Senin, 27 Februari 2012

Orang Yang Berhak Adzan Ketika Bepergian, Serta Orang Yang Berhak Menjadi Imâm Ketika Shalat Berjamâ’ah Di Daerah Orang Lain

Orang Yang Berhak Adzan Ketika Bepergian, Serta Orang Yang Berhak Menjadi Imâm Ketika Shalat Berjamâ’ah Di Daerah Orang Lain


Hadis Pertama (hadis ini adalah lafazh Shahîh Bukhârî):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَى رَجُلَانِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا.
“Muhammad bin Yûnus telah bercerita kepada kami (kepada Muslim), dia (Muhammad bin Yûnus) berkata: “Sufyân telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Yûnus) dari Khâlid al-Hadzdzâ’, dari Abî Qilâbah, dari Mâlik bin al-Huwairis, dia (Mâlik bin al-Huwairis) berkata: “Ada dua orang datang menemui Nabi SAW. mereka berdua hendak bepergian (safar). Maka Nabi SAW. berkata (kepada kedua orang tersebut): “Apabila kamu berdua bepergian (musafir kemudian masuk waktu shalat), maka adzanlah (salah satu dari kalian), kemudian qamatlah (salah satu dari kalian), dan hendaklah orang yang lebih tua yang menjadi Imâm (shalat). {HR. Bukhârî No. Hadis: 594. Muslim No. Hadis: 1081. At-Tirmidzî No. Hadis: 189. An-Nasâ-î No. Hadis: 630 dan 773. Ibnu Mâjah No. Hadis: 969}.

PENJELASAN:
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî berkata dalam Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârînya: “Hadis di atas dalam konteks “SAFAR (bepergian)”, yang mana dalam hal ADZAN itu diserahkan kepada KEHENDAK (keinginan) MASING-MASING INDIVIDU yang mau adzan maupun iqamah. Lain halnya dengan orang yang berhak menjadi IMÂM SHALAT, maka diserahkan kepada ORANG YANG LEBIH TUA UMURNYA.





Hadis Kedua (hadis ini adalah lafazh Shahîh Muslim):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَوْسَ بْنَ ضَمْعَجٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا مَسْعُودٍ يَقُولُا قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ.
“Muhammad bin al-Mutsannâ dan Ibnu Basysyâr telah bercerita kepada kami (kepada Muslim), Ibnu al-Mutsannâ berkata: “Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu al-Mutsannâ) dari Syu’bah, dari Isma’îl bin Rajâ’, dia (Isma’îl bin Rajâ’) berkata: “Saya (Isma’îl bin Rajâ’) mendengar Uwas bin Dham’aj berkata: “Saya (Uwas bin Dham’aj) mendengar ‘Abdullâh bin Mas’ûd berkata: “Rasûlullâh SAW. berkata kepada kami (kepada para Sahabat): “Orang yang paling berhak menjadi Imâm (Shalat) yaitu yang paling menguasai (memahami) al-Qurân dan yang paling baik (unggul) bacaan al-Qurânnya. Jika dalam hal bacaan setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah) yang terlebih dulu hijrah. Jika dalam hal hijrah setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah) yang paling tua usianya. Dan jangalah kalian mengimami (shalat) suatu kaum yang bukan kaumnya dan juga bukan daerah tempat tinggalnya, serta janganlah mukim (menginap) di suatu rumah kecuali dengan izinya (maksudnya: kecuali mendapatkan izin ataupun dipersilahkan menjadi Imâm Shalat oleh penduduk setempat). {HR. Muslim No. Hadis: 1078 dan 1079. At-Tirmidzî No. Hadis: 218. An-Nasâ-î No. Hadis: 772 dan 775. Abû Dâwud No. Hadis: 494. Ibnu Mâjah No. Hadis: 970. Imâm Ahmad bin Hanbal No. Hadis: 16446, 16472 dan 21308}.

PENJELASAN:
Imâm an-Nawawî berkata dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawînya: Orang yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah yang paling menguasai (memahami) al-Qurân, kemudian yang paling baik bacaan al-Qurânnya, kemudian yang paling dulu berhijrah, kemudian yang paling tua umurnya. Hadis di atas juga mengandung larangan bagi seseorang yang mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan kaum (warga) nya, juga melarang mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan di daerah tempat tinggalnya. Apabila dipersilahkan (dizinkan) oleh warga setempat, maka ia boleh menjadi Imâm Shalat mereka. Karena mendapatkan izin (untuk menjadi Imâm Shalat) di suatu kaum yang bukan kaumnya, dan juga bukan di daerah tempat tinggalnya itu lebih afdhal (lebih utama) daripada mengimami mereka tanpa keridhaan (kerelaan) dan tanpa izin mereka.



KESIMPULAN:
1.    Dalam hal ADZAN maupun IQAMAH itu diserahkan kepada masing-masing individu yang mau adzan dan iqamah.
2.    Namun, masalah Imâm Shalat itu disyari’atkan kepada orang yang paling menguasai (memahami) al-Qurân; kemudian yang paling baik bacaan al-Qurânnya; kemudian yang paling dahulu hijrah; kemudian yang paling tua umurnya.
3.    Apabila mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan kaumnya, juga bukan di daerah tempatnya tinggalnya, apabila tidak mendapatkan izin dari warga (penduduk) setempat, maka janganlah mengimami mereka. Karena mendapatkan izin untuk menjadi Imâm Shalat itu lebih utama (afdhal) daripada mengimami mereka tanpa ridhâ (kerelaan) dan izin mereka.

 

BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abû al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârî (al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Sunan Abî Dâwud (al-Hâfizh Abû Dâwud/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan ad-Dârimî (ad-Dârimî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (al-Hâfizh an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin
Syu’aib bin ‘Alî bin Bahr bin Sunân bin Dînâr an-Nasâ-î).
Sunan Ibn Mâjah (al-Hâfizh Ibnu Mâjah/al-Hâfizh Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd
al-Qazwînî Ibnu Mâjah).
Syarh Shahîh Muslim li Imâm an-Nawawî (Imâm an-Nawawî).




Minggu, 26 Februari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 62

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 62
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ (٦٢)
62. Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahûdi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shâbi-în[1], siapa saja di antara mereka[2] yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhîr[3] dan beramal saleh[4], mereka menerima pahala dari Tuhan (Allah) mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka[5] bersedih hati.



Al-Hâfizh[6] Ibnu Katsîr[7] mengeluarkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (Jilid. 1, Juz. 1, halaman: 284)[8], dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
قَالَ ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِيْ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِيْ عُمَرَ الْعَدَنِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِيْ نَجِِيْحٍ، عَنْ مُجَاهِدِ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيِّ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِّيْنِ كُنْتُ مَعَهُمْ، فَذَكَرْتُ مِنْ صَلاَتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: (إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ.......).
“Ibnu Abî Hâtim[9] berkata: “Telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî Hâtim) ayahku (ayahnya Ibnu Abî Hâtim), dia (ayahnya Ibnu Abî Hâtim) berkata: “Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî[10] telah bercerita kepada kami (kepada ayahnya Ibnu Abî Hâtim), dia (Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) berkata: “Sufyân[11] telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) dari Ibnu Abî Najîh[12] dari Mujâhid[13], dia (Mujâhid) berkata: “Salmân al-Fârisy[14] berkata: “Saya (Salmân) pernah bertanya kepada Nabi SAW. tentang pemeluk agama yang pernah saya (Salmân) anut, dan saya (Salmân) pun menerangkan cara Shalat dan Ibadah mereka”. Maka turunlah Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 62):
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ........... (٦٢)
62. Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahûdi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shâbi-în, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhîr………………….


KETERANGAN (dari para Muhadditsîn[15]):
Hadis di atas berkualitas shahîh[16], karena semua rawinya tsiqqât[17].
Al-Hâfizh[18] Ibnu Abî Hâtim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (1/127 atau No. Hadis: 636).
Al-Wâhidî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidînya (halaman: 16), melalui jalur sanad[19] ‘Amr bin Hammâd.
Ibnu ‘Asâkir juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Târîkh Ibn ‘Asâkirnya (21/418-419), melalui jalur sanad ‘Amr bin Hammâd.
Al-Hâfizh adz-Dzahabî[20] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sîr A’lâm an-Nubulâ’nya (1/522-525), melalui jalur sanad ‘Amr bin Hammâd.
Imâm Ibnu Jarîr[21] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman: 40-45)[22], melalui jalur sanad Mûsâ bin Hârûn.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[23] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 1, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (1/127 atau No. Hadis: 636). Beliau (al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî) juga mengeluarkan dalam ad-Dur al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûrnya (1/73).



PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[24] Salmân al-Fârisî di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[25] yang dihukumi Marfu’[26]. Karena para Muhadditsîn[27] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Salmân al-Fârisî di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Salmân al-Fârisî di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



PENJELASAN (dari al-Hâfizh[28] al-Jauzî):
Kata al-Hâfizh al-Jauzî[29] dalam Zâd al-Masîr fî at-Tafsîrnya (1/74)[30]: “Apakah Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 62) Muhkamah atau Mutasyâbihah?. Ada dua pendapat: 1. Mujâhid dan adh-Dhahâk berpendapat Muhkamah[31]. 2. Sedangkan Jamâ’ah Mufassirîn berpendapat Mansûkh[32] dengan Ayat (Surat âli-‘Imrân, Ayat: 85):
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٨٥)
85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia[33] di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.




BIBLIOGRAFI

Ad-Dur al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr (al-Hâfizh as-Suyûthî/al-Imâm al-Hâfizh
‘Abdurrahmân bin Abî Bakr Jalâluddîn as-Suyûthî).
Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidî (Imâm al-Wâhidî).
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/al-Imâm al-‘Âlim Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far ath-Thabarî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin Abî Bakr Jalâluddîn as-Suyûthî).
Sîr A’lâm an-Nubulâ’ (al-Hâfizh adz-Dzahabî/al-Imâm al-Hâfizh Syamsuddîn Abû ‘Abdullâh
Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qâymâz  at-Tirkamânî al-Ashl al-Muqri’
adz-Dzahabî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî/ al-Imâm al-Hâfizh Abû Muhammad
‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim ar-Râzî).
Târîkh Ibn ‘Asâkir (Ibnu ‘Asâkir).
Zâd al-Masîr fî at-Tafsîr (al-Hâfizh Ibnu al-Jauzî/asy-Syaikh al-Imâm al-‘Allâmah al-Hâfizh
al-Mu-arrakh Abû al-Faraj Ibnu al-Jauzî).



















[1] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 34-37): Mujâhid, Hasan al-Bashrî dan sebagian Mufassirîn menafsirkan kata “SHÂBI-ÎN” dengan: “Orang-orang Atheis (orang-orang yang tidak beragama)”. Sedangkan Ibnu Abî Najîh dan Mujâhid menafsirkan kata “SHÂBI-ÎN” dengan: “Kaum Atheis (orang-orang yang tidak beragama) antara kaum Yahûdi dan Majûsi”. ‘Athâ’ menafsirkan kata “SHÂBI-ÎN” dengan: “Orang-orang Negro (orang yang berkulit hitam) yang bukan kategori kaum Yahûdi, Nashrani dan Majûsi”. Hasan al-Bashrî, Qatâdah, Abû Ja’far ar-Râzî dan para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “SHÂBI-ÎN” dengan: “Kaum yang menyembah Malaikat, (mendirikan) shalat lima waktu dengan menghadap Kiblat, dan membaca (Kitâb) Zabûr”. Abî ‘Âliyah, as-Suddŷ dan para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “SHÂBI-ÎN” dengan: “Ahli Kitâb yang membaca (Kitâb) Zabûr”.

[2] Kata “MEREKA” yaitu: Orang-orang Beriman (Mu’minîn), Yahûdi, Nashrani dan Shâbi’în.

[3] Hari Akhir maksudnya ialah: Segala yang berhubungan dengan Hari Kiamat, Hari Pembalasan, Hari Penghisaban (Yaum al-Hisâb) dan Hari Penimbangan (Yaum al-Mîzân) amal (perbuatan) manusia.

[4] Amal Shâleh ialah: Segala perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik dalam hal ‘Aqîdah, ‘Ibâdah, Akhlâq maupun Mu’âmalah.

[5] Kata “MEREKA” yaitu: Orang-orang Beriman (Mu’minîn), Yahûdi, Nashrani dan Shâbi’în.

[6] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în, ‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, dan sebagainya.

[7] Nama lengkapnya yaitu: Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Ibnu Katsîr. Ia (Ibnu Katsîr) adalah seorang tsiqqah mutqan al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang kokoh/kuat). Ia (Ibnu Katsîr) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts (hadis) dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu Katsîr) lahir di Bashrah pada tahun 700 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Bashrah. Ia (Ibnu Katsîr) wafat di Bashrah pada tahun 774 Hijriyah, dan dikubur di Damsyiq (Damaskus).

[8] Al-Hâfizh Ibnu Katsîr. Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin Muhammad as-Salâmah. Ar-Riyadh: Dâr Thayyibah. Jilid. 1, Juz. 1, halaman: 284.

[9] Nama lengkapnya yaitu: Abû Muhammad ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim. Ia (Abî Hâtim) adalah seorang yang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Nasab (keturunan) nya yaitu: ar-Râzî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Hâtim ar-Râzî. Ia (Abî Hâtim) adalah pakar Tafsîr dan Hadîs. Ia (Abî Hâtim) wafat pada tahun 327 Hijriyah.

[10] Nama sebenarnya yaitu: Muhammad bin Yahyâ bin Abî ‘Umar. Ia (Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Dan ia (Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) juga merupakan seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Ia (Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) di-tsiqqah-kan oleh al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan al-Hâfizh adz-Dzahabî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-‘Adanî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Ibnu Abî ‘Umar al-‘Adanî) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 243 Hijriyah.

[11] Nama lengkapnya yaitu: Sufyân bin ‘Uyaynah bin Abî ‘Imrân Maymûn. Ia (Sufyân) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Ia (Sufyân) adalah seorang yang tsiqqah al-Hâfizh al-Hujjah (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh dan al-Hujjah). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Hilâlî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Sufyân) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 198 Hijriyah.

[12] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin Abî Najîh Yasâr. Ia (Abî Najîh) tidak bertemu (berjumpa) dengan para Sahabat Nabi SAW. Ia (Abî Najîh) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya). Nasab (keturunan) nya yaitu: ats-Tsaqafî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Yasâr. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Abî Najîh) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 131 Hijriyah.

[13] Nama lengkapnya yaitu: Mujâhid bin Jabar. Ia (Mujâhid) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Mujâhid) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Makhzûmî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hajjâj. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Mujâhid) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 102 Hijriyah.

[14] Nama lengkapnya yaitu: Salmân bin al-Islâm. Ia (Salmân) merupakan seorang Sahabat Nabi SAW. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Fârisî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Laqab (gelar/titel) nya: Salmân al-Khair. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Salmân) wafat di al-Madâ-in pada tahun 33 Hijriyah.

[15] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[16] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[17] Tsiqqât adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.

[18] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în, ‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, dan sebagainya.

[19] Sanad adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/isi) hadis.

[20] Nama sebenarnya yaitu: Syamsuddîn Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qâymâz  at-Tirkamânî al-Ashl al-Muqri’ adz-Dzahabî. Ia (adz-Dzahabî) merupakan seorang tsiqqah al-Imâm al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Imâm dan al-Hâfizh). Ia (adz-Dzahabî) juga seorang pakar hadîts (hadis) dan târîkh (sejarah). Nasab (keturunan) nya yaitu: ad-Dimasyqî adz-Dzahabî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: adz-Dzahabî. Ia (adz-Dzahabî) lahir di Damsyiq (Damaskus) pada tahun 673 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Damsyiq (Damaskus). Ia (adz-Dzahabî) wafat di Damsyiq (Damaskus) pada tahun 748 Hijriyah.

[21] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far ath-Thabarî. Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.

[22] Imâm Ibnu Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân; Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar. Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 40-45.

[23] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr Jalâluddîn as-Suyûthî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Jalâluddîn as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî) adalah seorang yang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar Tafsîr, Hadîs, Lughah (Bahasa), Adab (Sastra), Fiqh (Fikîh), Târîkh (Sejarah) dan sebagainya. Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada tahun 911 Hijriyah.

[24] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[25] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.

[26] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.

[27] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[28] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în, ‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, dan sebagainya.

[29] Nama lengkapnya yaitu: Abû al-Faraj Ibnu al-Jauzî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Ibnu al-Jauzî. Ia (Ibnu al-Jauzî) adalah seorang yang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Ia (Ibnu al-Jauzî) juga seorang pakar Tafsîr dan Hadîs. Ia (Ibnu al-Jauzî) lahir pada tahun 508 Hijriyah. Ia (Ibnu al-Jauzî) wafat pada tahun 597 Hijriyah.

[30] Juz. 1, halaman: 74 (versi Maktabah Syâmilah).

[31] Muhkamah maksudnya: Hukum yang terkandung dalam Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 62) tidak dihapus (mansûkh) dengan Ayat (Surat âli-‘Imrân, Ayat: 85).

[32] Mansûkh maksudnya: Hukum yang terkandung dalam Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 62) dihapus (mansûkh) dengan Ayat (Surat âli-‘Imrân, Ayat: 85).

[33] “DIA” maksudnya: Orang-orang yang menganut agama selain agama Islam, setelah datangnya agama Islam dan datangnya kerasulan Nabi Muhammad SAW.