Rabu, 23 Februari 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 71-73


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 71-73

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٧١)
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٧٢)
وَلا تُؤْمِنُوا إِلا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٧٣)
71. Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?
72. Segolongan (lain) dari ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).
73. Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui".




Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Ishâq dalam Tafsîr Ishâq bin Rahawaihnya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibni ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata: “Abdullah bin as-Shaif, ‘Adiy bin Zaid dan al-Harts bin ‘Auf mengadakan pembicaraan untuk beriman kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada pagi hari dan kufur kepadanya pada sore hari, sehingga kita(Abdullah bin as-Shaif, ‘Adiy bin Zaid dan al-Harts bin ‘Auf) dapat mengaburkan mereka(Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya) akan agamanya (Islam), supaya mereka(Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya) berbuat seperti apa yang kita(Abdullah bin as-Shaif, ‘Adiy bin Zaid dan al-Harts bin ‘Auf) perbuat, lalu mereka(Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya) keluar dari agamanya (Islam). maka Allah menurunkan ayat:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٧١)
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٧٢)
وَلا تُؤْمِنُوا إِلا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٧٣)
71. Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?
72. Segolongan (lain) dari ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).
73. Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui".


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”. Imâm Jalâludin ash-Suyûthî juga mengeluarkan hadis semisal hadis di atas dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibnu Abî Hâtimnya yang bersumber dari as-Suddi dari Abi Malik.





Ahmad Musthafâ al-Marâghî juga meriwayatkan dalam Tarjamah Tafsir al-Marâghinya(halaman: 319-320) dengan menisbahkan kepada Ibnu Ishâq dalam Tafsîr Ishâq bin Rahawaihnya:
Ibnu Ishaq meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas yang telah menceritakan: “Bahwa ‘Abdullah ibnu Shaif, ‘Adiy ibnu Zaid dan al-Haris ibnu ‘Auf masing-masing mengatakan kepada temannya: “Marilah kita(‘Abdullah ibnu Shaif, ‘Adiy ibnu Zaid dan al-Haris ibnu ‘Auf) beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada (Nabi) Muhammad dan para sahabatnya di pagi hari, kemudian kufur di sore harinya, guna menanamkan keraguan terhadap agama (Islam) mereka(Nabi Muhammad dan para sahabatnya). Barangkali saja mereka(Nabi Muhammad dan para sahabatnya) melakukan hal yang serupa sehingga mereka(Nabi Muhammad dan para sahabatnya) menjadi ingkar terhadap agama mereka sendiri (maksudnya: agama Islam). kemudian Allah SWT menurunkan:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٧١)
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٧٢)
وَلا تُؤْمِنُوا إِلا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٧٣)
71. Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?
72. Segolongan (lain) dari ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).
73. Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui".
Berkenaan dengan sikap mereka”.







BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).
Tafsîr Ibnu Abî Hâtim(Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ishâq bin Rahawaih(Ishâq bin Rahawaih).
Tarjamah Tafsîr al-Marâghî(Ahmad Musthafâ al-Marâghî).


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 65


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 65

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالإنْجِيلُ إِلا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٦٥)
65. Hai ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?




Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âninya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanadnya yang berulang-ulang kepada Ibni Abbas. Ibnu Abbas berkata: “Orang-orang Nashrani Najran dan Pendeta-pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah SAW, saling bertengkar. Pendeta-pendeta Yahudi berkata: “Tidaklah (Nabi) Ibrahim melainkan ia adalah Yahudi”. Demikian pula orang-orang Nasrani pun berkata: “Tiadalah (Nabi) Ibrahim, melainkan dia(Nabi Ibrahim) adalah Nashrani”. Maka Allah menurunkan ayat:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالإنْجِيلُ إِلا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٦٥)
65. Hai ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?”


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”. Imâm Jalâludin ash-Suyûthî juga mengeluarkan hadis sebagaimana hadis di atas dengan menisbahkan kepada Imâm al-Baihaqî dalam kitab ad-Dalâilnya.




Ahmad Musthafâ al-Marâghî juga meriwayatkan dalam Tarjamah Tafsir al-Marâghinya(halaman: 311-312) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âninya, serta menisbahkan kepada Ibnu Ishâq dalam Tafsîr Ishâq bin Rahawaihnya:
Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir mengeluarkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas yang mengatakan: “Bahwa kaum Nashrani Najran dan para Pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah SAW. Lantas mereka(kaum Nashrani Najran dan para Pendeta Yahudi) bersengketa di hadapan Beliau(Nabi SAW). Para Pendeta Yahudi berkata: “Nabi Ibrahim adalah orang Yahudi”. Dan orang-orang Nashrani mengatakan: “Nabi Ibrahim adalah orang Nashrani”. Lalu Allah SWT berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالإنْجِيلُ إِلا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٦٥)
65. Hai ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?”






BIBLIOGRAFI

Ad-Dalâil(al-Baihaqî).
Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âni(Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).
Tafsîr Ishâq bin Rahawaih(Ishâq bin Rahawaih).
Tarjamah Tafsîr al-Marâghî(Ahmad Musthafâ al-Marâghî).



TAKSONOMI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



TAKSONOMI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

  1. Taksonomi
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi, dan “nomos” yang berarti aturan. Suatu pengklasifikasian atau pengelompokan yang disusun berdasarkan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Klasifikasi bidang ilmu, kaidah, dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian objek (http://hadisiswoyo.co.cc). Taksonomi adalah klasifikasi atas dasar hirarkhi  dilakukan menurut tingkatan yaitu dimulai dari tingkatan yang mudah sampai dengan tingkatan yang rumit, dan dari tingkatan yang sempit sampai dengan tingkatan yang lebih luas atau sebaliknya. Model taksonomi Bloom merupakan salah satu pengembangan teori kognitif, yang biasa sering dikaitkan dengan persoalan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan masalah standar evaluasi atau pengukuran hasil belajar sebagai pengembangan sebuah kurikulum. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.


  1. Pendidikan Agama Islam
Pengertian secara sederhana dari pendidikan islam , yakni bisa dipahami dari dua makna
  1. Pendidikan menurut islam atau pendidikan yang islami, yakni pendidika yang dipahamidan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasar islam, yaitu al-Qur’a dan assunah.1dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang dikembangkan berdasarkan sumber dasar islam yakni al-qur’an dan sunah.
  2. Pendidikan ke-islaman atau pendidikan agama islam, upaya mendidikan agama islam atau ajara islam dan n ilainya agar menjadi way of life(pandangan dan sikap hidup seseorang).2 Dalam pengertian ini pendidikan islam dapat berwujud suatu kegiatan baik perorangan maupun lembaga untuk membantu seoarng atau sekelompok anak didik dalam menanamkan ajaran islam dan nilai-ilainya.
  3. Pendidikan dalam islam, proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat islam. 3 dalam arti tumbuh dan berkembangnya umat islambaik islam sebagai agama, budaya atau peradaban, sejak dari nabi Muhammad hingga sekarang.
Walaupun pendidikan islam dapat dimaknai menjadi beberapa sudut pandang namun pada hakikatnya pendidikan islam merupakan satu kesatuan utuh dan mewujud secara operasional dalam satu system yang utuh.


  1. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia, maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan. Proses internalisasi nilai agama dapat ditempuh melalui pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendidikan agama di sekolah secara terstruktur tersaji pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI). Tujuan pembelajaran PAI di sekolah diantaranya adalah (1) menumbuh-kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, dan (2) mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial
serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Terbentuknya peserta didik yang cerdas menjadi salah satu tujuan PAI, walaupun bukan yang utama. Cerdas dapat dimaknai sebagai cerdas secara intelektual (intelligence quotient-IQ), cerdas secara emosional (emotional quotient-EQ), dan cerdas secara spritual (spiritual quotient-SQ). Realitas di madrasah menunjukkan bahwa, proses pembelajaran PAI masih belum memberikan ruang yang luas dalam melatihkan kecerdasan peserta didik, baik secara intelektual, emosional maupun secara spritual. Pembelajaran PAI masih berupa penyampaian teori atau konsep tentang agama Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana proses pembelajaran PAI yang dapat melatihkan kecerdasan peserta didik, baik secara intelektual, emosional, maupun secara spiritual,
Proses pembelajaran PAI yang dapat melatihkan kecerdasan peserta didik secara intelektual, yaitu dengan mengubah cara mengajar dari “menyampaikan informasi” menjadi “melatihkan berpikir” atau mengubah cara belajar dari “mendengar” menjadi “berpikir”. Metode pembelajaran PAI yang digunakan oleh guru, berubah dari “ceramah” menjadi “problem solving”,” inquiry”, atau “investigative”.


  1. Taksonomi Tujuan Pendidikan Agama Islam
Taksonomi merupakan alat bagi para pengambil keputusan, penentu kebijakan, dan pengelola pendidikan untuk membuat penggolongan program-program pendidikan luar sekolah. Taksonomi adalah klasifikasi atas dasar hirarkhi  dilakukan menurut tingkatan yaitu dimulai dari tingkatan yang mudah sampai dengan tingkatan yang rumit, dan dari tingkatan yang sempit sampai dengan tingkatan yang lebih luas atau sebaliknya. Taksonomi ini dilakukan melalui kegiatan menghimpun, menggolong-golongkan, dan menyajikan informasi program-program pendidikan luar sekolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui berbagai kelompok program pendidikan tersebut.
Tujuan pendidikan Islam dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.4
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan sub kategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.









BIBLIOGRAFI

Ahmad Tafsir, 1992, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung; Remaja
Rosdakarya
Bloom, Benyamin S. 1979. Taksonomy of Educational Objectives (The
Clasification of Educational Goals) Handbook 1 Cognitive Domain.
London: Longman Group Ltd.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,(Jakarta: PT
Gramedia,1992).
Muhaimin, Paradigm Pendidikan Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya;
2008)
Sudjana, Nana, Dr., Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996).
asastie






1 Drs. Muhaimin, Paradigm Pendidikan Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya;2008)hal.29

2 Ibid; 30

3 Ibid;30

4 http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 59-62


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran(3), ayat: 59-62

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (٥٩)
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (٦٠)
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٦٢)
59. Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah (seorang manusia), maka jadilah Dia”.
60. (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
61. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
62. Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.




Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Ibnu Sa’dnya:
Dikemukakan oleh Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat Ibnu Sa’d yang bersumber dari al-Arzaq bin Qais. Al-Arzaq bin Qais berkata: “Uskup Najran dan wakilya datang menghadap Nabi SAW; lalu Nabi SAW menawarkan kepada kedua orang itu(Uskup Najran dan wakilya) memeluk Islam. maka berkatalah mereka(Uskup Najran dan wakilya): “Sesungguhnya kami(Uskup Najran dan wakilya) sebelum engkau(Nabi SAW) sudah muslim”. Nabi SAW bersabda: “Kalian berdua(Uskup Najran dan wakilya) telah berdusta, karena ada tiga hal yang menghalangi kalian(Uskup Najran dan wakilya) masuk Islam, yaitu: a) Kalian mengatakan bahwa Allah punya anak, b) Kalian makan daging babi, dan c) Kalian bersujud kepada berhala”. Kedua orang(Uskup Najran dan wakilya) tadi bertanya: “Kalau demikian, siapakah ayah (Nabi) Isa?”. Pada saat itu Rasulullah SAW tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Hingga Allah menurunkan ayat:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (٥٩)
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (٦٠)
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٦٢)
59. Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah (seorang manusia), maka jadilah Dia”.
60. (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
61. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
62. Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Lalu Rasulullah SAW mengajak kedua orang(Uskup Najran dan wakilya) tadi untuk saling bersumpah, akan tetapi kedua orang(Uskup Najran dan wakilya) itu tidak mau dan memilih membayar jizyah. Lalu mereka(Uskup Najran dan wakilya) berdua kembali”.




Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibnu Abî Hâtimnya:
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan. Al-Hasan berkata: “Dua orang Pastur Najran datang menghadap Rasulullah SAW, dan berkatalah salah seorang di antara keduanya: “Siapakah ayah (Nabi) Isa?”. Rasulullah SAW tidak segera menjawab menunggu perintah TuhanNya (Allah). Lalu turunlah ayat:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (٥٩)
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (٦٠)
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٦٢)
59. Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah (seorang manusia), maka jadilah Dia”.
60. (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
61. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
62. Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


KETERANGAN:
Ibnu Abî Hâtim juga mengeluarkan Hadis semisal hadis di atas dalam Tafsîr Ibnu Abî Hâtimnya yang bersumber dari al-‘Aufi dari Ibni Abbas. Al-Baihaqi juga mengeluarkan semisal hadis di atas dalam kitab ad-Dalâilnya yang bersumber dari Salmah bin Abdi Yasyu’ dari ayahnya(Salmah bin Abdi Yasyu’), dari neneknya(Salmah bin Abdi Yasyu’).







BIBLIOGRAFI

Ad-Dalâil(al-Baihaqî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).
Tafsîr Ibnu Abî Hâtim(Ibnu Abî Hâtim).
Tarjamah Tafsîr al-Marâghî(Ahmad Musthafâ al-Marâghî).
Thabaqat Ibnu Sa’d(Ibnu Sa’d).


TAWAKAL


TAWAKAL

A.    PENGERTIAN TAWAKAL
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata “tawakkala” yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984, halaman 1687). Menurut kamus ilmiah popular tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah sambil berikhtiar (Dahlan, 2001, halaman 743). Seperti kalimat yang berbunyi “wakala ilaihi al-amra” artinya menyerahkan dan mempercayakan urusan kepadanya. Adapun ungkapan “ittakala ‘alallah” berarti tunduk dan patuh kepada Allah, sementara kalimat “tawakkal ‘alallah” berarti yakin dengan apa yang ada di sisi Allah Swt dan tidak bergantung serta tidak bersandar kepada apa-apa yang ada di tangan manusia.
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, namun sesungguhnya memiliki makna yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1.      Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal merupakan aktivias hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi,  Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337).
2.      Ibnu Qoyim al-Jauzi.
“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi, Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254).
3.      Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh,
Berkata: “Tawakal merupakan ungkapan dari penyandaran hati kepada yang disandari. Seseorang tidak tawakal kepada selainnya kecuali meyakini hal-hal berikut: adanya kecintaan, kekuatan, dan petunjuk. Jika kamu telah mengetahuinya, maka analogikan dengan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla. Jika telah mantap dalam hatimu, tiada yang berbuat kecuali Alloh dan engkau telah meyakini bahwa ilmu, kemampuan, dan rahmat Alloh sempurna, tiada lagi quroh, ilmu dan rahmat selainnya, maka engkau harus tawakalkan hatimu kepada-Nya, jangan berpaling kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapati ini dalam hatimu maka ada dua sebab, pertama, lemahnya keyakinan terhadap perkara-perkara tadi. Kedua, lemahnya hati karena digerogoti rasa takut dan rasa was-was yang mendominasi.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, 363).



B.     URGENSI TAWAKAL
Tawakal adalah separuh agama. Separuh lainnya adalah inabah. Sebab agama itu terdiri dari isti’anah dan ibadah. Tawakal adalah isti’anah dan inabah adalah ibadah, bahkan merupakan ubudiyah semata-mata dan tauhid murni, jika pelakunya benar-benar merealisasikannya. (lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim, 2/118).
Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertawakal pada banyak ayat, diantaranya: (1) “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Al-Maidah: 23). (2) “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. at-Thalaq: 3), (3) “Dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi pelindung.” (QS. an-Nisa’: 81), (4) “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. al-Imran: 159).
Artinya Allah SWT-lah yang akan mencukupkannya jika dia bertawakal dan bersandar kepada-Nya. Barang siapa yang hendak melakukan suatu urusan yang penting hendaklah dia bertawakal kepada-Nya di dalam melakukan urusannya itu. Akan tetapi janganlah dia hanya bersandar kepada-Nya saja, melainkan dia harus berusaha dengan segenap kemampuannya untuk tercapainya urusannya itu, dan pada saat yang sama dia berharap dan bersandar kepada Allah. Karena, orang yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menyempurnakan dan mencukupkan urusannya.
Jika Allah mengetahui seseorang hamba hanya bersandar kepada-Nya dan tidak tidak bersandar kepada yang selain-Nya niscaya Allah akan menolong hamba itu pada apa saja yang dia inginkan: dan seandainya seluruh manusia bekerjasama satu sama lain untuk mencelakakan hamba itu, niscaya mereka sama sekali tidak akan bisa mendatangkan sedikit pun kecelakaan baginya, walaupun hanya sebesar sayap nyamuk. Karena, Allah SWT lah yang berdiri di belakangnya dan menjaganya.
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, “Ya Allah hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati”. (HR. Muslim)
            Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil” kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka: “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal”. (HR. Bukhari)
            Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang”. (HR. Tirmidzi)
Ketika seorang manusia bersandar dan bertawakal kepada Allah SWT maka pikirannya menjadi jernih dan hatinya menjadi tenang. Semua perasaan takut dan kekhawatiran yang terjadi di dunia ini merupakan akibat logis dari tidak adanya tawakal kepada Allah SWT. Barang siapa bertawakal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya niscaya dia menjadi seorang pahlawan yang pemberani. Karena, orang yang bertawakal kepada Allah tidak mengenal kecemasan dan kekhawatiran. Anda melihat mereka senantiasa bersemangat di dalam bekerja demi dunia dan akhirat mereka. Tawakal dan penyadaran diri mereka kepada Allah, membantu mereka untuk bisa keluar dengan mudah dari berbagai kesulitan. Sebaliknya, manusia yang senantiasa cemas dan gelisah, maka ketika nafsu amarahnya menerpa dirinya, untuk kemudian menjerumusn-nya ke dalam lembah yang hina.


C.    DERAJAT TAWAKAL
Terdapat tujuh derajat yang membedakan ketawakkalan seseorang.  Adapun derajat-derajat dari tawakal itu sendiri adalah sebagai berikut ini:
1.      Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2.      Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3.      Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya
4.      Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
5.      Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6.      Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7.      Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44) “Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya".



D.    CIRI-CIRI TAWAKAL
Bagi seorang yang bertawakal secara benar mempunyai beberapa cirri. Diantara cirri-ciri orang yang bertawakkal adalah sebagi berikut:
1.      Tidak pernah berharap dan tidak pernah takut kecuali pada Allah Swt. Cirinya orang yang seperti ini adalah berbicara terang-terangan dengan orang yang secara adat kebiasaan diharapkan dan ditakuti seperti para umara’ dan sultan.
2.      Kepusingan masalah rizki tidak pernah masuk ke dalam hatinya karena sangat percaya akan jaminan dan tanggungan Allah Swt, sehingga ketika ada rizki yang sedang ia butuhkan maka hatinya tenang setengang bahkan lebih tenang daripada ketika ada.
3.      Hatinya tidak akan terguncang dan bingung di dalam suasana yang diduga kuat itu menakutkan, karena ia yakin sesuatu yang tidak akan menimpanya itu tidak akan menimpanya dan sesuatu yang akan menimpanya itu tidak akan bisa dihindari. Dari posisi inilah dapat diposisikan hikayat-nya Sayyidi As-Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, semoga Allah memberi manfaat yakni sesungguhnya beliau sedang menerangkan tentang “qadarnya Allah” tiba-tiba seekor ular besar jatuh, maka semua hadirin lari bercerai-berai menjauhinya. Ular itu melilit dan berjalan di lehernya, masuk dari satu lengan bajunya dan keluar dari salah satu lengan baju lainnya, sedangkan beliau tetap tegar tidak gentar dan tidak memutuskan keterangannya. Sebagian guru ditanya ketika dia dilemparkan ke hewan buas agar memakannya, ternyata hewan itu tidak menyakitinya, “apa yang kau pikirkan ketika kau dilemparkan ke hewan buas itu?” dia menjawab di dalam hukum air liurnya hewan buas itu karena keyakinan, “Hasbunallah wa ni’mal wakil”.


E.     SYUBUHAT SEPUTAR TAWAKAL
Tawakal itu bukanlah sebuah kepasrahan. Sebagian orang menyangka bahwa tawakal identik dengan pasrah total. Dan hal ini merupakan anggapan yang sangat keliru, karena tawakal itu menuntut akan rasa optimis dan aktif. Perhatikan dalil-dalil berikut: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. at-Thalaq: 3)
Dalam ayat ini Allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal termasuk rizki. Apakah artinya orang tersebut tidak berupaya dan tidak kerja lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit? Apakah ada orang yang berkeinginan memiliki anak tetapi tidak pernah mengumpuli istrinya lantas diberi anak? Tentu tidaklah demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya dengan orang yang ingin memiliki anak maka ia harus beristri dan mengumpuli istrinya tersebut. Jadi tidak mungkin Allah memberi rizki kepada seseorang tanpa adanya ikhtiar (upaya) sedikitpun.
Hadits berikut akan membantu untuk memperjelas hal tersebut. Dari Umar bin Khaththab Ra, Rasulullah Saw bersabda, “andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (Shahih,HR. Tirmidzi: 2344, dan berkata hadits hasan shahih, Ibnu Majah: 4164, Ahmad, dishahihkan al-Albani).
Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha? Sebagian orang mukmin ada yang berkata, "Jika orang yang bertawakal kepada Allah itu akan diberi rezeki, mengapa kita harus lelah, berusaha, dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rezeki kita datang dari langit?" Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik, atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa dan yang kepada-Nya tempat bergantung. Para ulama ? semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan? telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata, "Dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang, kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, "Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rezekiku datang sendiri." Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."  Dan beliau bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Jadi tawakkal bagi seorang muslim adalah perbuatan dan harapan dengan disertai hati yang tenag, jiwa yang tentram serta keyakinan yang kuat bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah Swt pasti terjadi, dan apa yang tida dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Wallaahua’lam.






BIBLIOGRAFI

Al-Atsari, Abu Nu’aim, Tawakal Bukan Berarti Pasrah, Minggu, 15 Agustus 2010 ,Lentera
Sunnah, google.com.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 2007. Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim), Terjemah,
Jakarta: Darul Falah, Cetakan kesebelas.
Dahlan, 2001. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola.
Ilahi, Fadhl, Definisi Tawakal, 29 Maret 2008, pukul 2: 46 AM, google.com.
Maulan Rikza, Makna Tawakal, Selasa, 29 Muharram 1432/4 Januari 2011, google.com.
Mazhahiri, Husain, 1993. Jihad An-Nafs, Terjemah, Jakarta: Lentera Basritama.
Risalah al-Mu’awanah, Kebon Jambu, Ciri-ciri Tawakal yang Benar, 28 Augutus 2010,
google.com.