Senin, 20 Februari 2012

QADHA’ DAN FIDYAH BAGI YANG MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN

QADHA’ DAN FIDYAH BAGI YANG MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN

A.  Definisi Qadha’ dan Fidyah
1.    Definisi Qadha’
Qadha’ secara etimologi (secara bahasa) berasal dari kata bahasa Arab “قَضَى-يَقْضِى” yang bermakna: “membayar maupun mengganti”. {Kamus al-Munawwir, 2002; 1130-1131}.
Qadha’ secara terminologi (secara istilah) bermakna: “Membayar (mengganti) puasa Ramadhan yang telah ditinggalkannya karena ‘udzur Syar’i[1], orang yang meninggalkan puasa diwajibkan mengganti (membayar) sebanyak hari (dalam puasa bulan Ramdhan) yang telah ditinggalkannya tanpa ada tambahan. Mengqadha’[2] puasa Ramadhan tidaklah wajib untuk menyegerakannya[3], wajibnya ialah dengan diberi keleluasan waktu, di mana ada kesempatan. Menqadha’ (membayar maupun mengganti) puasa Ramadhan juga dapat dilakukan secara berturut-turut maupun tidak berturut turut. Sebagaimana Firman Allah SWT:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ..... (١٨٤)
184. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain……………………. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 184}.

Dan juga sebagaimana Hadis di bawah ini:
“Dari ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq: “Bahwa ia (‘Âisyah) menqadha’ (membayar maupun mengganti) puasa Ramadhan yang ditinggalkannya (karena haidh) di bulan Sya’bân, dan (puasa yang ditinggalkan oleh ‘Âisyah) tidak diqadha’nya dengan segera (maksudnya: tidak langsung diqadha’) disebabkan kesibukan bersama Nabi SAW”. {HR. Bukhârî dan Muslim}.[4]

Serta Sabda Nabi SAW:
Dari ‘Abdullâh bin ‘Umar bin al-Kaththâb: “Bahwa Nabi SAW. berpesan mengenai mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan: “Jika ia berkehendak, (ia) boleh melakukannya (maksudnya: boleh mengqadha’ puasa Ramadhan) secara terputus-putus. Dan jika ia berkehendak, (ia) boleh melakukannya (maksudnya: boleh mengqadha’ puasa Ramadhan) secara beruntun (atau berturut-turut). {HR. ad-Dâruquthnî}.[5]

2.    Definisi Fidyah
Fidyah secara etimologi (secara bahasa) berasal dari kata bahasa Arab “فَدَى-يَفْدِى” yang bermakna “menebus maupun membebaskan”. {Kamus al-Munawwir, 2002; 1040}.
Fidyah secara terminologi (secara istilah) bermakna: “Tebusan yang hukumnya wajib dilaksanakan yaitu dengan memberi makan fakir-miskin pada setiap hari sebanyak hari-hari (dalam puasa bulan Ramdhan) yang telah ditinggalkannya, makanan itu diperkirakan sebanyak satu gantang ataupun satu sukat[6].[7]



B.  Qadha’
1.    Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari’at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk mengqadha’nya di hari lain di luar bulan Ramadhan
Mereka yaitu: Musâfir[8], orang yang sakit yang masih memiliki harapan untuk sembuh[9], wanita yang sedang haidh (menstruasi), dan nifas[10]. Sebagaimana Firman Allah SWT:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ..... (١٨٤)
184. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain……………………. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 184}.

Juga sebagaimana Hadis di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كاَنَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ. {رواه مسلم}.
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq, bahwa ia (‘Âisyah) berkata: Kami (kaum wanita) kadang-kadang mengalami itu (HAID), maka kami (kaum wanita) diperintah (Nabi SAW.) untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.{HR. Muslim}.

Serta Hadis di bawah ini:
“Dari ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq: “Bahwa ia (‘Âisyah) menqadha’ (membayar maupun mengganti) puasa Ramadhan yang ditinggalkannya (karena HAIDH) di bulan Sya’bân, dan (puasa yang ditinggalkan oleh ‘Âisyah) tidak diqadha’nya dengan segera (maksudnya: tidak langsung diqadha’) disebabkan kesibukan bersama Nabi SAW”. {HR. Bukhârî dan Muslim}.[11]

2.    Pendapat Para ‘Ulama Mengenai Qadha’ Puasa Ramadhan
a.    Menurut Madzhab Hanafî, Abû ‘Ubaid dan Abû Tsaur: Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui diwajibkan menqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan saja, dan tidak diwajibkan membayar Fidyah.
b.    Menurut Madzhab Syâfi’î dan Hanbalî: “Jika mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) berbuka disebabkan kekhawatiran anak saja, maka mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) wajib mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan dan wajib membayar Fidyah. Akan tetapi jika kekhawatiran mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) disebabkan demi keselamatan dirinya dan anaknya, maka mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) hanya diwajibkan mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan saja”.
c.    Menurut Madzhab Hasan al-Bashrî dan Hanafî: “Jika seseorang menangguhkan (menunda) qadha’ puasa Ramadhan hingga datang bulan Ramadhan yang baru, baik penangguhan (penundaan) qadha’ puasa Ramadhan disebabkan adanya halangan maupun tidak ada halangan sama sekali, maka hendaknya ia berpuasa Ramadhan yang baru dan tetap wajib untuk mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) hutang puasa Ramadhan sebelumnya, dan tidak wajib membayar Fidyah.
d.   Menurut Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq: “Kami (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) sependapat dengan golongan Hanafî bahwa: “Tidak wajib membayar Fidyah jika penangguhan (penundaan) tersebut disebabkan adanya halangan”. Akan tetapi kami (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) berbeda pendapat dengan golongan Hanafî mengenai penangguhan yang tidak terdapat adanya halangan. Mereka (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) berkata: “Orang-orang yang menangguhkan (menunda) qadha’ puasa Ramadhan tanpa adanya halangan, maka hendaklah mereka mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan serta membayar Fidyah dengan memberikan makanan satu gantang untuk tiap-tiap hari yang ditinggalkannya.[12]



C.  Fidyah
1.    Orang-orang yang dibolehkan oleh Syari’at (Islam) untuk tidak berpuasa Ramadhan, dan mereka diwajibkan untuk membayar Fidyah (tebusan)
Mereka adalah: “Orang-orang yang telah lanjut usia (tua), orang-orang yang tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh, wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui, serta orang-orang yang melakukan pekerjaan yang berat seperti: kuli bangunan, kuli pelabuhan, supir angkutan berat antar kota dan provinsi, tukang becak, pekerja tambang, cleaning service dan sebagainya”.
Dalam Tafsîr al-Manar karya Syaikh Muhammad ‘Abduh ditegaskan bahwa: “Al-ladzîna yuthîqûnahu bermakna: “Orang-orang yang sangat berat dan sangat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan, akan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat maupun sukar) yang besar. {Tafsîr al-Manar, Juz II: 126}.

Sebagaimana Firman Allah SWT:
........وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ........ (١٨٤)
“………….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar Fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin………. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 184}.

Juga sebagaimana Hadis Nabi SAW:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اْلكَعْبِى أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ اْلمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ اْلمُرْضِعِ الصَّوْمَ. {رواه الخمسة}.
“Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik al-Ka’bi bahwa Rasulullah SAW. bersabda:Sesungguhnya Allah yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa (Ramadhan) dan sebagian shalat bagi orang-orang yang bepergian, serta membebaskan puasa bagi wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui. {HR. al-Khamsah}.[13]

Juga sebagaimana riwayat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلمَرْأَةِ الْكَبِيْرَةِ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَا كَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَالحبلى وَاْلمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا. {رواه أبو داود, البزّار}.
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (ketika menjelaskan) وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِوْقُوْنَ ... {Dan wajib bagi orang-orang yang (sangat) berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)}, berkata: “Yang demikian itu merupakan keringanan bagi orang lelaki dan perempuan  yang sudah (sangat) tua. Mereka adalah orang yang sangat berat  berpuasa, oleh karena itu mereka boleh tidak berpuasa; sebagai gantinya setiap hari memberi makan apa yang biasa dimakan kepada orang fakir-miskin[14]. Hal ini berlaku pula bagi wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui, apabila keduanya (wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui tersebut) merasa takut”. {HR. Abû Dâwud dan al-Bazzâr}.[15]

Dikatakan pula oleh ‘Abdullâh bin ‘Abbâs:
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِى يُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ. {رواه البزّار وصحّحه الدّارقطنى}.
“Kamu (wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui) termasuk orang yang sangat berat berpuasa, maka kamu (wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui) wajib membayar Fidyah dan tidak diwajibkan mengqadha’ (membayar maupun mengganti puasa Ramadhan)”. {HR. al-Bazzâr dan dishahihkan oleh ad-Dâruquthnî}.[16]

Serta Sabda Nabi SAW:
“Dari Nâfi’, dia (Nâfi’) berkata: “‘Abdullâh bin ‘Umar bin al-Kaththâb ditanya mengenai seorang wanita yang hamil yang khawatir (takut) akan keselamatan anaknya, maka dia (‘Abdullâh bin ‘Umar bin al-Kaththâb) berkata: “Hendaklah ia (wanita yang hamil yang khawatir akan keselamatan anaknya tersebut) berbuka, dan sebagai ganti dari setiap berbuka yaitu: memberi makan faqîr-miskîn sebanyak satu gantang[17] gandum. {HR. Imâm Mâlik dan al-Bayhaqî}.[18]

2.    Pendapat Para ‘Ulama Mengenai Fidyah (tebusan) Puasa Ramadhan
a.    Menurut pendapat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dan ‘Abdullâh bin ‘Umar bin al-Khaththâb: Wanita yang hamil maupun wanita yang menyusui diwajibkan membayar Fidyah, serta tidak diwajibkan mengqadha’ (membayar maupun mengganti puasa Ramadhan)”.
b.    Menurut Madzhab Hanafî, Abû ‘Ubaid dan Abû Tsaur: Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui diwajibkan menqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan saja, dan tidak diwajibkan membayar Fidyah.
c.    Menurut Madzhab Syâfi’î dan Hanbalî: “Jika mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) berbuka disebabkan kekhawatiran anak saja, maka mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) wajib mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan dan wajib membayar Fidyah. Akan tetapi jika kekhawatiran mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) disebabkan demi keselamatan dirinya dan anaknya, maka mereka (wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui) hanya diwajibkan mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan saja”.
d.   Menurut Madzhab Hasan al-Bashrî dan Hanafî: “Jika seseorang menangguhkan (menunda) qadha’ puasa Ramadhan hingga datang bulan Ramadhan yang baru, baik penangguhan (penundaan) qadha’ puasa Ramadhan disebabkan adanya halangan maupun tidak ada halangan sama sekali, maka hendaknya ia berpuasa Ramadhan yang baru dan tetap wajib untuk mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) hutang puasa Ramadhan sebelumnya, dan tidak wajib membayar Fidyah.
e.    Menurut Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq: “Kami (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) sependapat dengan golongan Hanafî bahwa: “Tidak wajib membayar Fidyah jika penangguhan (penundaan) tersebut disebabkan adanya halangan”. Akan tetapi kami (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) berbeda pendapat dengan golongan Hanafî mengenai penangguhan yang tidak terdapat adanya halangan. Mereka (Madzhab Mâlikî, Syâfi’î, Hanbalî dan Ishâq) berkata: “Orang-orang yang menangguhkan (menunda) qadha’ puasa Ramadhan tanpa adanya halangan, maka hendaklah mereka mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan serta membayar Fidyah dengan memberikan makanan satu gantang untuk tiap-tiap hari yang ditinggalkannya.[19]


















[1] ‘Udzur Syar’î seperti: Musâfir (orang yang sedang bepergian), sakit, haidh, nifas, wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui, serta bekerja dalam pekerjaan yang sangat berat (contoh: kuli bangunan, pekerja tambang, supir angkutan antar provinsi, tukang becak, cleaning service, dan sebagainya).

[2] Mengqadha maknanya: Membayar maupun mengganti puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan, yang dilakukan di hari lain di luar bulan Ramadhan.

[3] Menyegerakan mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan hukumnya sunnah, bukan wajib, sebagaimana riwayat Bukhârî dan Muslim dalam keterangan di atas.

[4] Ahmad Mudjab Mahallî dan Ahmad Rodli Hasbullâh. 2004. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Bagian Munakahat dan Mu’amalat. Jakarta: Kencana. Hlm. 549-550.

[5] Sayyid Sabîq. Fikih Sunnah, (terj.) Mahyuddîn Syaf., dari judul asli Fiqh as-Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’ârif, 1997). Hlm. 235-236.

[6] Apabila menggunakan ukuran (standar) “BERAS” di Negara Indonesia, maka kadarnya (ukurannya) yaitu: 6 ons beras.

[7] Sayyid Sabîq., op. cit., hlm. 178.

[8] Musâfir adalah: Seseorang yang sedang menempuh perjalanan menuju suatu tempat atau orang yang sedang bepergian menuju suatu tempat.

[9] Menurut Madzhab Bukhârî, ‘Athâ’ dan Ahlu Zhâhir: “Sakit apapun bentuknya maka dperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan, dan diwajibkan menqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa Ramadhan yang telah dtinggalkannya”. {Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 180-181}.

[10] Nifas yaitu: Seorang wanita yang sedang melahirkan maupun pasca (setelah) melahirkan hingga ia (wanita yang melahirkan tersebut) suci. Mengenai tuntunan (aturan) Islam bahwa wanita hamil diharuskan mengqadha’ (membayar ataupun mengganti) puasa bulan Ramadhan (bukan diharuskan membayar fidyah) itu diqiyaskan (dianalogikan) kepada wanita yang sedang haidh (menstruasi).

[11] Ahmad Mudjab Mahallî dan Ahmad Rodli Hasbullâh. 2004. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Bagian Munakahat dan Mu’amalat. Jakarta: Kencana. Hlm. 549-550.

[12] Sayyid Sabîq. Fikih Sunnah, (terj.) Mahyuddîn Syaf., dari judul asli Fiqh as-Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’ârif, 1997). Hlm. 179 dan 236.

[13] Ibid., hlm. 179.

[14] Memberi Makan Kepada Faqîr-Miskîn yang dimaksud dalam riwayat Abû Dâwud dan al-Bazzâr di atas adalah: FIDYAH.

[15] Sayyid Sabîq., loc. cit., hlm. 179.

[16] Ibid., hlm. 179.

[17] Apabila menggunakan ukuran (standar) “BERAS” di Negara Indonesia, maka kadarnya (ukurannya) yaitu: 6 ons beras.

[18] Sayyid Sabîq., loc. cit., hlm. 179.

[19] Ibid., hlm. 179 dan 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar