Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (١٤٨)
148.
Allah tidak menyukai ucapan (perkataan) buruk[1],
(yang diucapkan) dengan terus terang kecuali orang-orang yang teraniaya[2].
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Al-Hâfizh[3] Jalâluddîn
as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz.
6, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Hannad bin as-Sirri dalam az-Zuhdnya:
“Dikemukakan
oleh Hannad bin as-Sirri yang bersumber dari Mujâhid[4]. Mujâhid
berkata: “Turunnya Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 148):
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (١٤٨)
148.
Allah tidak menyukai ucapan (perkataan) buruk, (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali orang-orang yang teraniaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
“(Mujâhid
melanjutkan perkataannya): “Mengenai seorang lelaki yang bertamu ke
rumah seorang lelaki (penduduk) Madînah yang
menerima perlakuan yang tidak baik, sampai ia (tamu yang dperlakukan tidak baik
tersebut) pindah (pergi) dari rumah orang itu (dari rumah seorang lelaki
penduduk Madînah tersebut). Tamu
tersebut menceritakan apa yang diperlakukan (seorang lelaki penduduk Madînah) terhadap dirinya”.
KETERANGAN (dari para Muhadditsîn[5]):
Kata al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia
keluarkan di atas berkualitas hasan[6]”.
Kata Yahyâ bin Ma’în: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah[7]”.
Kata Muhammad bin Sa’d: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata Abû Zar’ah ar-Râzî: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-‘Ijlî: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-Hâfizh Ibnu Hibbân: “Mujâhid adalah seorang yang mutqan
(terpercaya)”.
Mujâhid
adalah PERAWI SHAHÎHAYN (Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim).
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
‘Atsar[8] Mujâhid di
atas adalah Hadis Maqthu’[9],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[10].
Karena para Muhadditsîn[11]
telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[12]
terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut
semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan
Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai
perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Mujâhid di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut
pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ‘Ulama lain: “Hukum
Hadis Mursal Tâbi’î[13]
shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan
tsiqqah”. Sedangkan Mujâhid merupakan seorang Tâbi’în[14]
pertengahan, tsiqqah[15]
dan ia (Mujâhid) tidak menyalahi para Huffâzh[16]
yang amanah; Serta atsar (Mujâhid) sesuai dengan persyaratan: Imâm
Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian Ahli
Ilmu dan para ‘Ulama lain. Sehingga Atsar Mujâhid di atas dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[17]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama tentang ke-hujjah-an
Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1. Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin
Hanbal, dan ‘Ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah
(pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel
ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya). Dengan alasan, orang tsiqqah (orang yang
kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali
dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya)
pula”.
2. Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî,
Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya
Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan
alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3. Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian Ahli Ilmu: “Dapat
diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat
syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan
satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a) Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior
(kibar at-Tâbi’în).
b) Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel
ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya).
c) Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d) Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat
syarat berikut:
· Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
· Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu
yang bukan pe-mursal pertama.
· Sesuai dengan perkataan Sahabat.
KESIMPULAN:
Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam). Karena atsar Mujâhid di
atas maqbûl (diterima) oleh Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian Ahli Ilmu dan para ‘Ulama lain.
BIBLIOGRAFI
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(al-Hâfizh as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Az-Zuhd (Hannad bin as-Sirri).
[1] Ucapan Buruk
seperti: mencela orang lain, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang
lain, menyinggung perasaan seseorang, berbohong (berdusta) dan sebagainya.
[2] Maksudnya:
Orang-orang yang sedang dianiaya (teraniaya) oleh orang lain, sehingga ia
(orang yang teraniaya tersebut) terpaksa harus berbohong (berdusta) dan sebagainya.
[3] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli
hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis,
dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis,
serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000
hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn
ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr,
Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.
[4] Nama
lengkapnya yaitu: Mujâhid bin Jabar. Ia (Mujâhid) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Makhzûmî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hajjâj.
Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Mujâhid) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 102 Hijriyah.
[5] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[6] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[7] Tsiqqah
adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.
[8] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[9] Hadis Maqthu’
adalah: Sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau
para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[10] Marfu’
Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya,
yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[11] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[12] Tâbi’în
adalah: Para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’îd bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah,
al-A’masy, dan sebagainya.
[13] Hadis Mursal
Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik
Tâbi’în senior maupun yunior.
[14] Tâbi’în
adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, ‘Urwah bin
az-Zubair, Muhammad bin Sîrîn, dan sebagainya.
[15] Tsiqqah
adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.
[16] Huffazh
merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli
hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis,
dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis,
serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000
hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn
ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr,
Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.
[17] Hadis Mursal
Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat)
secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan, perbuatan ataupun
persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa menyebutkan penghubung
antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang Sahabat.
[18] Imâm
asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar