hudzafah bin Qais) diutus Nabi SAW. dalam satu pasukan ekspedisi”.
KETERANGAN dan PENJELASAN:
Kata Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya:
“Hadis di atas diriwayatkan oleh Jamâ’ah kecuali Ibnu Mâjah”.
Imâm Bukhârî
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad al-Kabîrnya (1/337).
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni
fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (5/147 dan 5/148). Ibnu al-Jarûd juga meriwayatkan
sebagaimana Hadis di atas dalam Muntaqâ Ibn al-Jarûdnya (halaman: 346).
Atsar[4] ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[5]
yang dihukumi Marfu’[6].
Karena para Muhadditsîn[7]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
PENJELASAN (dari al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî):
Kata
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) karya Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Yang dimaksud dalam
kisah ‘Abdullâh bin Hudzafah bin Qais itu dihubungkan dengan
sebab turunnya Ayat: 59, Surat an-Nisâ’:
............................. فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
59.
…………………………………………. Kemudian
jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian; yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan jalan
terbaik.
Ia (al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî) melanjutkan: “Karena di dalam kisah itu dituliskan adanya pembatasan antara taat pada perintah (Pemimpin), dan menolak perintah untuk terjun ke dalam api. Pada saat itu mereka (para pasukan kaum Muslim) memerlukan petunjuk bagaimana semestinya mereka (para pasukan kaum Muslim) lakukan. Maka Ayat: 59, Surat an-Nisâ’ diturunkan sebagai petunjuk kepada mereka (para pasukan kaum Muslim), apabila berselisih hendaknya dikembalikan kepada Allah SWT. dan Rasûl-Nya”.
PENJELAS (SYARH) HADIS DI ATAS OLEH IMÂM BUKHÂRÎ:
Imâm Bukhârî
meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/121):
“Telah bercerita kepada kami (Bukhârî) Musaddad, katanya (Musaddad): “Telah
bercerita kepada kami (Musaddad) ‘Abd al-Wahid, katanya (‘Abd al-Wahid): “Al-A’masy
telah bercerita kepada kami (‘Abd al-Wahid), katanya (al-A’masy): “Sa’îd bin
‘Ubaidah telah bercerita kepada saya (al-A’masy) dari Abu ‘Abd ar-Rahmân dari
‘Alî bin Abî Thâlib, katanya (‘Alî bin Abî Thâlib): “Nabi SAW. mengirim satu pasukan dan mengangkat seorang kaum Anshâr sebagai pimpinan
pasukan serta memerintahkan mereka (pasukan kaum Muslim) agar mentaatinya (mentaati
Pimpinannya). Suatu ketika dia
(Pimpinan pasukan yang telah diangkat oleh Nabi SAW) marah, seraya berkata: “Bukankah
Nabi SAW. telah memerintahkan kamu (pasukan kaum Muslim) untuk mentaatiku?”. Mereka (pasukan
kaum Muslim) menjawab: “Betul”. Katanya (Pimpinan pasukan yang telah diangkat
oleh Nabi SAW): “Kumpulkan kayu bakar untukku”. Lalu mereka (pasukan kaum
Muslim) mengumpulkannya (mengumpulkan kayu bakar). Dia (Pimpinan pasukan yang telah diangkat oleh Nabi SAW) berkata: “Nyalakan
api”. Mereka (pasukan kaum Muslim) pun menyalakannya (menyalakan
api). Dia (Pimpinan pasukan yang
telah diangkat oleh Nabi SAW) pun berkata: “Masuklah kalian (ke dalam api)”. Mereka
(pasukan kaum Muslim) pun ingin melakukannya (ingin
masuk ke dalam api), mulailah
yang satu menahan yang lainnya (agar tidak mentaati/mematuhi perintah
Pimpinannya yang memerintahkan untuk masuk ke dalam api), dan mereka (pasukan
kaum Muslim) berkata: “Kami (pasukan kaum Muslim) lari kepada Nabi SAW. dari
api (Neraka)”. Mereka (pasukan kaum Muslim) tetap dalam keadaan demikian (maksudnya:
tidak mentaati/mematuhi perintah Pimpinannya untuk masuk ke dalam api) sampai
api itu padam, dan marahnya (amarah Pimpinannya) pun reda. Berita ini sampai
kepada Nabi SAW. dan beliau SAW. berkata: “Kalau mereka (pasukan kaum Muslim)
masuk ke dalamnya (ke dalam api), niscaya mereka (pasukan kaum Muslim) tidak
keluar dari dalamnya (dari dalam api) sampai Hari Kiamat. Taat itu hanya dalam
kebaikan”.
KESIMPULAN:
Pemimpin pasukan dalam Hadis di atas
yaitu: ‘Abdullâh bin Hudzafah
bin Qais.
“Taat itu hanya dalam kebaikan”.
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm
Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin
Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî
(al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî/Ahmad
bin ‘Alî bin Hajar al-Asqalanî).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu
Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî).
Muntaqâ Ibn
al-Jarûd (Ibnu al-Jarûd).
Musnad
al-Kabîr (Imâm
Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin
al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî
al-Bukhârî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm
(Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
[1] Ulil Amri
artinya: Para pemimpin yang amanah, bijaksana, adil, jujur, kredibel, santun,
berakhlak mulia, tegas, cakap, baik, lugas, tawadhu’ (rendah hati),
sabar, tabah dan konsisten terhadap tanggung jawabnya.
[2] Hari Kemudian
maksudnya: Hari Akhir atau Hari Kiyamat.
[3] Jalan di sini
maksudnya: Cara-cara atau langkah-langkah.
[4] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[5] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[6] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[7] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar