Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 100
............................. وَمَنْ
يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (١٠٠)
100. ……………………............... Barangsiapa keluar
dari rumahnya dengan maksud (tujuan) berhijrah kepada Allah dan Rasûl-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dituju); maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Ibnu Jarîr
meriwayatkan dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurannya
(5/240):
“Ahmad bin Manshûr ar-Ramadî telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr), katanya (Ahmad bin Manshûr ar-Ramadî): “Abû Ahmad az-Zubairî telah bercerita kepada
kami (Ahmad bin Manshûr ar-Ramadî), katanya (Abû Ahmad az-Zubairî): “Muhammad bin Syarîk telah bercerita kepada kami (Abû Ahmad az-Zubairî) dari ‘Amr bin Dînâr dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin
‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97) ini
turun:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ ........................(٩٧)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri……………………………….”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan): “Dahulu di Makkah ada seseorang yang bernama Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar dari Banî Bakr sedang sakit, lalu (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) berkata kepada keluarganya (kepada keluarga Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar): “Keluarkanlah aku (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) dari Makkah, karena saya (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) merasa panas”. Mereka (keluarga Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) berkata: “Ke mana kami (keluarga Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) mengeluarkan engkau (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar)?”. Dia (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) mengisyaratkan ke arah Madînah, maka turunlah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 100) ini:
............................. وَمَنْ
يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (١٠٠)
100. ……………………............... Barangsiapa keluar
dari rumahnya dengan maksud (tujuan) berhijrah kepada Allah dan Rasûl-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dituju); maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Abû
Bakr bin Abî Syaibah juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Mathâlib
al-‘Âliyahnya (433), sebagai penguat Hadis di atas.
Dikeluarkan
oleh Ibnu Abî Hâtim, sebagaimana dalam riwayat al-Hâfizh[1]
Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/543).
Al-Hâfizh
Ibnu Hajar al-‘Asqalanî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Ishâbah
fî Tamyîz ash-Shahâbahnya (1/253), akan tetapi melalui jalur sanad[2]
lain.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan
menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya
(5/240); Serta menisbahkan kepada
al-Hâfizh Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/543);
Serta menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya;
Serta menisbahkan kepada Abû Ya’lâ al-Mûshilî dalam Musnad Abû Ya’lâ
al-Mûshilînya; Serta menisbahkan kepada al-Hâfizh Muhammad bin Sa’d
(Ibnu Sa’d) dalam ath-Thabaqât al-Kubrânya.
Kata
al-Hâfizh al-Haitsamî dalam Majma’ az-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-idnya
(7/10): “Abû Ya’lâ al-Mûshilî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas
dalam Musnad Abû Ya’lâ al-Mûshilînya. Dan para râwi (riwayat Abû Ya’lâ
al-Mûshilî) adalah râwi Shahîh kecuali Muhammad bin Syarîk, dia (Muhammad bin
Syarîk) tsiqqah[3].
Dalam matan[4]
Abû Ya’lâ al-Mûshilî ada redaksi (matan) tambahan: “………………………..lalu dia (Jundûb
bin Dhamrah adh-Dhamar) mati dalam perjalanan sebelum sampai kepada Nabi SAW”.
PENJELASAN
(hadis di atas):
Atsar[5] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6]
yang dihukumi Marfu’[7].
Karena para Muhadditsîn[8]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN:
Ayat (Surat
an-Nisâ’, Ayat: 100) di
atas diturunkan kepada Jundûb bin Dhamrah
adh-Dhamar dari Banî Bakr, ia (Jundûb bin Dhamrah adh-Dhamar) merupakan seorang
Muslim Makkah.
BIBLIOGRAFI
Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah (al-Hâfizh
Ibnu Hajar al-‘Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin
Hajar al-‘Asqalanî).
Ath-Thabaqât al-Kubrâ (al-Hâfizh
Ibnu Sa’d/Muhammad bin Sa’d az-Zuhrî al-Bashrî).
Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh
as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-id (al-Hâfizh al-Haitsamî).
Mathâlib al-‘Âliyah (Ibnu Abî
Syaibah/Abû Bakr bin Abî Syaibah).
Musnad Abû Ya’lâ al-Mûshilî (Abû Ya’lâ
al-Mûshilî/Ahmad bin ‘Alî al-Mutsannâ
al-Mûshilî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn
Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[1] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[5] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[6] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[7] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[8] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar