Minggu, 15 Januari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 97-98


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 97-98

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[1], (kepada mereka[2]) Malaikat bertanya: "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka[3] menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Mereka[4] itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali;
98. Kecuali mereka[5] yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu, tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).




Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/331):
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ قَالَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ وَغَيْرُهُ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو الْأَسْوَدِ قَالَ قُطِعَ عَلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ بَعْثٌ فَاكْتُتِبْتُ فِيهِ فَلَقِيتُ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَأَخْبَرْتُهُ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ أَشَدَّ النَّهْيِ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ نَاسًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ كَانُوا مَعَ الْمُشْرِكِينَ يُكَثِّرُونَ سَوَادَ الْمُشْرِكِينَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي السَّهْمُ فَيُرْمَى بِهِ فَيُصِيبُ أَحَدَهُمْ فَيَقْتُلُهُ أَوْ يُضْرَبُ فَيُقْتَلُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ......................}.
(قَالَ الْبُخَارِيْ): رَوَاهُ اللَّيْثُ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ.
“Telah bercerita kepada kami (Bukhârî) ‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u[6], katanya (‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u): “Haywah[7] dan yang lainnya[8] telah bercerita kepada kami (‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u), keduanya (Haywah dan al-Laits[9]) berkata: “Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad[10] telah bercerita kepada kami (Haywah dan al-Laits), katanya (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad): “Ditetapkan atas penduduk Madînah satu pasukan[11], lalu saya (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) mendaftarkan diri di dalamnya[12], lalu aku (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) bertemu ‘Ikrimah[13] dan saya (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) menceritakan hal itu[14], maka dia (‘Ikrimah) pun melarangku (melarang Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) dengan hebat[15], kemudian (‘Ikrimah) berkata: “’Abdullâh bin ‘Abbâs[16] mengabarkan kepadaku (kepada ‘Ikrimah): “Bahwa dahulu kala (pada peperangan Badar) ada sekelompok (segolongan) kaum Muslimîn[17] ikut serta bersama kaum Musyrikîn memperbanyak jumlah (pasukan) kaum Musyrikîn (untuk) menyerang Rasûlullâh SAW; kemudian datanglah panah mengenai salah seorang dari mereka[18] dan membunuhnya. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ ........................(٩٧)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri……………………………….”.

“(Kata Bukhârî): “(Hadis di atas) juga diriwayatkan oleh al-Laits dari Abû al-Aswad (dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs)[19].

KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Imâm Bukhârî mengulangi sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (16/147). Dikeluarkan oleh Ibnu Abî Hâtim, sebagaimana dalam riwayat al-Hâfizh[20] Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/542). Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya (5/234 dan 5/235). Ath-Thahawî juga mengeluarkan dalam Syarh Musykil al-Atsarnya (4/327) secara ringkas seperti riwayat Bukhârî di atas, dan secara panjang lebar seperti riwayat al-Bazzâr.
Kata al-Hâfizh[21] al-Haitsamî dalam Majma’ az-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-idnya (7/10): “Para râwi (riwayat al-Bazzâr) adalah râwi Shahîh kecuali Muhammad bin Syarik, dia (Muhammad bin Syarik) tsiqqah[22].


PENJELASAN (hadis di atas):
Atsar[23] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[24] yang dihukumi Marfu’[25]. Karena para Muhadditsîn[26] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).









Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya (14/184); Serta menisbahkan kepada Ibnu al-Mundzir dalam Tafsîr Ibn al-Mundzirnya:
“Ahmad bin Manshûr telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr dan Ibnu al-Mundzir), katanya (Ahmad bin Manshûr): “Abû Ahmad az-Zubairî telah bercerita kepada kami (Ahmad bin Manshûr), katanya (Abû Ahmad az-Zubairî): “Muhammad bin Syarik telah bercerita kepada kami (Abû Ahmad az-Zubairî) dari ‘Amr bin Dînâr dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Dahulu kala satu kelompok (segolongan) penduduk Makkah masuk Islam dan menyembunyikan keislamannya; pada waktu (perang) Badar kaum Musyrikîn memaksa mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah yang menyembunyikan keislamannya) ikut keluar (untuk perang Badar melawan Nabi SAW). Akhirnya sebagian mereka (sebagian sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) terkena musibah (yaitu: terluka) dan sebagian lagi (ada) yang terbunuh. Kata kaum Muslimîn: “Dahulu teman-teman kami yang muslim dipaksa (agar mau bertempur bersama kaum Musyrikîn dalam perang Badar melawan Nabi SAW), maka mohonkanlah ampun untuk mereka (kaum Muslimîn yang dipaksa bertempur bersama kaum Musyrikîn dalam perang Badar melawan Nabi SAW). Maka turunlah (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ ........................(٩٧)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri……………………………….”.

“Kata beliau (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Lalu ditulislah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98) ini kepada sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah, dan tidak ada lagi ‘uzur (alasan/halangan) bagi mereka (bagi sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah untuk tidak berhijrah)”. Mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) pun keluar (hijrah dari Makkah menuju Madînah) dan dikejar oleh kaum Musyrikîn; kemudian (kaum Musyrikîn) memfitnah mereka (memfitnah sisa-sisa kaum Muslimîn yang hendak berhijrah menuju Madînah hingga mereka kembali ke Makkah lagi disebabkan fitnah kaum Musyrikîn). Kemudian turunlah Ayat (Surat al-‘Ankabût, Ayat: 10):
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ (١٠)
10. Dan di antara manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah"; maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah[27]. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu (dari Allah), mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya kami bersama-Mu". Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?”.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan): “Kaum Muslimîn pun menuliskannya (menuliskan Surat al-‘Ankabût, Ayat: 10) kepada mereka (kepada sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah), dan mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) pun keluar (hijrah menuju Madînah) dan (mereka merasa) putus asa dari segenap kebaikan. Akhirnya turunlah (Surat an-Nahl, Ayat: 110) tentang mereka (tentang ujian /cobaan yang diderita sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah):
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (١١٠)
110. Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar. Sesungguhnya Tuhanmu (Allah) sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan): “Mereka pun menulis semua itu (maksudnya menulis Surat an-Nahl, Ayat: 110) bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah menjadikan (memberi) jalan keluar bagi mereka (bagi sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah). Akhirnya mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) keluar (hijrah menuju Madînah) dan dikejar lagi oleh kaum Musyrikîn, maka mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang hendak berhijrah menuju Madînah) memerangi kaum Musyrikîn tersebut; maka selamatlah bagi yang selamat (atau bagi yang dapat meloloskan diri), dan gugurlah bagi mereka yang terbunuh”.

KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98).
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan shahîh[28].
Kata al-Hâfizh[29] al-Haitsamî dalam Majma’ az-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-idnya (7/10): “Para râwi (riwayat Ibnu Jarîr dan Ibnu al-Mundzir di atas) adalah râwi Shahîh kecuali Muhammad bin Syarik, dia (Muhammad bin Syarik) tsiqqah[30].


PENJELASAN (hadis di atas):
Atsar[31] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[32] yang dihukumi Marfu’[33]. Karena para Muhadditsîn[34] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).









Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada ath-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Awsathnya:
“Diriwayatkan ath-Thabrânî dari jalur sanad Abû Shâleh dari Abû al-Aswad dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Ada segolongan (sekelompok) orang Makkah telah masuk Islam. Maka ketika Rasûlullâh SAW. berhijrah, mereka (segolongan orang Makkah yang telah masuk Islam) benci dan takut berhijrah. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Mereka itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali;
98. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu, tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”.

KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98).
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[35].


PENJELASAN (hadis di atas):
Atsar[36] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[37] yang dihukumi Marfu’[38]. Karena para Muhadditsîn[39] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).






BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Mu’jam al-Awsath (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabrânî).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî
(al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalanî).
Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-id (al-Haitsamî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
Syarh Musykil al-Atsar (ath-Thahawî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn al-Mundzir (Ibnu al-Mundzir).





















[1] Orang Yang Menganiaya Diri Sendiri maksudnya ialah: Kaum Muslimîn Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi SAW; sedangkan mereka (kaum Muslimîn Makkah) sanggup (mampu) untuk berhijrah. Mereka (kaum Muslimîn Makkah) ditindas dan dipaksa oleh orang-orang Kâfir sampai mereka (kaum Muslimîn Makkah) mau mengikuti perang Badar bersama kaum Musyrikîn; dan akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan Badar.
[2] Mereka, dalam Ayat ini maksudnya yaitu: Kaum Muslimîn Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi SAW; sedangkan mereka (kaum Muslimîn Makkah) sanggup (mampu) untuk berhijrah.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Mereka, dalam Ayat ini maksudnya yaitu: Kaum Muslimîn Makkah yang tidak mampu, tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah; baik dari golongan laki-laki, wanita ataupun anak-anak.
[6] Nama sebenarnya yaitu: ‘Abdullâh bin Yazîd. Ia (‘Abdullâh bin Yazîd) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în junior. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-‘Adawî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Laqab (gelar/titel) nya yaitu: Al-Muqri-u al-Qasîru. Tempat tinggal hingga ia wafat di Marwa ar-Rawadz. Ia (‘Abdullâh bin Yazîd) wafat tahun 213 Hijriyah.
[7] Nama lengkapnya yaitu: Haywah bin Syuraih bin Shafwân. Ia (Haywah bin Syuraih bin Shafwân) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: At-Tajîbî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Zar’ah. Tempat tinggalnya di Marwa. Ia (Haywah bin Syuraih bin Shafwân) wafat tahun 158 Hijriyah.  
[8] Apabila yang dimaksud dalam Hadis di atas adalah perawi Bukhârî yang lain, maka ia adalah: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân. Apabila yang dimaksud dalam Hadis di atas adalah perawi selain rawi Bukhârî, maka menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya mereka adalah: (1). Ibnu Luhai’ah, berdasarkan riwayat Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya dan Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya. (2). Zakariyyâ bin Yahyâ dari Muhammad bin Ishâq, berdasarkan riwayat al-Hâfizh an-Nasâ-î dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya. (3). Yûsuf bin Mûsâ dari al-Muqri-u, berdasarkan riwayat Ismâ’îlî.
[9] Nama lengkapnya yaitu: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân. Ia (Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Fahmî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hârits. Tempat tinggalnya di Marwa. Ia (Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân) wafat tahun 175 Hijriyah.
[10] Nama sebenarnya yaitu: Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad. Ia (Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad) hidup bersama Tâbi’în junior, akan tetapi ia (Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad) tidak bertemu dengan seorang Sahabat. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Asadî al-Qurasyî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Aswad. Laqab (gelar/titel) nya yaitu: Yatîm ‘Urwah bin az-Zubair. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad) wafat tahun 131 Hijriyah.
[11] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Ba’sun bermakna Tentara atau pasukan; mereka (kaum Musyrikîn dengan bantuan beberapa kaum Muslimîn) menyiapkan bala tentara untuk memerangi Ahli Syâm, dan itu pada saat kepemimpinan ‘Abdullâh bin az-Zubair”.
[12] Di Dalamnya, maksudnya: Mendaftarkan diri menjadi pasukan Madînah.
[13] Nama lengkapnya yaitu: ‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Ia (‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Barbarî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs) wafat tahun 104 Hijriyah.
[14] Hal Itu, maksudnya: Hal bahwa Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad mendaftarkan diri sebagai pasukan Madînah yang akan memerangi Ahli Syâm.
[15] Dengan Hebat, maksudnya: Larangan yang sangat ditekankan untuk ditinggalkan.
[16] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar Tafsîr, serta ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim) telah meriwayatkan 1.660 Hadîts. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Qurasyî al-Hâsyimî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Tempat kelahirannya di Marwa Rawadz. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim) wafat di Thâ-if. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim) wafat tahun 68 Hijriyah.
[17] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Nama-nama kaum Muslimîn yang bergabung dengan kaum Musyrikîn untuk memerangi Nabi SAW. terdapat dalam riwayat Ibnu Mardawaih, dari jalur sanad Asy’ats bin Suwar dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, mereka adalah: “Qais bin al-Walîd bin al-Mughîrah, Abû Qais bin al-Fâkih bin al-Mughîrah, al-Walîd bin ‘Utbah bin Rabî’ah, ‘Amrû bin Umayyah bin Sufyân dan ‘Alî bin Umayyah bin Khalaf”. Juga terdapat dalam riwayat Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu Ishâq, dari jalur sanad Ibnu Juraij dari ‘Ikrimah dan selainnya, disebutkan di dalam riwayat tersebut mereka adalah: “Al-Hârits bin Zam’ah bin al-Aswad dan al-‘Ash bin Munabbah bin al-Hajjâj”.
[18] Salah seorang Muslim yang bergabung dengan pasukan kaum Musyrikîn untuk memerangi Nabi SAW.
[19] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Ismâ’îlî dan ath-Thabrânî dalam Mu’jam al-Awsath meriwayatkan melalui jalur sanad Abû Shâleh dari al-Laits dari Abû al-Aswad dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, di dalam riwayat tersebut tidak terdapat kisah Abû al-Aswad”.
[20] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi hadis.
[21] Ibid.
[22] Tsiqqah adalah: Seorang perawi yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-annya.
[23] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[24] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[25] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[26] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[27] Maksudnya: Orang itu takut kepada penganiayaan-penganiayaan manusia terhadapnya karena imannya, seperti takutnya kepada azab Allah, karena itu mereka meninggalkan keimanannya.
[28] Hadis hasan shahîh memiliki beberapa makna yaitu: Pertama: Hadis tersebut memiliki dua sanad, yaitu shahîh dan hasan. Kedua: Terjadi perbedaan dalam penilaian hadis, sebagian berpendapat shahîh dan sebagian lain berpendapat hasan. Ketiga: Atau dinilai hasan lidzâtih maupun shahîh li ghayrih.
[29] Ibid.
[30] Tsiqqah adalah: Seorang perawi yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-annya.
[31] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[32] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[33] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[34] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[35] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[36] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[37] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[38] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[39] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar