Sabtu, 16 Agustus 2014

KEPEMIMPINAN ISLÂM BERDASARKAN HADIS-HADIS RASÛLULLÂH SAW.



KEPEMIMPINAN ISLÂM BERDASARKAN HADIS-HADIS RASÛLULLÂH SAW.

Kita acapkali mendengar terminologi (الْخِلاَفَةُ), dan apakah makna sebenarnya (الْخِلاَفَةُ)?. (الْخِلاَفَةُ) merupakan: "Sistem pemerintahan Islâm yang dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW; yang dibentuk melalui (prinsip) musyawarah, untuk memilih seorang khalîfah ataupun seorang pemimpin; yang memiliki hak suatu wilayah kekuasaan; yang bertanggungjawab menangani dan menyelesaikan segala hal, kebutuhan, perkara dan kemashlahatan rakyatnya; baik dalam urusan agama maupun dunia".[1]
Terminologi (الْخِلاَفَةُ) dalam Hadis-hadis Nabi SAW. banyak kita temukan; namun dalam Hadis-hadis Nabi SAW. itu tidak kita temukan secara detail dan secara eksplisit bagaimanakah konsep-konsep (الْخِلاَفَةُ) itu?. Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud mengupas secara intens konsep-konsep (الْخِلاَفَةُ), akan tetapi dalam hal ini penulis bertujuan untuk menerangkan secara global bagaimanakah kepemimpinan Islâm berdasarkan Hadis-hadis Nabi SAW. dan segala aspeknya.
Ada sebuah Hadis Shahîh Li Ghayrihi yang menjadi acuan dalam konteks pembahasan ini, yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ حَبِيْبُ بْنُ سَالِمٍ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ، قَالَ: كُنَّا قُعُوْدًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ بَشِيْرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيْثَهُ. فَجَاءَ أَبُوْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ، فَقَالَ: يَا بَشِيْرُ بْنَ سَعْدٍ، أَتَحْفَظُ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ؟. فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ. فَجَلَسَ أَبُوْ ثَعْلَبَةَ، فَقَالَ حُذَيْفَةُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ.
"Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisiŷ telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad bin Hanbal), dia (Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisiŷ) berkata: "Dâwud bin Ibrâhîm al-Wâsithiŷ telah bercerita kepada saya (kepada Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisiŷ), dia (Dâwud bin Ibrâhîm al-Wâsithiŷ) berkata: "Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ telah bercerita kepada saya (kepada Dâwud bin Ibrâhîm al-Wâsithiŷ), dari an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ, dia (an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ) berkata: "Suatu ketika kami (para Shahâbat) duduk bersama Nabi Muhammad SAW. di Masjid, sedangkan Basyîr bin Sa'd al-Anshâriŷ (ayahnya an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ) adalah seorang lelaki yang giat menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW. Lalu datanglah Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ (nama sebenarnya di antaranya: Jurhum)[2], kemudian dia (Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ) berkata: "Wahai Basyîr bin Sa'd al-Anshâriŷ, apakah engkau (Basyîr bin Sa'd al-Anshâriŷ) hafal Hadis Rasûlullâh SAW. mengenai kepemimpinan Islâm?". Maka Hudzaifah bin al-Yamân al-'Absiŷ berkata: "Saya (Hudzaifah bin al-Yamân al-'Absiŷ) hafal khuthbah beliau SAW". Lalu duduklah Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ, kemudian Hudzaifah bin al-Yamân al-'Absiŷ berkata: "Rasûlullâh SAW. bersabda: "Telah datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kenabian atas kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kenabian itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Setelah itu akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (yakni: berasaskan al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi SAW.) atas kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (yakni: berasaskan al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi SAW.) itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Kemudian akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kerajaan yang zalim, atas kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kerajaan yang zalim itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Selanjutnya akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kerajaan yang otoriter (tirani), atas kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kerajaan yang otoriter (tirani) itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Setelah itu akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (yakni: berasaskan al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi SAW)". {Hadis ini berkualitas shahîh li ghayrihi, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Al-Imâm Ahmad Ibnu Hanbalnya (No. Hadis: 18406). Ath-Thayâlisiŷ dalam Musnadu Abî Dâwuda Ath-Thayâlisiŷnya (No. Hadis: 439). Al-Bazzâr dalam Musnadul Bazzâril Mansyûrinya (No. Hadis: 2796). Dan al-Baihaqiŷ dalam Dalâilun Nubuŵatinya (6/491)}.[3]

Hadis di atas menerangkan bahwasanya Kepemimpinan Islâm berdasarkan Hadis di atas memiliki lima periode kepemimpinan, yakni:
1.    Periode kenabian (النُّبُوَّةُ)
Periode kenabian dalam konteks ini telah berlangsung sejak kepemimpinan Nabi kita Âdam hingga Nabi kita yang terakhir dan penutup para Nabi, yakni: Nabi kita Muhammad SAW. Hal itu secara substansial telah diterangkan dalam Firman Allâh SWT. dalam Surat al-Baqarah (2), Ayat: 30.

2.    Periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ)
Kepemimpinan yang berasaskan kenabian maksudnya: "Kepemimpinan yang berdasarkan (berasaskan) al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW". Periode kepemimpinan ini kita kenal dengan nama: (الْخِلاَفَةُ الرَّاشِدَةُ), kepemimpinan ini dimulai dari kepemimpinan shahâbat Abû Bakar ash-Shiddîq yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih dua tahun; lalu kepemimpinan shahâbat 'Umar bin al-Khaththâb yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih sepuluh tahun; kemudian kepemimpinan shahâbat 'Utsmân bin 'Affân yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih 12 tahun; setelah itu kepemimpinan shahâbat 'Alî bin Abî Thâlib yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih enam tahun. Sebagaimana Hadis Shahîh berikut ini:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ يَعْلَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُمْهَانَ، عَنْ سَفِيْنَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ سَنَةً. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا.
قَالَ سَفِيْنَةُ: أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَنَتَيْنِ. وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَشْرًا. وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ. وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سِتًّا.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ: قُلْتُ لِحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ: سَفِيْنَةُ الْقَائِلُ: أَمْسِكْ؟. قَالَ: نَعَمْ.
"Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ (nama sebenarnya: Ahmad bin 'Alî bin al-Mutsannâ) telah mengabarkan kami (mengabarkan Ibnu Hibbân), dia (Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ) berkata: "'Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ telah bercerita kepada kami (kepada Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ), dia ('Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ) berkata: "Hammâd bin Salamah bin Dînâr telah mengabarkan kami (mengabarkan 'Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ), dari Sa'îd bin Jumhân al-Aslamiŷ, dari Safînah (nama sebenarnya di antaranya: Mihrân)[4], dia (Safînah) berkata: "Saya (Safînah) telah mendengar Rasûlullâh SAW. bersabda: "Kekhalifahan (kepemimpinan) setelahku (setelah kepemimpinan Nabi SAW.) hanya berlangsung dalam kurun (waktu) 30 tahun. Setelah itu, maka kepemimpinan Islâm dalam format kerajaan".
"Safînah berkata: "Berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan Abû Bakar ash-Shiddîq, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu) dua tahun. Dan berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththâb, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu) sepuluh tahun. Serta berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan 'Utsmân bin 'Affân, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu) 12 tahun. Dan berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan 'Alî bin Abî Thâlib, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu) enam tahun".
"Al-Imâm al-Hâfizh al-Huĵah 'Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ berkata: "Saya ('Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ) berkata kepada asy-Syaikh al-Imâm Hammâd bin Salamah bin Dînâr: "Apakah maulâ Rasûlullâh SAW. Safînah yang mengatakan: "Berpegang-teguhlah, dan seterusnya?". Asy-Syaikh al-Imâm Hammâd bin Salamah bin Dînâr menjawab: "Iya". {Hadis ini berkualitas shahîh, yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dalam Shahîhu Ibnu Hibbâni Bi Tartîbi Ibni Balbâninya (No. Hadis: 6943). Al-Khallâl al-Baghdâdiŷ dalam As-Sunnahnya (No. Hadis: 647). Al-Bazzâr dalam Musnadul Bazzâril Mansyûrinya (No. Hadis: 3827 - 3828). Dan Ibnu 'Abdul Barr an-Namariŷ dalam Jâmi'ul Bayânil 'Ilmi Wa Fadhlihinya (No. Hadis: 2313)}.[5]

3.    Periode kerajaan yang zalim (مُلْكًا عَاضًّا)
Maksud dari Kerajaan yang Zalim yaitu: "Kepemimpinan dalam sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja (ataupun Sultan) yang zalim dalam kepemimpinannya". Penulis, dalam banyak literatur-literatur Islâm (seperti dalam Kitâb-kitâb Sîrah Wa Syamâil dan dalam Kitâb-kitâb Târîkh, serta yang lainnya) tidak menemukan penjelasan (syarah) yang detail dan eksplisit mengenai Periode Kerajaan yang Zalim ini. Namun, sebagaimana Hadis dalam konteks pembahasan di atas (sebelumnya), yakni: dalam konteks (الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ سَنَةً. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا) secara implisit menerangkan bahwasanya: "Periode Kerajaan yang Zalim ini ada dan terjadi setelah periode (الْخِلاَفَةُ الرَّاشِدَةُ); dengan kata lain: Kerajaan yang Zalim ini ada dan terjadi di antara periode kepemimpinan shahâbat Hasan bin 'Alî bin Abî Thâlib hingga akhir Dinasti 'Abbâsiŷah". (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).

4.    Periode kerajaan otoriter atau tirani (مُلْكًا جَبْرِيَّةً)
Maksud dari Kerajaan yang Otoriter atau Tirani yaitu: "Kepemimpinan dalam sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja (ataupun Sultan) yang otoriter ataupun tirani dalam kepemimpinannya". Sebagaimana konteks pembahasan sebelumnya, dalam banyak literatur-literatur Islâm (seperti dalam Kitâb-kitâb Sîrah Wa Syamâil dan dalam Kitâb-kitâb Târîkh, serta yang lainnya) penulis juga tidak menemukan penjelasan (syarah) yang detail dan eksplisit mengenai Periode Kerajaan yang Otoriter atau Tirani ini. Namun, penulis berpendapat bahwasanya Periode Kerajaan yang Otoriter atau Tirani ini ada dan terjadi setelah berakhirnya periode Dinasti 'Abbâsiŷah; dengan kata lain: Periode Kerajaan yang Otoriter atau Tirani ini ada dan terjadi di antara periode Dinasti Idrîsiŷah hingga Dinasti Turki 'Utsmâniŷ, dan hingga saat ini. (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).

5.    Periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ)
Sebagaimana dalam poin kedua di atas (sebelumnya), kepemimpinan yang berasaskan kenabian maksudnya: "Kepemimpinan yang berdasarkan (berasaskan) al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW".
Penulis berpendapat, bahwa Periode Kepemimpinan yang Berasaskan Kenabian ini dapat terwujud (ada dan dapat terjadi) dalam waktu dekat ataupun di masa yang akan datang. (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).

Dan sebagai penutup, penulis akan mengupas (mengkaji) satu Hadis Shahîh mengenai: "12 pemimpin-pemimpin Islâm" berikut ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ عَبِدِ اللهِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ مِسْمَارٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ، قَالَ: كَتَبْتُ إِلَى جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ مَعَ غُلَامِيْ، أَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَكَتَبَ إِلَيَّ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، عَشِيَّةَ رَجْمِ الْأَسْلَمِيِّ، يَقُوْلُ: لَا يَزَالُ الدِّيْنُ قَائِمًا حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ. أَوْ يَكُوْنَ عَلَيْكُمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيْفَةً. كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
"'Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm (nama populernya: Ibnu Abî Syaibah) telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad bin Hanbal), dan saya (Ahmad bin Hanbal) telah mendengar Hadis ini dari 'Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm, dia ('Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm) berkata: "Hâtim bin Ismâ'îl al-Madaniŷ telah bercerita kepada kami (kepada 'Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm), dari al-Muhâjir bin Mismâr (nama lainnya: Muhâjir bin Mismâr al-Qurasyiŷ), dari 'Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh, dia ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) berkata: "Suatu saat saya ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) dengan asistenku hendak menulis Hadis Rasûlullâh SAW. dari Jâbir bin Samurah bin Junâdah, (lalu 'Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh berkata kepada Jâbir bin Samurah bin Junâdah:) beritahukanlah aku ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) sesuatu yang telah anda (Jâbir bin Samurah bin Junâdah) dengar dari Rasûlullâh SAW. Lalu dia ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) berkata: "Maka Jâbir bin Samurah bin Junâdah mendiktekanku (satu Hadis), pada hari Jumu'ah sore saat berlangsungnya perajaman salah seorang penduduk suku al-Aslamiŷ, saya (Jâbir bin Samurah bin Junâdah) telah mendengar Rasûlullâh SAW. bersabda: "Syari'at (hukum-hukum) Islâm akan senantiasa tegak hingga hari Kiamat nanti. Ataupun selama umat Islâm dipimpin oleh salah satu dari 12 Khalîfah. Yang mana 12 Khalîfah itu di antaranya merupakan orang-orang (suku) Quraisy". {Hadis ini berkualitas shahîh, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Al-Imâm Ahmad Ibnu Hanbalnya (No. Hadis: 20830 dan 20805). Muslim dalam Shahîhu Muslimnya (No. Hadis: 3398). Ibnu Abî 'Âshim dalam Al-Âhadu Wa Al-Matsâniynya (No. Hadis: 1454). Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ dalam Musnadu Abî Ya'lânya (No. Hadis: 7463). Abû 'Awânah dalam Mustakhraju Abî 'Awânahnya (No. Hadis: 6996). Dan ath-Thabarâniŷ dalam Al-Mu'jamul Kabîrinya (No. Hadis: 1809)}.[6]

Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah di atas tidak kontradiktif dengan kedua Hadis yang telah penulis paparkan sebelumnya. Ketiga Hadis yang telah penulis uraikan di atas saling menjelaskan antara yang satu dengan yang lainnya. Hadis kedua di atas telah menerangkan Hadis yang pertama, yakni: menerangkan poin kedua mengenai "Periode Kepemimpinan yang Berasaskan Kenabian". Adapun Hadis ketiga di atas juga telah menerangkan secara eksplisit dan implisit bahwasanya: "12 Khalîfah sebagaimana substansi Hadis ketiga di atas (Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah) ada dan terjadi dalam kelima periode kepemimpinan Islâm yang telah penulis paparkan sebelumnya".
Hadis ketiga di atas (Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah) secara eksplisit dan implisit menerangkan bahwasanya: "Setelah kepemimpinan Rasûlullâh SAW. Syari'at Islâm akan senantiasa tegak hingga hari Kiamat nanti selama umat Islâm dipimpin oleh salah satu dari 12 Khalîfah; yang mana 12 Khalîfah tersebut merupakan pemimpin-pemimpin yang kredibel, adil dan bijaksana; pemimpin-pemimpin yang dapat menegakkan dan menjunjung tinggi Syari'at (hukum-hukum) Islâm dalam kepemimpinannya; pemimpin-pemimpin yang terpilih yang sangat berhak menjadi salah satu dari 12 Khalîfah tersebut".   
Penulis berpendapat, yang termasuk kategori dari 12 Khalîfah itu yakni: 1). Abû Bakar ash-Shiddîq. 2). 'Umar bin al-Khaththâb. 3). 'Utsmân bin 'Affân. 4. 'Alî bin Abî Thâlib. 5. Hasan bin 'Alî bin Abî Thâlib. 6. Mu'âwiyah bin Abî Sufyân. 7. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz. 8. Hârûn ar-Rasyîd. 9. Shalâhuddîn al-Aŷûbiŷ. Adapun Khalîfah-khalîfah yang kesepuluh hingga ke 12, penulis berpendapat bahwasanya: "Khalîfah-khalîfah yang kesepuluh hingga ke 12 akan ada dalam waktu dekat ataupun di masa yang akan datang". (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).










[1] Merujuk dan lihatlah ke Al-Mawsû'atu Al-Mawjuzatu Fît Târîkhil Islâmiŷ: (16/1).

[2] Merujuk dan lihatlah ke Al-Ishâbatu Fî Tamyîzish Shahâbati, karya: amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ (7/50) atau (No. 9672).

[3] Hadis ini pada asal mulanya berkualitas hasan, karena Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ merupakan seorang yang shadûq (لاَ بَأْسَ بِهِ), sebagaimana dalam Taqrîbut Tahdzîbi, karya: amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ (No. 1092). Akan tetapi, Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ tidak menyendiri meriwayatkan Hadis ini, karena ada riwayat lain dalam Al-Mu'jamul Kabîri (No. Hadis: 368), karya: al-Imâm al-Hâfizh ath-Thabarâniŷ dan dalam Ma'rifatush Shahâbati (No. Hadis: 596), karya: al-Imâm al-Hâfizh Abû Nu'aim al-Ashbahâniŷ, dari jalur (sanad) Habîb bin Abî Tsâbit yang menguatkan Hadis ini; sehingga terangkatlah derajat Hadis ini menjadi shahîh li ghayrihi.

[4] Merujuk dan lihatlah ke Al-Ishâbatu Fî Tamyîzish Shahâbati, karya: amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ (3/111) atau (No. 3346).

[5] Hadis Safînah ini dinilai shahîh oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu 'Abdul Barr an-Namariŷ dalam Jâmi'ul Bayânil 'Ilmi Wa Fadhlihinya (No. Hadis: 2313), amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal berkata: "Hadis Safînah mengenai kekhalifahan ini berkualitas shahîh. Dan dalam hal-hal mengenai kepemimpinan, saya (Ahmad bin Hanbal) senantiasa berpendapat berdasarkan Hadis Safînah mengenai kekhalifahan ini". Hadis Safînah ini juga di-shahîh-kan oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hibbân dalam Shahîhu Ibnu Hibbâni Bi Tartîbi Ibni Balbâninya (No. Hadis: 6943), sebagaimana dikutip oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ dalam Fathul Bâriy Syarh Shahîh Al-Bukhâriŷnya (8/77) atau (13/212), amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ berkata: "(Hadis Safînah tersebut) dikeluarkan oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal dan para penulis Kitâb Sunan (yakni: al-Imâm al-Hâfizh al-Huĵah Abû Dâwud, al-Imâm al-Hâfizh at-Tirmidziŷ dan al-Imâm al-Hâfizh an-Nasâiŷ). Serta di-shahîh-kan oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan para muhadditsîn yang lain.

[6] Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah ini dinilai shahîh oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Muslim dalam Shahîhu Muslimnya (No. Hadis: 3398). Dan Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah ini juga di-shahîh-kan oleh al-Imâm al-Muhaddits al-Albâniŷ dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhati Wa Syain Min Fiqhihâ Wa Fawâidihânya (2/653) atau (No. Hadis: 964).