Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 135
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى
أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا (١٣٥)
135.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya[1]
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Al-Hâfizh[2] Jalâluddîn
as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz.
6, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn
Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari as-Suddy[3].
As-Suddy berkata: “Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 135):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى
أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا (١٣٥)
135.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
“(As-Suddy
melanjutkan ucapannya): “Diturunkan mengenai Nabi SAW. yang menerima pengaduan
dua orang laki-laki yang bersengketa, yang satu kaya dan yang satu lagi faqîr (miskin). Nabi SAW. berpihak kepada yang faqîr (miskin); karena menurut pandangan beliau
SAW: “Bahwa orang Faqîr (miskin) tidak
akan berbuat zhâlim (aniaya) kepada yang kaya. Maka Allah SWT. tidak membenarkan
tindakan Nabi SAW. tersebut, dan (Allah SWT.) memerintahkan (Nabi SAW.) untuk
menegakkan keadilan di antara kedua belah pihak, yaitu antara orang kaya dan
faqîr (miskin)”.
KETERANGAN (dari para Muhadditsîn):
Kata al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia
keluarkan di atas berkualitas hasan[4]”.
Kata Imâm Ahmad bin Hanbal: “As-Suddy adalah seorang yang
tsiqqah[5]”.
Kata al-‘Ijlî: “As-Suddy adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-Hâfizh an-Nasâ-î: “Laisa Bihi Ba’sun (tidaklah
mengapa as-Suddy)”.
Kata al-Hâfizh Ibnu ‘Adî: “Mustaqîm al-Hadîts (hadisnya as-Suddy
benar/lurus)”.
Kata Yahyâ bin Ma’în: “Fî Hadîtshi Dha’f (Hadisnya as-Suddy
lemah)”.
Kata Yahyâ bin Sa’îd al-Qaththân: “Lâ Ba’sa Bihi (as-Suddy tidak
apa-apa)”.
As-Suddy
adalah PERAWI SHAHÎH MUSLIM.
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
‘Atsar[6] as-Suddy di
atas adalah Hadis Maqthu’[7],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[8].
Karena para Muhadditsîn[9]
telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[10]
terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut
semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan
Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai
perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar as-Suddy di
atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut
pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum
Hadis Mursal Tâbi’î[11]
shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan
tsiqqah”. Sedangkan as-Suddy merupakan seorang yang hidup semasa (bersama) Tâbi’în[12]
pertengahan, tsiqqah[13]
dan ia (as-Suddy) tidak menyalahi para Huffâzh[14]
yang amanah; Serta atsar (as-Suddy) sesuai dengan persyaratan: Imâm
Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli
ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar as-Suddy di atas dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[15]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an
Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1. Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin
Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah
(pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel
ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya). Dengan alasan orang tsiqqah (orang yang
kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis
kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan
ke-dhâbith-annya) pula”.
2. Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî,
Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya
Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan
alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3. Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat
diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat
syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan
satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a) Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior
(kibar at-Tâbi’în).
b) Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang
kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c) Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d) Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat
syarat berikut:
· Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
· Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu
yang bukan pe-mursal pertama.
· Sesuai dengan perkataan Sahabat.
KESIMPULAN:
Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam). Karena atsar as-Suddy di
atas maqbûl (diterima) oleh Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain.
BIBLIOGRAFI
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(al-Hâfizh as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr
Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[1] Maksudnya:
Orang yang tergugat ataupun yang terdakwa.
[2] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[3] Nama
sebenarnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Abdurrahmân bin Abî Karîmah. Ia (as-Suddy)
merupakan seorang yang hidup semasa (bersama) dengan Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab
(gelar/titel) nya yaitu: as-Suddy al-Kabîr. Tempat tinggalnya di Kûfah.
Ia (as-Suddy) wafat pada tahun 127 Hijriyah.
[4] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[5] Tsiqqah
adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.
[6] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Maqthu’
adalah: Sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau
para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[8] Marfu’
Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya,
yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[9] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui
sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm
Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[10] Tâbi’în
adalah: Para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’îd bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah,
al-A’masy, dan sebagainya.
[11] Hadis Mursal
Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik
Tâbi’în senior maupun yunior.
[12] Tâbi’în
adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, ‘Urwah bin
az-Zubair, Muhammad bin Sîrîn, dan sebagainya.
[13] Tsiqqah
adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.
[14] Huffazh
merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli
hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis,
dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis,
serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000
hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn
ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr, Jalâluddîn
as-Suyûthî, dan sebagainya.
[15] Hadis Mursal
Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat)
secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan, perbuatan ataupun
persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa menyebutkan
penghubung antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang Sahabat.
[16] Imâm
asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar