Sejarah Perkembangan Bimbingan Dan Penyuluhan
A. Sejarah Bimbingan dan Penyuluhan Secara Umum
Sejarah bimbingan dan penyuluhan secara umum dilatarbelakangi oleh
pemikiran para Filosof, yaitu: Plato (347-427), Aristoteles (322-384), John
Locke (1704-1932), Berkeley (1685-1753), Hume (1711-1776), dan James Mill
(1773-1836) serta ahli lainnya yang telah memberikan serta membentuk batasan
tentang kodrat manusia (nature of man), kodrat sosial (the nature of
society), dan hubungan antara individu dengan masyarakat (the
relationship between the individual and society).[1]
B. Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Penyuluhan di Indonesia
Kegiatan bimbingan dan penyuluhan di
Indonesia lebih banyak dilakukan dalam kegiatan pendidikan formal di sekolah. Pada
awal tahun 1960 di beberapa sekolah dilaksanakan program bimbingan yang
terbatas pada bimbingan akademis. Pada tahun 1964 lahir Kurikulum SMA Gaya
Baru, dengan kewajiban melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan. Akan
tetapi program ini tidak berkembang karena kurang persiapan prasyarat, terutama
kurangnya tenaga pembimbing yang profesional. Untuk mengatasi masalah tersebut,
maka pada dasawarsa 60-an Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan diteruskan
pada tahun 1963 oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan membuka Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan yang sekarang dikenal di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB).
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, pada
dekade 70-an bimbingan dan penyuluhan mulai dimenej secara aktif, salah satu
bentuk tersebut yaitu Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) membawa
harapan baru pada pelaksanaan bimbingan di sekolah karena staf bimbingan
memegang peranan penting dalam sistem sekolah pembangunan. Secara formal
bimbingan dan penyuluhan diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya
Kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa: “Bimbingan dan penyuluhan merupakan
bagian integral dalam pendidikan di sekolah”. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberikan pengaruh signifikan
terhadap perluasan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Pada dekade 80-an, bimbingan diupayakan
agar lebih mantap, yaitu dengan mewujudkan pelayanan bimbingan yang
profesional. Contohnya yaitu penyempurnaan kurikulum dari Kurikulum 1975 ke
Kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 telah dimasukkan “Bimbingan Karir”. Usaha
untuk memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya UU. No.
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional; dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan
bahwa: “ Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang”.
Memenejemen bimbingan dan penyuluhan terus
dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK. MENPAN No. 84/1993 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dalam Pasal 3 disebutkan: “Tugas pokok
guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan,
evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan
tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi
tanggung jawabnya”.
Selanjutnya pada tahun 2001 terjadi
perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), hal ini berlandaskan bahwa
bimbingan dan penyuluhan harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan
dan kepercayaan publik[2].
C. Latar Belakang Diperlukannya Bimbingan dan Penyuluhan
Latar belakang diperlukannya bimbingan dan penyuluhan
karena beberapa faktor:
1. Faktor Filosofis
Faktor Filosofis berkaitan dengan pandangan tentang
hakikat manusia. Filsafat Humanisme merupakan salah satu aliran filsafat yang
berpengaruh besar terhadap timbulnya semangat memberikan bimbingan dan
penyuluhan. Aliran Filsafat Humanisme berpandangan bahwa: “Manusia memiliki
potensi yang dapat dikembangkan seoptimal mungkin”. Aliran tersebut mempunyai
keyakinan bahwa: “Masyarakat yang miskin dapat dikembangkan melalui bimbingan
pekerjaan, sehingga pengangguran dapat dihapuskan”. Mereka juga berpandangan
bahwa: “Sekolah adalah tempat yang baik dan tepat untuk memberikan bimbingan
pekerjaan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
2. Faktor Psikologis
Faktor Psikologis berkaitan erat dengan proses
perkembangan manusia yang sifatnya unik, atau berbeda dari mahluk lain.
Implikasi dari keragaman ini ialah bahwa: “Individu memiliki kebebasan dan
kemerdekaan untuk memilih dan mengembangkan diri sesuai dengan keunikan dan
tiap-tiap potensi tanpa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Dari sisi
keunikan dan keragaman individu diperlukan bimbingan dan penyuluhan untuk
membantu setiap individu mencapai perkembangan yang sehat di lingkungannya”.
3. Faktor Sosial Budaya (SOSBUD)
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat adalah sistem
terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan ini mendorong
terjadinya pertumbuhan, pergeseran dan perubahan nilai dalam masyarakat yang
akan mewarnai cara berpikir dan perilaku individu. Nilai menjadi hal penting
dalam perkembangan individu, karena nilai menjadi dasar bagi individu dalam
proses memilih dan mengambil keputusan. Bimbingan dan penyuluhan membantu
individu memelihara, menginternalisasi, memperhalus, dan memaknai nilai sebagai
landasan dan arah pengembangan diri.
4. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat, kesempatan kerja berkembang dengan pesat pula, sehingga para
siswa membutuhkan bantuan dari para pembimbing untuk menyesuaikan minat dan
kemampuan mereka terhadap kesempatan dunia kerja yang selalu berubah dan
meluas.
5. Demokratisasi Dalam Pendidikan
Sistem pemerintahan yang demokratis berdampak positif
terhadap aspek seluruh kehidupan. Kesempatan yang sama untuk semua orang telah
menjadi kenyataan dalam berbagai bidang, baik di sekolah, universitas, perguruan
tinggi lainnya, pabrik-pabrik dan industri, maupun di kalangan profesional.
Sekolah-sekolah menampung murid-murid dari berbagai asal-usul dan latar
belakang kehidupan yang berbeda. Keadaan ini menimbulkan bertumpuknya masalah
yang dihadapi seseorang yang terlibat dalam kelompok campuran itu. Dalam keaadan
seperti ini, pelayanan bimbingan dan penyuluhan merupakan salah satu cara untuk
menanggulangi masalah tersebut.
6. Perluasan Program Pendidikan
Perluasan program pendidikan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan
kemampuannya. Arah ini menimbulkan kebutuhan akan bimbingan, yaitu dalam
memilih kelanjutan sekolah yang paling tepat, serta menilai kemampuan siswa
yang bersangkutan, mungkinkah ia melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
7. Perkembangan di Bidang Industri
Perkembangan di bidang industri selain berdampak
positif juga berdampak negatif bagi kehidupan sosial
para remaja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota industri. Kenakalan
remaja meningkat, ketegangan dan prasangka rasial yang
didasarkan sentimen keagamaan meningkat; begitu
pula peran rumah (keluarga) sebagai penunjang, penggerak dan pembina
moral tidak efektif lagi. Moral dan nilai-nilai menjadi kacau tidak
menentu. Kondisi tersebut membutuhkan bimbingan dan penyuluhan yang memadai
untuk menanggulanginya[3].
D. Latar Belakang Diperlukannya Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah
Latar belakang diperlukannya bimbingan dan penyuluhan
di sekolah karena:
1. Keresahan hidup di kalangan masyarakat semakin meningkat, karena
banyaknya konflik, stress, kecemasan dan frustasi.
2. Adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi dan makin
sulit diterapkannya ukuran baik-jahat serta benar-salah secara lugas.
3. Adanya ambisi beberapa kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak
hanya konflik psikis saja, akan tetapi juga konflik fisik.
4. Pelarian dari masalah melalui jalan pintas yang bersifat sementara juga
adiktif, seperti penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang (NARKOBA).
Untuk mengatasi beberapa masalah di atas, perlu dipersiapkan insân dan sumber daya manusia Indonesia yang
bermutu, yaitu manusia yang harmonis lahir dan batin, sehat jasmani dan rohani,
berahlak mulia dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional,
serta dinamis dan kreatif. Hal ini sesuai visi dan misi Pendidikan Nasional.
Untuk mencetak manusia yang bermutu, maka
diperlukan pendidikan yang bermutu pula. Pendidikan yang bermutu tidak hanya cukup
dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahauan dan teknologi, akan tetapi
harus didukung dengan peningkatan profesionalitas dan sistem manejemen tenaga
kependidikan, serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri
sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya. Kemampuan
peserta didik yang harus dikembangkan tidak hanya menyangkut aspek akademis
saja, akan tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial,
kematangan intelektual dan sistem nilai.
Oleh karena itu, pendidikan yang bermutu merupakan
pendidikan yang seimbang, tidak hanya mampu mengantarkan peserta didik pada
pencapaian standar kemampuan profesional dan akademis saja; akan tetapi juga
mampu membuat perkembangan diri yang sehat dan produktif[4].
DAFTAR PUSTAKA
Hallen. A. 2005. Bimbingan dan Konseling.
Ciputat: PT. Ciputat Press.
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009. Bimbingan
dan Konseling. Bandung: PT. Refika Aditama.
Partowisastro, Kastur. 1982. Bimbingan
dan Penyuluhan di Sekolah-sekolah. Jakarta:
Penerbit
Erlangga.
Prayitno. 1983. Pengertian Dasar dan
Asas-asas Bimbingan dan Penyuluhan. Salatiga:
Universitas
Kristen Satya Wacana.
Sukardi, Dewa Ketut. 1983. Dasar-dasar
Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Surabaya:
Penerbit
Usaha Nasional.
. 1985. Pengantar Teori Konseling. Jakarta
Timur: Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar