Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 123-124
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ
وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ
لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (١٢٣)
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (١٢٤)
123. (Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kalian[1] yang kosong[2]
dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb[3].
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi balasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya
selain Allah.
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman; maka
mereka itu masuk ke dalam Surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang
bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Tidak akan
masuk Surga selain kami (kaum Muslimîn)”. Orang-orang Quraisy berkata: “Sesungguhnya
kami (orang-orang Quraisy) tidak akan dibangkitkan”. Maka Allah SWT. menurunkan
Ayat ini (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ
وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………..”.
KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas
hasan[4]”.
PENJELASAN:
Atsar[5] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6]
yang dihukumi Marfu’[7].
Karena para Muhadditsîn[8]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Jarîr
dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari Qatâdah,
adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh. Mereka (Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan
Abî Shâleh) berkata: “Para Ahli Agama (tokoh-tokoh agama) saling menyombongkan
diri”. Dalam lafazh lain: “Segolongan orang-orang Yahûdî, Nashrânî dan Kaum
Muslimîn sedang duduk. Masing-masing (masing-masing orang-orang Yahûdî,
Nashrânî dan Kaum Muslimîn) berkata: “Kami lebih utama daripada kamu”. Maka
turunlah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ
وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………….”.
KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas
hasan[9]”.
PENJELASAN:
Atsar[10] Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11]
yang dihukumi Marfu’[12].
Karena para Muhadditsîn[13]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis Qatâdah,
adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas) dapat
dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’
(Islam).
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Jarîr
dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari Masrûq. Masrûq
berkata: “Ketika Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ
وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………….”.
“(Masrûq melanjutkan ucapannya): “Diturunkan, berkatalah Ahli Kitâb
(kaum Yahûdî dan Nashrânî): “Kami (kaum Yahûdî dan Nashrânî) dan kalian (kaum
Muslimîn) adalah sama”. Maka turunlah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 124):
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ ........................
(١٢٤)
124. Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman……………………………”.
“(Masrûq melanjutkan ucapannya): “Yang menyangkal anggapan Ahli
Kitâb (kaum Yahûdî dan Nashrânî), bahwa mereka (kaum Yahûdî dan Nashrânî) dan
kaum Muslimîn adalah sama”.
KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas
hasan[14]”.
PENJELASAN:
‘Atsar Masrûq di atas adalah Hadis Maqthu’[15],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[16].
Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan
Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat,
apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga
sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga
dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Masrûq di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[17]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an
Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1. Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin
Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan),
jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan
ke-dhâbith-annya). Dengan alasan orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an
dan ke-dhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang
tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) pula”.
2. Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî,
Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya
Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan
alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3. Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat
diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat
syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan
satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a) Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior
(kibar at-Tâbi’în).
b) Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang
kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c) Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d) Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat
syarat berikut:
· Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
· Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu
yang bukan pe-mursal pertama.
· Sesuai dengan perkataan Sahabat.
KESIMPULAN:
Ketiga Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis yang satu
dengan Hadis yang lain, sehingga Hadis-hadis di atas dapat dijadikan hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/ Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/ Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[2] Angan-angan Kalian Yang Kosong, maksudnya: Pahala di Akhirat
bukanlah menurut angan-angan dan cita-cita mereka (manusia), akan tetapi sesuai
dengan ketentuan-ketentuan agama (Allah).
[3] Ahli Kitab, mereka itu adalah: Kaum Yahûdî dan Kaum Nashrânî.
[4] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada
keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[5] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[6]
Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus
sanadnya.
[7] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[8] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[9] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada
keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[10] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[11]
Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus
sanadnya.
[12] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[13] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[14] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada
keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[15] Hadis Maqthu’ yaitu: Hadis yang disandarkan kepada para Tâbi’în (para
generasi setelah Sahabat) ataupun disandarkan kepada para generasi setelah Tâbi’în
(seperti: Tâbi’ Tâbi’în, murid Tâbi’ Tâbi’în, dan seterusnya);
baik berupa perkataan maupun perbuatan.
[16] Marfu’ Mursal adalah: Hadis Maqthu’ yang dihukumi oleh para Muhadditsîn
menjadi Marfu’ Mursal, karena terdapat bukti bukti kuat yang menunjukkan
ke-marfu’-annya.
[17] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para
generasi setelah Sahabat) secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa
menyebutkan penghubung antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang
Sahabat.
[18]
Imâm asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2,
hlm.461.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar