Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا ...................... (١٢٨)
128. Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz[1]
atau sikap tidak acuh dari suaminya………………….….
Imâm Bukhârî
meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li
al-Bukhârînya (9/334):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: {وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا
أَوْ إِعْرَاضًا..............} (١٢٨). قَالَتْ الرَّجُلُ تَكُونُ عِنْدَهُ الْمَرْأَةُ لَيْسَ
بِمُسْتَكْثِرٍ مِنْهَا يُرِيدُ أَنْ يُفَارِقَهَا فَتَقُولُ أَجْعَلُكَ مِنْ شَأْنِي
فِي حِلٍّ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي ذَلِكَ.
“Muhammad bin Muqâtil[2]
telah bercerita kepada kami (Bukhârî), katanya (Muhammad bin Muqâtil): “’Abdullâh[3]
telah mengabarkan kepada kami (Muhammad bin Muqâtil), katanya (‘Abdullâh): “Hisyâm
bin ‘Urwah[4]
telah bercerita kepada kami (‘Abdullâh) dari ayahnya (nama ayahnya yaitu:
‘Urwah bin az-Zubair[5])
dari ‘Âisyah[6],
(tentang Firman Allah SWT. Surat an-Nisâ’, Ayat: 128):
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا ...................... (١٢٨)
128. Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya………………….…”.
“Dia (‘Âisyah) berkata: “Ada seorang lelaki
(suami) yang memiliki isteri yang tidak merasa puas[7]
darinya (dari isterinya), dan ingin menceraikannya (menceraikan isterinya).
Kemudian dia (seorang lelaki yang memiliki isteri tersebut) berkata: “Saya
jadikan kamu bebas dari urusanku[8].
Maka turunlah dalam hal itu Ayat ini (Surat an-Nisâ’, Ayat: 128):
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا ...................... (١٢٨)
128. Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya………………….…”.
KETERANGAN (hadis di atas):
Imâm Muslim juga meriwayatkan
sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi
ash-Shahîh li Muslimnya (No. Hadis: 5342 dan 5343). Imâm at-Tirmidzî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis
di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan
at-Tirmidzînya (4/95).
Al-Hâfizh[9] Abû Dâwud
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan Abî Dâwudnya (2/208). Al-Hâkim juga meriwayatkan
sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/186),
dan kata al-Hâkim: “Hadis yang ia (al-Hâkim) riwayatkan berkualitas shahîh
menurut persyaratan shahîh Bukhârî dan Muslim”; dan disetujui oleh al-Hâfizh[10]
adz-Dzahabî. Ath-Thayâlisî
juga meriwayatkan sebagaimana
Hadis di atas dalam Musnad Abû Dâwud ath-Thayâlisînya (2/17). Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana
Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî
at-Ta’wîl al-Qurânnya (halaman: 307).
PENJELASAN (kedudukan
hadis di atas):
Atsar[11] ‘Âisyah binti Abû Bakar
ash-Shiddîq di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’,
maksudnya: hadis Mawqûf[12]
yang dihukumi Marfu’[13].
Karena para Muhadditsîn[14]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Âisyah binti
Abû Bakar ash-Shiddîq di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Âisyah binti
Abû Bakar ash-Shiddîq di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li al-Bukhârî
(Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li Muslim
(Imâm Muslim/al-Imâm Abû al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’
ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abî ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin Jarîr
bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Musnad
Abû Dâwud ath-Thayâlisî
(Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisî).
Sunan Abî Dâwud (al-Hâfizh Abû Dâwud/al-Imâm
al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats
as-Sijistânî al-Azadî).
[1] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri.
Nusyuz dari pihak isteri seperti: meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
Nusyuz dari pihak suami ialah: bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau
menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[2] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Muqâtil. Ia (Muhammad bin Muqâtil) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Marwazî al-Kisâ-î. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
al-Hasan. Laqab (gelar/titel) nya: Rakh. Tempat tinggalnya di
Baghdâd. Ia (Muhammad bin Muqâtil) wafat di Marwa ar-Rawadz pada
tahun 226 Hijriyah.
[3] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin al-Mubârak bin Wâdih. Ia (‘Abdullâh bin al-Mubârak) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Hanzhalî al-Marwazî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Tempat
tinggalnya di Hamsh. Ia (‘Abdullâh bin al-Mubârak) wafat di Harâh
pada tahun 181 Hijriyah.
[4] Nama
lengkapnya yaitu: Hisyâm bin ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwâm. Ia (Hisyâm bin
‘Urwah) merupakan seorang Tâbi’în junior. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Mundzir. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Hisyâm bin ‘Urwah) wafat
di Baghdâd pada tahun 145 Hijriyah.
[5] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Awwâm bin Khuwailid bin Asad bin
‘Abdul ‘Izzî bin Qushay. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) merupakan
seorang Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh.
Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) wafat pada tahun
93 Hijriyah.
[6] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq. Ia (‘Âisyah) merupakan
salah satu isteri Nabi SAW; serta ia (‘Âisyah) telah meriwayatkan 2.210 Hadîts. Nasab (keturunan) nya yaitu: at-Taymiyyah. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Ummu ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah.
Ia (‘Âisyah) wafat di Madînah pada tahun 58 Hijriyah.
[7] Tidak Merasa
Puas, maksudnya: Suaminya tidak merasakan kenikmatan dan kepuasan ketika berhubungan
badan (bersetubuh) dengan isterinya.
[8] Saya Jadikan Kamu Bebas dari Urusanku, maksudnya:
Suaminya me-nusyuz isterinya. Nusyuz yaitu: meninggalkan
kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti: meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami ialah: bersikap keras terhadap
isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[9] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[10] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[11] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[12] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[13] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[14] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar