Senin, 30 Januari 2012

TRANSAKSI (JUAL BELI) KREDIT

TRANSAKSI (JUAL BELI) KREDIT

A.  Definisi Transaksi (Jual Beli) Kredit
Transaksi (jual beli) kredit adalah: Jual beli dengan cara membayar harga barang secara berkala (bertahap) dalam jangka waktu yang ditentukan. Dalam jual beli kredit, penjual harus menyerahkan barang secara kontan, sedangkan pembeli membayar harga barang secara bertahap dalam jumlah dan jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Harga yang disepakati dalam jual beli kredit yang lazim berlaku adalah harga jual lebih tinggi dari harga pasar yang sebenarnya jika barang tersebut dibayar secara tunai, karena ada kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran.

B.  Ketentuan-ketentuan dalam Transaksi (Jual Beli) Kredit antara lain:
1.    Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang harga kredit dan jangka waktu pembayaran.
2.    Penjual dan pembeli harus menentukan akad jual beli dari mekanisme yang ditawarkan, yaitu tunai atau kredit.
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imâm at-Tirmidzî, Abû Dâwud dan al-Bayhaqî disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا. {رواه التّرمذي, أبو داود, البيهقي}.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dia (Abû Hurairah) berkata: Rasûlullâh SAW. bersabda: Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba. {HR. at-Tirmidzî, Abû Dâwud dan al-Bayhaqî}.

Ulamâ menafsirkan, yang dimaksud dengan Dua Akad dalam Satu Transaksi”, misalnya, seseorang berkata: “Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 12.000.000,- kredit Rp 15.000.000,-”, kemudian keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada kesepakatan pembelian, tunai atau kredit; maka akad jual beli ini batal adanya. Adapun ketika pembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi (tunai atau kredit) yang ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku atas harga yang disepakati.
3.    Ketentuan jual beli kredit dalam Syara’ (Islam) hanya ada dua pihak yang terkait, yakni pihak yang memberikan kredit (penjual) dan yang menerima kredit (pembeli). Dengan demikian, jual beli kredit yang di dalamnya terdapat tiga pihak yang terkait, yakni pembeli, lising (bank) dan penjual tidak diperbolehkan oleh Syara’ (Islam). Contoh: seorang pembeli datang kepada dealer sepeda motor (penjual) untuk membeli sebuah sepeda motor secara kredit, kemudian keduanya bersepakat bahwa pembelian dilakukan secara kredit dengan jumlah dan jangka waktu tertentu. Tetapi ternyata lising (bank) melunasi terlebih dahulu pada dealer. Maka sebenarnya yang terjadi adalah pembeli membayar cicilan kepada pihak lising (bank), bukan pada penjual. Hal yang demikian bukanlah transaksi jual beli kredit, tetapi transaksi hutang piutang yang di larang oleh Syara’ (Islam).
4.    Dalam jual beli kredit, ketika pembeli telah menentukan pilihan atas opsi harga kredit yang ditawarkan, maka harga itu berlaku secara mutlak, tidak bisa berubah.  Baik pembeli mampu melunasi tepat waktu, ataupun terjadi penundaan. Contoh: jika pembeli sepakat dengan harga Rp 15.000.000,- dalam jangka waktu empat tahun, namun akhirnya ia mampu melunasi dalam jangka waktu tiga tahun, maka ia tetap membayar Rp 15.000.000,-. Begitu pula sebaliknya, harga kredit tidak mengalami penurunan jika pembayaran dilakukan lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.
5.    Jika suatu saat pembeli tidak sanggup untuk melanjutkan pembayaran angsuran, maka pembeli berhak untuk mengajukan pemutusan akad (transaksi) kredit. Dengan demikian, pembeli berkewajiban mengembalikan barang yang dikredit, dan penjual harus mengembalikan uang angsuran yang telah dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.

C.  Keterangan dan Penjelasan Mengenai Transaksi (Jual Beli) Kredit
Empat ‘Ulamâ Madzhab dan mayoritas ‘Ulamâ Fikih Kontemporer mengakui keabsahan praktek jual beli kredit dengan harga jual lebih tinggi dari harga tunai. Di antara landasan Syar’î (Islam) yang dijadikan dasar memperbolehkan praktek akad (transaksi) jual beli kredit adalah sebagai berikut:
1.    Hukum asal dalam Mu’âmalah adalah mubah (boleh), kecuali terdapat Nash Shahîh dan Sharîh yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ‘Ibâdah Mahzhah (ibadah yang wajib), hukum asalnya adalah haram kecuali ada Nash yang memerintahkan untuk melakukanya. Dengan demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan sebuah transaksi Mu’âmalah, sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi Mu’âmalah sah dan hukumnya mubah (boleh).
2.    Keumuman Nash al-Qurân Surat al-Baqarah (2), Ayat: 275 sebagaimana di bawah ini:
........ وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا........ . {البقرة: 2:275}.
Artinya: “...........padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba………. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 275}.

Dalam Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 275) di atas, Allah mempertegas keabsahan jual beli secara umum, kehalalan ini mencakup semua jenis jual beli, termasuk di dalamnya jual beli kredit, sekaligus menolak dan melarang konsep ribawi (riba).
3.    Adanya unsur tolong-menolong dalam transaksi jual beli kredit, dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya. Prinsip tolong-menolong ini sesuai dengan semangat al-Qurân Surat al--idah (5), Ayat: 2 sebagaimana di bawah ini:
........وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ........ . {المآئدة: 5: 2}.
Artinya: ………..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan……….. {Surat al-Mâ-idah (5), Ayat: 2}.

4.    Kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dari harga tunai, dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut, bukan sebagai kompensasi waktu semata yang tergolong riba. Dan sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa sebuah komoditas mempunyai nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya dari masa ke masa. Di antara Jumhûr ‘Ulamâ Fiqih yang berpendapat demikian adalah Hanafî, para pengikut Imâm asy-Syâfi’î, Zaid bin ‘Alî dan Muayyid Billâh.
5.    Transaksi Muâmalah dibangun atas asas (dasar) Mashlahah (kebaikan umat manusia). Syara’ (Islam) datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Syara’ (Islam) juga tidak akan melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Seperti: ribâ, zhâlim, penimbunan, penipuan dan sebagainya. Jual beli kredit akan menjadi mashlahah (kebaikan umat manusia) bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan keterbatasan dana yang dimiliki.

Dengan demikian, jual beli komoditas dengan cara kredit, yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor, bukanlah transaksi hutang-piutang ataupun transaksi atas barang ribawi (riba), namun ia adalah jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh Syari’at (Islam). Tentunya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar