Jumat, 20 Januari 2012

Sejarah Perkembangan Bimbingan Dan Penyuluhan

Sejarah Perkembangan Bimbingan Dan Penyuluhan

A.  Sejarah Bimbingan dan Penyuluhan Secara Umum
Sejarah bimbingan dan penyuluhan secara umum dilatarbelakangi oleh pemikiran para Filosof, yaitu: Plato (347-427), Aristoteles (322-384), John Locke (1704-1932), Berkeley (1685-1753), Hume (1711-1776), dan James Mill (1773-1836) serta ahli lainnya yang telah memberikan serta membentuk batasan tentang kodrat manusia (nature of man), kodrat sosial (the nature of society), dan hubungan antara individu dengan masyarakat (the relationship between the individual and society).[1]

B.  Sejarah Perkembangan Bimbingan dan Penyuluhan di Indonesia
Kegiatan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia lebih banyak dilakukan dalam kegiatan pendidikan formal di sekolah. Pada awal tahun 1960 di beberapa sekolah dilaksanakan program bimbingan yang terbatas pada bimbingan akademis. Pada tahun 1964 lahir Kurikulum SMA Gaya Baru, dengan kewajiban melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan. Akan tetapi program ini tidak berkembang karena kurang persiapan prasyarat, terutama kurangnya tenaga pembimbing yang profesional. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada dasawarsa 60-an Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan diteruskan pada tahun 1963 oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan yang sekarang dikenal di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB).
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, pada dekade 70-an bimbingan dan penyuluhan mulai dimenej secara aktif, salah satu bentuk tersebut yaitu Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) membawa harapan baru pada pelaksanaan bimbingan di sekolah karena staf bimbingan memegang peranan penting dalam sistem sekolah pembangunan. Secara formal bimbingan dan penyuluhan diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya Kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa: “Bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah”. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberikan pengaruh signifikan terhadap perluasan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Pada dekade 80-an, bimbingan diupayakan agar lebih mantap, yaitu dengan mewujudkan pelayanan bimbingan yang profesional. Contohnya yaitu penyempurnaan kurikulum dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 telah dimasukkan “Bimbingan Karir”. Usaha untuk memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya UU. No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional; dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa: “ Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Memenejemen bimbingan dan penyuluhan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK. MENPAN No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dalam Pasal 3 disebutkan: “Tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya”.
Selanjutnya pada tahun 2001 terjadi perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), hal ini berlandaskan bahwa bimbingan dan penyuluhan harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik[2].

C.  Latar Belakang Diperlukannya Bimbingan dan Penyuluhan
Latar belakang diperlukannya bimbingan dan penyuluhan karena beberapa faktor:
1.      Faktor Filosofis
Faktor Filosofis berkaitan dengan pandangan tentang hakikat manusia. Filsafat Humanisme merupakan salah satu aliran filsafat yang berpengaruh besar terhadap timbulnya semangat memberikan bimbingan dan penyuluhan. Aliran Filsafat Humanisme berpandangan bahwa: “Manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan seoptimal mungkin”. Aliran tersebut mempunyai keyakinan bahwa: “Masyarakat yang miskin dapat dikembangkan melalui bimbingan pekerjaan, sehingga pengangguran dapat dihapuskan”. Mereka juga berpandangan bahwa: “Sekolah adalah tempat yang baik dan tepat untuk memberikan bimbingan pekerjaan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.

2.      Faktor Psikologis
Faktor Psikologis berkaitan erat dengan proses perkembangan manusia yang sifatnya unik, atau berbeda dari mahluk lain. Implikasi dari keragaman ini ialah bahwa: “Individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih dan mengembangkan diri sesuai dengan keunikan dan tiap-tiap potensi tanpa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Dari sisi keunikan dan keragaman individu diperlukan bimbingan dan penyuluhan untuk membantu setiap individu mencapai perkembangan yang sehat di lingkungannya”.

3.      Faktor Sosial Budaya (SOSBUD)
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat adalah sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan ini mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran dan perubahan nilai dalam masyarakat yang akan mewarnai cara berpikir dan perilaku individu. Nilai menjadi hal penting dalam perkembangan individu, karena nilai menjadi dasar bagi individu dalam proses memilih dan mengambil keputusan. Bimbingan dan penyuluhan membantu individu memelihara, menginternalisasi, memperhalus, dan memaknai nilai sebagai landasan dan arah pengembangan diri.
   
4.      Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, kesempatan kerja berkembang dengan pesat pula, sehingga para siswa membutuhkan bantuan dari para pembimbing untuk menyesuaikan minat dan kemampuan mereka terhadap kesempatan dunia kerja yang selalu berubah dan meluas.

5.      Demokratisasi Dalam Pendidikan
Sistem pemerintahan yang demokratis berdampak positif terhadap aspek seluruh kehidupan. Kesempatan yang sama untuk semua orang telah menjadi kenyataan dalam berbagai bidang, baik di sekolah, universitas, perguruan tinggi lainnya, pabrik-pabrik dan industri, maupun di kalangan profesional. Sekolah-sekolah menampung murid-murid dari berbagai asal-usul dan latar belakang kehidupan yang berbeda. Keadaan ini menimbulkan bertumpuknya masalah yang dihadapi seseorang yang terlibat dalam kelompok campuran itu. Dalam keaadan seperti ini, pelayanan bimbingan dan penyuluhan merupakan salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut.

6.      Perluasan Program Pendidikan
Perluasan program pendidikan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan kemampuannya. Arah ini menimbulkan kebutuhan akan bimbingan, yaitu dalam memilih kelanjutan sekolah yang paling tepat, serta menilai kemampuan siswa yang bersangkutan, mungkinkah ia melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

7.      Perkembangan di Bidang Industri
Perkembangan di bidang industri selain berdampak positif juga berdampak negatif bagi kehidupan sosial para remaja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota industri. Kenakalan remaja meningkat, ketegangan dan prasangka rasial yang didasarkan sentimen keagamaan meningkat; begitu pula peran rumah (keluarga) sebagai penunjang, penggerak dan pembina moral tidak efektif lagi. Moral dan nilai-nilai menjadi kacau tidak menentu. Kondisi tersebut membutuhkan bimbingan dan penyuluhan yang memadai untuk menanggulanginya[3].

D.  Latar Belakang Diperlukannya Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah
Latar belakang diperlukannya bimbingan dan penyuluhan di sekolah karena:
1.      Keresahan hidup di kalangan masyarakat semakin meningkat, karena banyaknya konflik, stress, kecemasan dan frustasi.
2.      Adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi dan makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat serta benar-salah secara lugas.
3.      Adanya ambisi beberapa kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak hanya konflik psikis saja, akan tetapi juga konflik fisik.
4.      Pelarian dari masalah melalui jalan pintas yang bersifat sementara juga adiktif, seperti penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang (NARKOBA).

Untuk mengatasi beberapa masalah di atas, perlu dipersiapkan insân dan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu, yaitu manusia yang harmonis lahir dan batin, sehat jasmani dan rohani, berahlak mulia dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional, serta dinamis dan kreatif. Hal ini sesuai visi dan misi Pendidikan Nasional.
Untuk mencetak manusia yang bermutu, maka diperlukan pendidikan yang bermutu pula. Pendidikan yang bermutu tidak hanya cukup dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahauan dan teknologi, akan tetapi harus didukung dengan peningkatan profesionalitas dan sistem manejemen tenaga kependidikan, serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya. Kemampuan peserta didik yang harus dikembangkan tidak hanya menyangkut aspek akademis saja, akan tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan sistem nilai.
Oleh karena itu, pendidikan yang bermutu merupakan pendidikan yang seimbang, tidak hanya mampu mengantarkan peserta didik pada pencapaian standar kemampuan profesional dan akademis saja; akan tetapi juga mampu membuat perkembangan diri yang sehat dan produktif[4].





DAFTAR PUSTAKA

Hallen. A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Ciputat: PT. Ciputat Press.
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009. Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Refika Aditama.
Partowisastro, Kastur. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah-sekolah. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Prayitno. 1983. Pengertian Dasar dan Asas-asas Bimbingan dan Penyuluhan. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.
Sukardi, Dewa Ketut. 1983. Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Surabaya:
Penerbit Usaha Nasional.
                                     . 1985. Pengantar Teori Konseling. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.














[1] Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling, (Cet. 1; Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1985), h. 36.
[2] Ahmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Cet. 3; Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 5-6.
[3] Ibid., h. 1-2.
[4] Ibid., h. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar