Kamis, 16 Februari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 135


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 135

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٣٥)
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya[1] ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.


Al-Hâfizh[2] Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 6, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari as-Suddy[3]. As-Suddy berkata: “Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 135):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٣٥)
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

“(As-Suddy melanjutkan ucapannya): “Diturunkan mengenai Nabi SAW. yang menerima pengaduan dua orang laki-laki yang bersengketa, yang satu kaya dan yang satu lagi faqîr (miskin). Nabi SAW. berpihak kepada yang faqîr (miskin); karena menurut pandangan beliau SAW: “Bahwa orang Faqîr (miskin) tidak akan berbuat zhâlim (aniaya) kepada yang kaya. Maka Allah SWT. tidak membenarkan tindakan Nabi SAW. tersebut, dan (Allah SWT.) memerintahkan (Nabi SAW.) untuk menegakkan keadilan di antara kedua belah pihak, yaitu antara orang kaya dan faqîr (miskin)”.

KETERANGAN (dari para Muhadditsîn):
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[4].
Kata Imâm Ahmad bin Hanbal: “As-Suddy adalah seorang yang tsiqqah[5].
Kata al-‘Ijlî: “As-Suddy adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-Hâfizh an-Nasâ-î: “Laisa Bihi Ba’sun (tidaklah mengapa as-Suddy)”.
Kata al-Hâfizh Ibnu ‘Adî: “Mustaqîm al-Hadîts (hadisnya as-Suddy benar/lurus)”.
Kata Yahyâ bin Ma’în: “Fî Hadîtshi Dha’f (Hadisnya as-Suddy lemah)”.
Kata Yahyâ bin Sa’îd al-Qaththân: “Lâ Ba’sa Bihi (as-Suddy tidak apa-apa)”.
As-Suddy adalah PERAWI SHAHÎH MUSLIM.
 

PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
‘Atsar[6] as-Suddy di atas adalah Hadis Maqthu’[7], akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal[8]. Karena para Muhadditsîn[9] telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[10] terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar as-Suddy di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î[11] shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan as-Suddy merupakan seorang yang hidup semasa (bersama) Tâbi’în[12] pertengahan, tsiqqah[13] dan ia (as-Suddy) tidak menyalahi para Huffâzh[14] yang amanah; Serta atsar (as-Suddy) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar as-Suddy di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).


KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[15]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1.    Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya). Dengan alasan orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) pula”.
2.    Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî, Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3.    Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a)   Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)   Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c)    Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)   Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat syarat berikut:
·      Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
·      Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama.
·      Sesuai dengan perkataan Sahabat.
·      Atau sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu”.[16]


KESIMPULAN:
Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam). Karena atsar as-Suddy di atas maqbûl (diterima) oleh Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain.





BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).











[1] Maksudnya: Orang yang tergugat ataupun yang terdakwa.

[2] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi hadis.

[3] Nama sebenarnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Abdurrahmân bin Abî Karîmah. Ia (as-Suddy) merupakan seorang yang hidup semasa (bersama) dengan Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya yaitu: as-Suddy al-Kabîr. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (as-Suddy) wafat pada tahun 127 Hijriyah.

[4] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[5] Tsiqqah adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.

[6] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[7] Hadis Maqthu’ adalah: Sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.

[8] Marfu’ Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya, yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.

[9] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[10] Tâbi’în adalah: Para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’îd bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.

[11] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik Tâbi’în senior maupun yunior.

[12] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, ‘Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin Sîrîn, dan sebagainya.

[13] Tsiqqah adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.

[14] Huffazh merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.

[15] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat) secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa menyebutkan penghubung antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang Sahabat.

[16] Imâm asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar