Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 97-98
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ
فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ
سَبِيلا (٩٨)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[1],
(kepada mereka[2])
Malaikat bertanya: "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka[3]
menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)".
Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?". Mereka[4]
itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali;
98. Kecuali mereka[5]
yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu,
tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).
Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya
(9/331):
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ
قَالَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ وَغَيْرُهُ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَبُو الْأَسْوَدِ قَالَ قُطِعَ عَلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ بَعْثٌ فَاكْتُتِبْتُ فِيهِ
فَلَقِيتُ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَأَخْبَرْتُهُ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ
أَشَدَّ النَّهْيِ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ نَاسًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ
كَانُوا مَعَ الْمُشْرِكِينَ يُكَثِّرُونَ سَوَادَ الْمُشْرِكِينَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي السَّهْمُ فَيُرْمَى بِهِ فَيُصِيبُ
أَحَدَهُمْ فَيَقْتُلُهُ أَوْ يُضْرَبُ فَيُقْتَلُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلَائِكَةُ
ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ......................}.
(قَالَ الْبُخَارِيْ): رَوَاهُ اللَّيْثُ عَنْ أَبِي
الْأَسْوَدِ.
“Telah bercerita
kepada kami (Bukhârî) ‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u[6],
katanya (‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u): “Haywah[7]
dan yang lainnya[8]
telah bercerita kepada kami (‘Abdullâh bin Yazîd al-Muqri-u), keduanya (Haywah
dan al-Laits[9])
berkata: “Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad[10]
telah bercerita kepada kami (Haywah dan al-Laits), katanya (Muhammad bin
‘Abdurrahmân Abû al-Aswad): “Ditetapkan atas penduduk Madînah satu pasukan[11],
lalu saya (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) mendaftarkan diri di
dalamnya[12],
lalu aku (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) bertemu ‘Ikrimah[13]
dan saya (Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû al-Aswad) menceritakan hal itu[14],
maka dia (‘Ikrimah) pun melarangku (melarang Muhammad bin ‘Abdurrahmân Abû
al-Aswad) dengan hebat[15],
kemudian (‘Ikrimah) berkata: “’Abdullâh bin ‘Abbâs[16]
mengabarkan kepadaku (kepada ‘Ikrimah): “Bahwa dahulu kala (pada peperangan
Badar) ada sekelompok (segolongan) kaum Muslimîn[17]
ikut serta bersama kaum Musyrikîn memperbanyak jumlah (pasukan) kaum Musyrikîn
(untuk) menyerang Rasûlullâh SAW; kemudian datanglah panah mengenai salah
seorang dari mereka[18]
dan membunuhnya. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ ........................(٩٧)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri……………………………….”.
“(Kata Bukhârî): “(Hadis
di atas) juga diriwayatkan oleh al-Laits dari Abû al-Aswad (dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs)[19]”.
KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Imâm Bukhârî mengulangi
sebagaimana Hadis di atas
dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya
(16/147).
Dikeluarkan oleh Ibnu Abî Hâtim, sebagaimana dalam riwayat al-Hâfizh[20]
Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/542). Ibnu Jarîr juga
meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl
al-Qurânnya (5/234 dan 5/235). Ath-Thahawî juga mengeluarkan dalam Syarh
Musykil al-Atsarnya (4/327) secara ringkas seperti riwayat Bukhârî di atas,
dan secara panjang lebar seperti riwayat al-Bazzâr.
Kata
al-Hâfizh[21]
al-Haitsamî dalam Majma’ az-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-idnya (7/10): “Para
râwi (riwayat al-Bazzâr) adalah râwi Shahîh kecuali Muhammad bin Syarik, dia (Muhammad
bin Syarik) tsiqqah[22]”.
PENJELASAN
(hadis di atas):
Atsar[23] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[24]
yang dihukumi Marfu’[25].
Karena para Muhadditsîn[26]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya (14/184); Serta menisbahkan kepada Ibnu
al-Mundzir dalam Tafsîr Ibn al-Mundzirnya:
“Ahmad bin
Manshûr telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr dan Ibnu al-Mundzir), katanya (Ahmad
bin Manshûr): “Abû Ahmad az-Zubairî telah bercerita kepada kami (Ahmad bin
Manshûr), katanya (Abû Ahmad az-Zubairî): “Muhammad bin Syarik telah bercerita
kepada kami (Abû Ahmad az-Zubairî) dari ‘Amr bin Dînâr dari ‘Ikrimah dari
‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Dahulu kala satu
kelompok (segolongan) penduduk Makkah masuk Islam dan menyembunyikan
keislamannya; pada waktu (perang) Badar kaum Musyrikîn memaksa mereka (sisa-sisa kaum
Muslimîn yang masih
tinggal di Makkah yang menyembunyikan keislamannya) ikut
keluar (untuk perang Badar melawan Nabi SAW). Akhirnya sebagian mereka (sebagian
sisa-sisa kaum
Muslimîn yang masih
tinggal di Makkah) terkena musibah (yaitu: terluka) dan sebagian lagi
(ada) yang terbunuh. Kata kaum Muslimîn: “Dahulu teman-teman kami yang muslim
dipaksa (agar mau bertempur bersama kaum Musyrikîn dalam perang Badar melawan
Nabi SAW), maka mohonkanlah ampun untuk mereka (kaum Muslimîn yang dipaksa
bertempur bersama kaum Musyrikîn dalam perang Badar melawan Nabi SAW). Maka turunlah (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ ........................(٩٧)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri……………………………….”.
“Kata beliau (‘Abdullâh
bin ‘Abbâs): “Lalu ditulislah
Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat:
97-98) ini kepada sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah, dan tidak ada lagi ‘uzur (alasan/halangan)
bagi mereka (bagi sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah untuk tidak berhijrah)”. Mereka (sisa-sisa
kaum Muslimîn yang masih tinggal
di Makkah) pun keluar (hijrah dari Makkah menuju Madînah) dan dikejar oleh kaum Musyrikîn; kemudian (kaum Musyrikîn) memfitnah mereka (memfitnah sisa-sisa kaum Muslimîn yang hendak berhijrah menuju Madînah hingga mereka kembali ke Makkah lagi disebabkan fitnah kaum Musyrikîn). Kemudian turunlah Ayat (Surat al-‘Ankabût, Ayat: 10):
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ
آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ
اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ (١٠)
10. Dan di antara manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada
Allah"; maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia
menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah[27].
Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu (dari Allah), mereka pasti
akan berkata: "Sesungguhnya kami bersama-Mu". Bukankah Allah lebih
mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs
melanjutkan): “Kaum Muslimîn pun menuliskannya (menuliskan Surat al-‘Ankabût, Ayat: 10) kepada mereka (kepada sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah), dan mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) pun keluar (hijrah menuju Madînah) dan (mereka merasa) putus asa dari segenap kebaikan. Akhirnya
turunlah (Surat an-Nahl, Ayat: 110) tentang mereka (tentang ujian /cobaan yang
diderita sisa-sisa kaum Muslimîn yang
masih tinggal di Makkah):
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ
هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ
بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (١١٠)
110. Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang
berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar. Sesungguhnya
Tuhanmu (Allah) sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs
melanjutkan): “Mereka pun menulis
semua itu (maksudnya menulis Surat an-Nahl, Ayat: 110) bahwa sesungguhnya Allah
SWT. telah menjadikan (memberi) jalan keluar bagi mereka (bagi sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah). Akhirnya mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang masih tinggal di Makkah) keluar (hijrah menuju Madînah) dan dikejar lagi oleh kaum Musyrikîn, maka mereka (sisa-sisa kaum Muslimîn yang hendak berhijrah menuju Madînah) memerangi kaum Musyrikîn tersebut; maka selamatlah bagi yang selamat (atau bagi yang dapat
meloloskan diri), dan gugurlah bagi mereka yang terbunuh”.
KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas
dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98).
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis
yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan shahîh[28]”.
Kata
al-Hâfizh[29]
al-Haitsamî dalam Majma’ az-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-idnya (7/10): “Para
râwi (riwayat Ibnu Jarîr dan Ibnu al-Mundzir di atas) adalah râwi Shahîh
kecuali Muhammad bin Syarik, dia (Muhammad bin Syarik) tsiqqah[30]”.
PENJELASAN
(hadis di atas):
Atsar[31] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[32]
yang dihukumi Marfu’[33].
Karena para Muhadditsîn[34]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada ath-Thabrânî dalam al-Mu’jam
al-Awsathnya:
“Diriwayatkan
ath-Thabrânî dari jalur sanad Abû Shâleh dari Abû al-Aswad dari ‘Ikrimah dari
‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs berkata: “Ada segolongan (sekelompok) orang Makkah telah masuk
Islam. Maka ketika Rasûlullâh SAW. berhijrah, mereka (segolongan orang Makkah
yang telah masuk Islam) benci dan takut berhijrah. Maka Allah SWT. menurunkan
Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98):
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ
فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ
سَبِيلا (٩٨)
97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat
bertanya: "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab:
"Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para
Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?". Mereka itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali;
98. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun
anak-anak yang tidak mampu, tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk
hijrah)”.
KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas
dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 97-98).
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis
yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[35]”.
PENJELASAN (hadis di atas):
Atsar[36] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[37]
yang dihukumi Marfu’[38].
Karena para Muhadditsîn[39]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li al-Bukhârî
(Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Mu’jam
al-Awsath (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad
ath-Thabrânî).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî
(al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî/Ahmad
bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalanî).
Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâ-id wa Manba’ al-Fawâ-id (al-Haitsamî).
Sunan an-Nasâ-î
al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû
‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî
bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
Syarh Musykil al-Atsar (ath-Thahawî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm
(Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn
Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn al-Mundzir (Ibnu
al-Mundzir).
[1] Orang Yang Menganiaya Diri Sendiri maksudnya ialah:
Kaum Muslimîn Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi SAW; sedangkan mereka
(kaum Muslimîn Makkah) sanggup (mampu) untuk berhijrah. Mereka (kaum Muslimîn
Makkah) ditindas dan dipaksa oleh orang-orang Kâfir sampai mereka (kaum
Muslimîn Makkah) mau mengikuti perang Badar bersama kaum Musyrikîn; dan
akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan Badar.
[2] Mereka, dalam Ayat ini maksudnya yaitu: Kaum Muslimîn
Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi SAW; sedangkan mereka (kaum Muslimîn
Makkah) sanggup (mampu) untuk berhijrah.
[5] Mereka, dalam Ayat ini maksudnya yaitu: Kaum Muslimîn
Makkah yang tidak mampu, tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah;
baik dari golongan laki-laki, wanita ataupun anak-anak.
[6] Nama sebenarnya yaitu: ‘Abdullâh bin Yazîd. Ia
(‘Abdullâh bin Yazîd) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în junior. Nasab
(keturunan) nya yaitu: Al-‘Adawî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu:
Abû ‘Abdurrahmân. Laqab (gelar/titel) nya yaitu: Al-Muqri-u
al-Qasîru. Tempat tinggal hingga ia wafat di Marwa ar-Rawadz. Ia
(‘Abdullâh bin Yazîd) wafat tahun 213 Hijriyah.
[7] Nama lengkapnya yaitu: Haywah bin Syuraih bin Shafwân.
Ia (Haywah bin Syuraih bin Shafwân) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în senior.
Nasab (keturunan) nya yaitu: At-Tajîbî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû Zar’ah. Tempat tinggalnya di Marwa. Ia (Haywah
bin Syuraih bin Shafwân) wafat tahun 158 Hijriyah.
[8] Apabila yang dimaksud dalam Hadis di atas adalah
perawi Bukhârî yang lain, maka ia adalah: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân. Apabila
yang dimaksud dalam Hadis di atas adalah perawi selain rawi Bukhârî, maka
menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya mereka adalah: (1). Ibnu Luhai’ah, berdasarkan riwayat Ibnu Jarîr dalam Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya dan Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn
Abî Hâtimnya. (2). Zakariyyâ bin Yahyâ dari Muhammad bin Ishâq, berdasarkan
riwayat al-Hâfizh an-Nasâ-î dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya. (3).
Yûsuf bin Mûsâ dari al-Muqri-u, berdasarkan riwayat Ismâ’îlî.
[9] Nama lengkapnya yaitu: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân.
Ia (Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân) merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în
senior. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Fahmî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hârits. Tempat tinggalnya di Marwa.
Ia (Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahmân) wafat tahun 175 Hijriyah.
[10] Nama sebenarnya yaitu: Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin
Naufal bin al-Aswad. Ia (Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad) hidup
bersama Tâbi’în junior, akan tetapi ia (Muhammad bin ‘Abdurrahmân bin
Naufal bin al-Aswad) tidak bertemu dengan seorang Sahabat. Nasab
(keturunan) nya yaitu: Al-Asadî al-Qurasyî. Kuniyah (nama akrab)
nya yaitu: Abû al-Aswad. Laqab (gelar/titel) nya yaitu: Yatîm
‘Urwah bin az-Zubair. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Muhammad bin
‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad) wafat tahun 131 Hijriyah.
[11] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Ba’sun bermakna Tentara atau pasukan; mereka (kaum Musyrikîn dengan bantuan
beberapa kaum Muslimîn) menyiapkan bala tentara untuk memerangi Ahli Syâm, dan
itu pada saat kepemimpinan ‘Abdullâh bin az-Zubair”.
[13] Nama lengkapnya yaitu: ‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin
‘Abbâs. Ia (‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs) merupakan seorang Tâbi’în
pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Barbarî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah.
Ia (‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs) wafat tahun 104 Hijriyah.
[14] Hal Itu, maksudnya: Hal bahwa Muhammad bin
‘Abdurrahmân bin Naufal bin al-Aswad mendaftarkan diri sebagai pasukan Madînah
yang akan memerangi Ahli Syâm.
[16] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul
Muthallib bin Hâsyim. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim)
merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar Tafsîr, serta ia
(‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim) telah meriwayatkan 1.660
Hadîts. Nasab (keturunan) nya yaitu: Al-Qurasyî al-Hâsyimî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Tempat kelahirannya
di Marwa Rawadz. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin
Hâsyim) wafat di Thâ-if. Ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib
bin Hâsyim) wafat tahun 68 Hijriyah.
[17] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Nama-nama kaum Muslimîn yang bergabung dengan kaum Musyrikîn untuk
memerangi Nabi SAW. terdapat dalam riwayat Ibnu Mardawaih, dari jalur sanad
Asy’ats bin Suwar dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, mereka adalah: “Qais
bin al-Walîd bin al-Mughîrah, Abû Qais bin al-Fâkih bin al-Mughîrah, al-Walîd
bin ‘Utbah bin Rabî’ah, ‘Amrû bin Umayyah bin Sufyân dan ‘Alî bin Umayyah bin
Khalaf”. Juga terdapat dalam riwayat Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu Ishâq, dari jalur
sanad Ibnu Juraij dari ‘Ikrimah dan selainnya, disebutkan di dalam riwayat
tersebut mereka adalah: “Al-Hârits bin Zam’ah bin al-Aswad dan al-‘Ash bin
Munabbah bin al-Hajjâj”.
[19] Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh
Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya: “Ismâ’îlî dan ath-Thabrânî dalam Mu’jam al-Awsath meriwayatkan melalui
jalur sanad Abû Shâleh dari al-Laits dari Abû al-Aswad dari ‘Ikrimah dari
‘Abdullâh bin ‘Abbâs, di dalam riwayat tersebut tidak terdapat kisah Abû
al-Aswad”.
[20] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[23] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[24] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[25] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[26] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[27] Maksudnya:
Orang itu takut kepada penganiayaan-penganiayaan manusia terhadapnya karena
imannya, seperti takutnya kepada azab Allah, karena itu mereka meninggalkan
keimanannya.
[28] Hadis hasan shahîh memiliki beberapa makna
yaitu: Pertama: Hadis tersebut memiliki dua sanad, yaitu shahîh
dan hasan. Kedua: Terjadi perbedaan dalam penilaian hadis,
sebagian berpendapat shahîh dan sebagian lain berpendapat hasan. Ketiga:
Atau dinilai hasan lidzâtih maupun shahîh li ghayrih.
[31] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[32] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[33] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[34] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[35] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[36] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[37] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[38] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[39] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar