Senin, 30 April 2012

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 109


Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 109
وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِّنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (١٠٩)
109. Mayoritas Ahli Kitâb menginginkan agar mereka (Ahli Kitâb) dapat mengembalikan kalian (kaum Muslim) kepada kekafiran setelah kalian (kaum Muslim) beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka (dari diri Ahli Kitâb) sendiri; setelah nyata bagi mereka (bagi Ahli Kitâb) kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka (maafkanlah dan biarkanlah Ahli Kitâb), sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.



Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ meriwayatkan dalam Akhlâq an-Nabî li Abî asy-Syaikh al-Ashbahânŷnya (No. Hadis. 69):
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ عَاصِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرُوْ بْنُ عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنِ الزُّهْرِيْ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ, أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ عَلَى حِمَارٍ، فَقَالَ لِسَعْدٍ: أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالَ أَبُوْ الْحُبَابِ؟, يُرِيْدُ عَبْدُ اللهِ بْنِ أُبَيْ. قَالَ: كَذَا وَكَذَا. فَقَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: اعْفُ عَنْهُ وَاصْفَحْ. فَعَفَا عَنْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ يَعْفُوْنَ عَنْ أَهْلِ الْكِتَابِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: (.......فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ).
“Ibnu Abî ‘Âshim telah mengabarkan kepada kami (kepada Abû asy-Syaikh), dia (Ibnu Abî ‘Âshim) berkata: “‘Amrû bin ‘Utsmân[1] telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî ‘Âshim), dia (‘Amrû bin ‘Utsmân) berkata: “Bisyr bin Syu’aib[2] telah bercerita kepada kami (kepada ‘Amrû bin ‘Utsmân), dari ayahnya[3] (dari ayahnya Bisyr bin Syu’aib yaitu: Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr), dari Ibnu Syihâb az-Zuhrî[4], dari ‘Urwah bin az-Zubair[5], dari Usâmah bin Zaid[6], dia (Sa’d bin ‘Ubâdah) mengabarkan (kepada Usâmah bin Zaid) bahwa: “Rasûlullâh SAW. (pada suatu saat) mengendarai seekor Keledai. Lalu beliau SAW. berkata kepada Sa’d bin ‘Ubâdah[7]: “Tidakkah anda (Sa’d bin ‘Ubâdah) mendengar perkataan Abul Hubab yaitu: ‘Abdullâh bin Ubay?”. Kata beliau SAW: “Demikian, demikian”.
“Sa’d bin ‘Ubâdah berkata (kepada Rasûlullâh SAW): “Maafkanlah dan biarkanlah dia (maafkanlah dan biarkanlah ‘Abdullâh bin Ubay) wahai Rasûlullâh SAW; maka Rasûlullâh SAW. memaafkannya (memaafkan ‘Abdullâh bin Ubay)”. Rasûlullâh SAW. beserta para Sahabatnya juga memaafkan Ahli Kitâb, serta kaum Musyrikîn. Maka Allah SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 109):
........ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (١٠٩)
109. ............... Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka (maafkanlah dan biarkanlah Ahli Kitâb), sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

KETERANGAN (dari para Muhadditsîn[8]):
Hadis di atas berkualitas shahîh[9], karena semua rawinya tsiqqât[10].
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat al-Baqarah, Ayat: 109), dengan menisbahkan kepada Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ dalam Akhlâq an-Nabî li Abî asy-Syaikh al-Ashbahânŷnya.



PENJELASAN (dari asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î):
Kata asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat al-Baqarah, Ayat: 109): “Hadis di atas rawi-rawinya tsiqqât, Ibnu Abî ‘Âshim adalah seorang al-Hâfizh al-Kabîr, biografinya (Ibnu Abî ‘Âshim) terdapat dalam Tadzkirat al-Huffâzh (2/640). Sedangkan biografi-biografi para rawi yang lain terdapat dalam Tahdzîb at-Tahdzîb. Dan Hadis di atas terdapat dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (9/299) karya al-Imâm al-Hâfizh al-Bukhârî, melalui jalur Bisyr bin Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr, sebagaimana sanad Hadis di atas; akan tetapi dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî tidak terdapat sebab turunnya (tidak terdapat Asbâb an-Nuzûlnya)”.



PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[11] Usâmah bin Zaid di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[12] yang dihukumi Marfu’[13]. Karena para Muhadditsîn[14] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Usâmah bin Zaid di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Usâmah bin Zaid di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Akhlâq an-Nabî li Abî asy-Syaikh al-Ashbahânŷ (Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).




















[1] Nama lengkapnya yaitu: ‘Amrû bin ‘Utsmân bin Sa’îd. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Abû Dâwud, al-Hâfizh an-Nasâ-î, al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan Maslamah bin Qâsim. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hamshî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Hafsh. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân) wafat pada tahun 250 Hijriyah.

[2] Nama lengkapnya yaitu: Bisyr bin Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr. Ia (Bisyr bin Syu’aib) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Ia (Bisyr bin Syu’aib) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh al-Bukhârî, al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan Abû Zar’ah ar-Râzî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Qâsim. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia (Bisyr bin Syu’aib) wafat pada tahun 213 Hijriyah.

[3] Namanya yaitu: Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr. Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în senior. Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah) adalah seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Umawî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bisyr. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah) wafat pada tahun 162 Hijriyah.

[4] Nama sebenarnya yaitu: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin Syihâb. Ia (Ibnu Syihâb az-Zuhrî) merupakan seorang Tâbi’în dekat pertengahan. Seluruh ‘Ulamâ’ telah ber-ijmâ’ mengenai keluhuran dan kredibelitas Ibnu Syihâb az-Zuhrî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî az-Zuhrî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bakr. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Syihâb az-Zuhrî) wafat pada tahun 124 Hijriyah.

[5] Nama lengkapnya yaitu: ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Aŵâm bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Izzî bin Qushay. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) wafat pada tahun 93 Hijriyah.

[6] Nama lengkapnya yaitu: Usâmah bin Zaid bin Hâritsah bin Syurhabîl. Ia (Usâmah bin Zaid) merupakan seorang Sahabat. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Kilabŷ. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya: Habb Rasûlullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Usâmah bin Zaid) wafat di Madînah pada tahun 54 Hijriyah.

[7] Nama lengkapnya yaitu: Sa’d bin ‘Ubâdah bin Dalîm. Ia (Sa’d bin ‘Ubâdah) merupakan seorang Sahabat. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Anshârî al-Khazrajŷ. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Tsâbit. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Sa’d bin ‘Ubâdah) wafat di Syâm pada tahun 15 Hijriyah.

[8] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[9] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[10] Tsiqqât adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.

[11] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[12] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.

[13] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.

[14] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Kamis, 19 April 2012

KENAPA SHALAT MENGHADAP KIBLAT (KA’BAH)?

KENAPA SHALAT MENGHADAP KIBLAT (KA’BAH)?


1.   Karena shalat menghadap Kiblat (Ka’bah) adalah KETETAPAN ALLAH (YANG TIDAK DAPAT DIGANGGU-GUGAT/TIDAK DAPAT DIRUBAH).
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 149):
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ (١٤٩)
149. Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah), SESUNGGUHNYA HAL ITU (HAL MEMALINGKAN WAJAH KE ARAH KA’BAH) ADALAH KETENTUAN (YANG TIDAK DAPAT DIGANGGU-GUGAT/TIDAK DAPAT DIRUBAH) DARI TUHANMU (ALLAH). Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 149}.


Serta sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu (wahai Muhammad) ke kiblat yang kamu sukai (yaitu Ka’bah). Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang mengetahui bahwa BERPALING KE MASJIDIL HARAM (KA’BAH) ITU ADALAH (KETENTUAN DAN KETETAPAN YANG) BENAR DARI TUHANNYA (DARI ALLAH). Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.




2.   Karena ARAH BARAT DAN TIMUR ADALAH ARAH YANG PALING DISENANGI OLEH ALLAH, sedangkan Kiblat Kaum Muslimîn yang dahulu kala adalah di sebelah Timur (Baitul Maqdis/Masjîd al-Aqshâ), kemudian dipalingkan oleh Allah menuju ke arah Barat (Ka’bah).
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 115):
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (١١٥)
115. DAN KEPUNYAAN ALLAH-LAH TIMUR DAN BARAT (MAKSUDNYA: ALLAH SWT. SANGAT MENYENANGI ARAH TIMUR DAN BARAT); maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (maksudnya: kekuasaan Allah meliputi seluruh alam, oleh karena itu di manapun manusia berada Allah SWT. mengetahui perbuatannya, karena manusia selalu berhadapan dengan Allah). Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 115}.


Dan sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 142):
سَيَقُوْلُ السُّفَهآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (١٤٢)
142. Orang-orang yang kurang akalnya (tidak waras) di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?". Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): "KEPUNYAAN ALLAH-LAH TIMUR DAN BARAT (MAKSUDNYA: ALLAH SWT. SANGAT MENYENANGI ARAH TIMUR DAN BARAT); Dia (Allah) memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 142}.


Serta sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. SUNGGUH KAMI (ALLAH) SERING MELIHAT MUKAMU (WAHAI MUHAMMAD) MENENGADAH KE LANGIT, MAKA SUNGGUH KAMI (ALLAH) AKAN MEMALINGKAN KAMU (WAHAI MUHAMMAD) KE KIBLAT YANG KAMU SUKAI (YAITU KA’BAH). PALINGKANLAH MUKAMU KE ARAH MASJIDIL HARAM (KA’BAH); DAN DIMANA SAJA KAMU BERADA MAKA PALINGKANLAH MUKAMU KE ARAHNYA. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan ketetapan yang) benar dari tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.




3. Untuk MENYELISIHI ORANG-ORANG YAHÛDI YANG BERKIBLAT KE BAITUL MAQDIS (MASJÎD AL-AQSHÂ).
Sebagaimana riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (No. Hadis. 1351):
حَدَّثَنَا أَبِيْ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ صَالِحٍ كَاتِبُ اللَّيْثِ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاس: كَانَ أَوَّلُ مَا نَسَخَ اللهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ، وَذَالِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ، وَكَانَ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْيَهُوْدُ. أَمَرَهُ اللهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ, فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ قِبْلَةَ إِبْرَاهِيْمَ، فَكَانَ يَدْعُوْ اللهَ وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ. فَأَنْزَلَ اللهُ: (قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ..........).
“Ayahku (ayahnya Ibnu Abî Hâtim) telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî Hâtim), dia (ayahnya Ibnu Abî Hâtim) berkata: “Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi telah bercerita kepada kami (kepada ayahnya Ibnu Abî Hâtim), dia (Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi) berkata: “Mu’âwiyah bin Shâleh telah bercerita kepada saya (kepada Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi), dari ‘Alî bin Abî Thalhah, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs: “(Ayat) al-Qurân yang pertama kali Allah SWT. hapus adalah (Ayat) mengenai Kiblat. Suatu ketika Rasûlullâh SAW. hijrah ke Madînah, dan pada saat itu MAYORITAS PENDUDUK MADÎNAH ADALAH (KAUM) YAHÛDI, MAKA ALLAH SWT. MEMERINTAHKAN (SHALAT) MENGHADAP BAITUL MAQDIS (MASJÎD AL-AQSHÂ), maka Rasûlullâh SAW. (shalat) menghadapnya (menghadap Masjîd al-Aqshâ) selama kurang lebih sepuluh bulan. Akan tetapi Rasûlullâh SAW. lebih menyukai (menyenangi) Kiblat (Nabi) Ibrâhîm (yaitu: Ka’bah). Maka beliau SAW. berdoa kepada Allah (agar arah Kiblat dirubah ke arah Ka’bah). Maka Allah SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu (wahai Muhammad) ke kiblat yang kamu sukai (yaitu Ka’bah). Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan ketetapan yang) benar dari Tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.[1]




4.   KIBLAT (KA’BAH) ADALAH KIBLAT YANG PALING DISENANGI OLEH NABI SAW.
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai Muhammad) menengadah ke Langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu (wahai Muhammad) ke KIBLAT YANG KAMU SUKAI (YAITU KA’BAH). Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan ketetapan yang) benar dari tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.


Serta sebagaimana riwayat al-Imâm al-Hâfizh al-Bukhârî dalam at-Tafsîr al-Kabîrnya (9/237):
حَدَّثَنَا أَبُوْ نُعَيْمٍ, سَمِعَ زُهَيْرًا, عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ, عَنِ اْلبَرَّاءِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلىَ بَيْتِ اْلمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا. وَ كَانَ يُحِبُّهُ أَنْ تَكُوْنَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ اْلبَيْتِ, وَ أَنَّهُ صَلَّى أَوْ صَلاَهَا صَلاَةَ اْلعَصْرِ وَ صَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ. فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَ هُمْ رَاكِعُوْنَ, قَالَ: أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ قِبَلَ مَكَّةَ, فَدَارُوْا كَمَا هُمْ قِبَلَ اْلبَيْتِ. وَ كَانَ الََّذِيْ مَاتَ عَلَى اْلقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ قِبَلَ اْلبَيْتِ رِجَالٌ قُتِلُوْا, لَمْ نَدْرِ مَا نَقُوْلُ فِيْهِمْ. فَأَنْزَلَ اللهُ: (وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَّمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ........).
“Abû Nu’aim telah bercerita kepada kami (kepada Bukhârî), dia (Abû Nu’aim) berkata: “Dia (Abû Nu’aim) mendengar Zuhair, dari Abû Ishâq, dari al-Barrâ’: “Bahwa Nabi SAW shalat menghadap Baitul Maqdis (menghadap Masjîd al-Aqshâ) selama 16 atau 17 bulan. BELIAU SAW. SANGAT SENANG (SANGAT SUKA) SEANDAINYA KIBLAT BELIAU SAW. ADALAH KA’BAH. Suatu ketika Beliau SAW. sholat Ashar dan ada beberapa orang yang ikut berjama’ah dengan Beliau SAW. Lalu seseorang yang ikut sholat bersama Beliau SAW. keluar dan melewati Jama’ah sebuah Masjid yang sedang ruku’. Dia (seseorang yang ikut sholat berjama’ah dengan Rasûlullâh) berkata: “Saya (seseorang yang ikut sholat berjama’ah dengan Rasûlullâh) bersaksi demi Allah, sungguh saya sudah shalat bersama Nabi SAW menghadap Mekkah (menghadap Ka’bah)”. Lalu Jama’ah itu berputar menghadap Baitullah (menghadap Ka’bah) dalam keadaan ruku’. Adapun yang meninggal dunia di atas Kiblat yang lama (yaitu: Baitul Maqdis/Masjîd al-Aqshâ) sebelum berpindah (Kiblat dari Masjîd al-Aqshâ), ada beberapa orang. Mereka terbunuh (dalam suatu peperangan), dan kami (kaum Muslimîn) tidak tahu apa yang harus kami (kaum Muslimîn) katakan tentang mereka (tentang beberapa orang yang meninggal terlebih dahulu sebelum Kiblat pindah ke Ka’bah). Maka Allah SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 143):
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَّمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ (١٤٣)
143. Dan demikian (pula) Kami (Allah) telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian (umat Islam) menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasûl (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami (Allah) tidak menetapkan Kiblat (Ka’bah) yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami (Allah) mengetahui (nyata) siapa yang mengikuti Rasûl dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan Kiblat ke arah Ka’bah) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (wahai umat Islam). Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.[2]



















[1] Hadis riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim ini berkualitas shahîh, karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim ini di-râjih-kan (dikuatkan) dengan riwayat-riwayat melalui jalur sanad lain yaitu: Riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (No. Hadis: 1123 atau 1/212. Dan No. Hadis: 1329 atau 1/248. Serta No. Hadis: 1355 atau 1/253). Riwayat al-Hâfizh al-Bayhaqî dalam as-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqînya (2/12 dan 2/13), melalui jalur sanad Abî Shâleh. Riwayat al-Hâfizh Ibnu al-Jauzî dalam an-Nâsikh wa al-Mansûkh li Ibn al-Jauzînya (halaman: 144), melalui jalur sanad ‘Athâ’ bin al-Kharrâsânŷ. Riwayat an-Nuhâs dalam an-Nâsikh wa al-Mansûkh li an-Nuhâsnya (halaman: 71). Riwayat Abû ‘Ubaid dalam an-Nâsikh wa al-Mansûkh li Abî ‘Ubaidnya (halaman: 16).

[2] Hadis riwayat al-Hâfizh Bukhârî ini berkualitas shahîh, karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya). Al-Hâfizh Bukhârî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis yang ia riwayatkan di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (1/103). Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî berkata dalam Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârînya (1/104): “Ada juga riwayat lain selain riwayat al-Hâfizh al-Bukhârî di atas melalui jalur sanad Sufyân ats-Tsaurŷ, dari Muhammad bin Ishâq, dia (Muhammad bin Ishâq) berkata: “Saya (Muhammad bin Ishâq) mendengar al-Barrâ’.............”. Sehingga amanlah Hadis riwayat al-Hâfizh al-Bukhârî di atas dari tadlis Muhammad bin Ishâq”. Al-Hâfizh ath-thayâlisî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad Abû Dâwud ath-Thayâlisînya (1/85). Al-Hâfizh Ibnu Sa’d juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam ath-Thabaqât al-Kubrânya (Jilid. 1, Juz. 2, halaman: 5). Dan Imâm Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (2/17).