Kamis, 17 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 48

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 48
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik[1]) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.



Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya; Serta menisbahkan kepada ath-Thabranî dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim dan ath-Thabranî yang bersumber dari Abû Ayyûb al-Anshârî. Abû Ayyûb al-Anshârî berkata: “Ada seorang lelaki yang datang menghadap Nabi SAW. dan (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) berkata: “Sesungguhnya saya mempunyai keponakan yang tidak mau berhenti berbuat haram”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Agama apa yang ia anut (ikuti)?”. Ia (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) menjawab: “Dia (keponakanku yang tidak mau berhenti berbuat haram) mau shalat dan mengesakan Allah”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) meninggalkan agamanya, kalau dia (keponakanmu) tidak mau, perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) membeli agamanya”. Kemudian lelaki tadi melaksanakan apa yang diperintahkan Rasûlullâh SAW. Setelah disampaikan (perintah Nabi SAW. kepada keponakannya), keponakannya enggan dan menolak untuk melaksanakan sabda SAW. Lalu lelaki tadi datang dan menghadap kembali kepada Rasûlullâh SAW. seraya berkata: “Sudah saya sampaikan (kepada keponakanku) perintah engkau (Nabi SAW.), tetapi dia (keponakanku) masih menyayangi agamanya”. Maka turunlah Ayat (Ayat: 48, Surat an-Nisâ’):
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.
Atsar[2] Abû Ayyûb al-Anshârî di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[3] yang dihukumi Marfu’[4]. Karena para Muhadditsîn[5] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Abû Ayyûb al-Anshârî di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Abû Ayyûb al-Anshârî di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabranî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabranî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).










[1] Syirik adalah: Mempersekutukan sesuatu dengan yang lain.
[2] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar