Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 92
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا
أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ
اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (٩٢)
92. Dan tidak
layak (pantas) bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak disengaja)[1];
dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang Hamba Sahaya (budak) yang beriman serta membayar diat[2]
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu); kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah[3].
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (Kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka (kaum Kafir) dengan kamu (kaum Muslim), maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan Hamba Sahaya (budak) yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya[4],
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan
taubat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî meriwayatkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Tawîl al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang
bersumber dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar. ‘Ikrimah bin ‘Ammar berkata: “Harîs bin
Yazîd dari Bani ‘Amîr bin Luay (ketika masih dalam keadaan kafir) pernah menyiksa ‘Iyasy bin Abî
Rabî’ah bersama Abû Jahal, kemudian Harîs bin Yazîd berangkat untuk hijrah
kepada Nabi SAW. dan bertemu dengan ‘Iyasy bin Abî Rabî’ah di kampung al-Harrah,
maka ‘Iyasy bin Abî Rabî’ah segera menghunus pedang dan membunuhnya (Harîs bin
Yazîd), ia (‘Iyasy bin Abî Rabî’ah) mengira Harîs bin Yazîd masih kafir.
Kemudian ‘Iyasy bin Abî Rabî’ah datang menghadap Nabi SAW. dan menceritakan
peristiwa tersebut[5].
Maka turunlah Ayat (Ayat: 92, Surat an-Nisâ’):
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا
أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً
مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (٩٢)
92. Dan tidak
layak (pantas) bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak disengaja); dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang Hamba Sahaya (budak) yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu); kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum (Kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka (kaum Kafir) dengan
kamu (kaum Muslim), maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan Hamba Sahaya (budak) yang
beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
KETERANGAN:
Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’
al-Bayân fî at-Tawîl al-Qurânnya, yang bersumber dari Mujâhid al-Makky dan
as-Suddy.
Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî juga meriwayatkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya dari jalan sanad[6]
Sa’îd bin Jubair yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.
Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî juga meriwayatkan dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan
kepada Ibnu Ishâq dalam Tafsîr Ibn Ishâqnya; Serta menisbahkan kepada
Abû Ya’lâ al-Mushilî dalam Musnad
Abû Ya’lânya; Serta menisbahkan kepada al-Harts bin Abî Usamah dan Abû
Muslim al-Kajî yang bersumber dari al-Qâsim bin Muhammad.
PENJELASAN:
‘Atsar ‘Ikrimah bin ‘Ammar di atas adalah Hadis Maqthu’[7],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[8].
Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan
Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat,
apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga
sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga
dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Ikrimah bin
‘Ammar di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[9]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an
Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1.
Menurut Imâm
Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya
shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya
tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya). Dengan alasan
orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) tidak
mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang
kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) pula”.
2.
Menurut Imâm
Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî, Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî,
al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya Dha’îf (lemah) dan tidak dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan alasan sifat-sifat perawi yang
digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3.
Menurut Imâm
asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat diterima dan dapat dijadikan
sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat syarat, tiga syarat berkaitan
dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan satu syarat berkaitan dengan
hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a)
Perawi yang
me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)
Perawi hadis
adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c)
Tidak
menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)
Syarat-syarat
di atas ditambah salah satu dari empat syarat berikut:
· Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
· Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal
pertama.
· Sesuai dengan perkataan Sahabat.
KESIMPULAN:
Hadis yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî qabûl (dapat diterima) dan dapat
dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam), karena:
Telah memenuhi semua persyaratan Imâm Mâlik,
Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, sebagian ahli
ilmu dan ulama-ulama lain; adapun keterangannya sebagai berikut:
a)
‘Ikrimah bin
‘Ammar adalah seorang Tâbi’în senior (kibar
at-Tâbi’în).
b)
‘Ikrimah bin
‘Ammar adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an
dan ke-dhâbith-annya).
c)
‘Ikrimah bin
‘Ammar tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)
Syarat-syarat
di atas ditambah empat syarat berikut:
·
Ada sebuah riwayat
melalui jalur sanad[11]
lain, yaitu riwayat (hasan/baik) Ibnu Abî Hâtim dari jalan sanad Sa’îd bin Jubair yang
bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.
·
Ada periwayatan lain secara Marfu’ Mursal[12] juga oleh
ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama, yaitu riwayat (Marfu’ Mursal) Ibnu Jarîr
melalui jalur sanad Mujâhid al-Makky dan as-Suddy; Juga ada sebuah
riwayat (Marfu’ Mursal) Muhammad bin Ishâq, Abû Ya’lâ al-Mushilî, al-Harts bin Abî Usamah dan Abû Muslim al-Kajî yang bersumber dari
al-Qâsim bin Muhammad.
·
Hadis di atas sesuai dengan
perkataan Sahabat, yaitu ‘Abdullâh bin ‘Abbâs.
·
Keempat hadis di atas sesuai dengan
fatwa mayoritas ahli ilmu, yaitu sesuai dengan persyaratan Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, sebagian ahli
ilmu dan ulama-ulama lain.
BIBLIOGRAFI
Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû
Ja’far ath-Thabarî
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib
al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Musnad Abû Ya’lâ (Abû Ya’lâ al-Mushilî/Ahmad bin ‘Alî al-Mutsannâ
al-Mushilî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn Ishâq (Ibnu Ishâq/Muhammad bin Ishâq).
[1] Tidak
Disengaja, maksudnya: Karena kebetulan yang tidak disengaja ataupun karena
sebab-sebab lain yang tidak diniatkannya. Seperti: Seseorang yang sedang
berburu Kijang di Hutan, ketika hendak menembak Kijang tiba-tiba pelurunya
berubah arah (nyasar) menuju orang lain yang sedang berburu juga tanpa
disengaja ataupun tanpa sepengetahuannya hingga menyebabkan tewasnya orang yang terkena peluru nyasar tersebut.
[2] Diat ialah:
Pembayaran dengan harta benda disebabkan suatu tindak pidana terhadap suatu jiwa
atau anggota badan.
[3] Bersedekah di sini maksudnya: Membebaskan si pembunuh dari pembayaran
diat, dan keluarga yang terbunuh memaafkannya (si pembunuh).
[4] Maksudnya: Tidak
mempunyai Hamba Sahaya (budak); tidak memperoleh Hamba Sahaya (budak) yang
beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian ahli Tafsir:
“Puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat
dan memerdekakan Hamba Sahaya (budak)”.
[5]
Yaitu: Peristiwa ‘Iyasy bin
Abî Rabî’ah yang membunuh Harîs bin Yazîd, karena ia (‘Iyasy bin Abî Rabî’ah)
mengira Harîs bin Yazîd masih kafir.
[7] Hadis Maqthu’ yaitu: Hadis yang disandarkan
kepada para Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat) ataupun disandarkan
kepada para generasi setelah Tâbi’în (seperti: Tâbi’ Tâbi’în, murid
Tâbi’ Tâbi’în, dan seterusnya); baik berupa perkataan maupun perbuatan.
[8] Marfu’
Mursal adalah: Hadis Maqthu’
yang dihukumi oleh para Muhadditsîn menjadi Marfu’ Mursal,
karena terdapat bukti bukti kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya.
[9] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în
(para generasi setelah Sahabat) secara mutlak dari Nabi
SAW; baik Tâbi’în senior maupun yunior.
[10] Imâm
asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.
[11] Sanad yaitu: Mata rantai para perawi hadis yang
menghubungkan kepada matan (redaksi/isi) hadis.
[12] Marfu’ Mursal adalah: Hadis Maqthu’ yang dihukumi oleh
para Muhadditsîn menjadi Marfu’ Mursal, karena terdapat
bukti bukti kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar