Kamis, 12 Januari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 95


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 95

لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur[1] dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[2] satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik[3] dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[4] dengan pahala yang besar (agung).




Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/329):
حَدَّثَنِيْ أَبُو الْوَلِيْدُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُوْلُ لَمَّا نَزَلَتْ: {لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ....................}(٩٥), دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا فَكَتَبَهَا فَجَاءَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَشَكَا ضَرَارَتَهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ......................}(٩٥).
“Abû al-Walîd telah bercerita kepada saya (Bukhârî), katanya (Abû al-Walîd): “Syu’bah bin al-Hajjâj bin al-Warad[5] telah bercerita kepada kami (Abû al-Walid) dari Abû Ishâq[6], katanya (Abû Ishâq): “Saya (Abû Ishâq) mendengar al-Barrâ’[7] mengatakan: “Ketika turun Ayat (Ayat: 95, Surat an-Nisâ’):
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ.................................... (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)………………..”.

“(Al-Barrâ’ melanjutkan): “Rasûlullâh SAW. memanggil Zaid bin Tsâbit[8], lalu dia (Zaid bin Tsâbit) pun datang membawa tulang pundak hewan, kemudian (Nabi SAW.) mendiktekan (menuliskan) Ayat (Ayat: 95, Surat an-Nisâ’):
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar (agung).

“(Al-Barrâ’ melanjutkan): “Sementara Ibnu Ummi Maktûm[9] mengeluhkan kebutaannya, maka turunlah:
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ......................... (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur……………………………………………………………….”.

“(Al-Barrâmelanjutkan): “Kecuali orang-orang yang buta (ada dharar/halangan)”.

KETERANGAN:
At-Tirmidzî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91); dan kata at-Tirmidzî: Hadis yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan berkualitas hasan shahîh[10]. An-Nasâ-î  juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/10). Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (4/282, 4/284, 4/290, 4/299 dan 4/300). Ath-Thayâlisî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad Abû Dâwûd ath-Thayâlisînya (2/17). Al-Bayhaqî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan al-Bayhaqînya (9/23). Ad-Dârimî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan ad-Dârimînya (2/209). Ibnu Sa’d juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam ath-Thabaqât al-Kubrânya (4/154). Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurânnya (5/228). Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/329).
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î mengatakan dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 95): “Al-Wâhidî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidînya; dan kata al-Wâhidî: “Ia (al-Wâhidî) juga meriwayatkan Hadis dari Imâm Muslim dari Bundar dari Ghundar dari Syu’bah bin al-Hajjâj bin al-Warad”.


PENJELASAN:
Atsar[11] al-Barrâ’ bin ‘Âzib bin al Hârits di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[12] yang dihukumi Marfu’[13]. Karena para Muhadditsîn[14] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar al-Barrâ’ bin ‘Âzib bin al Hârits di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis al-Barrâ’ bin ‘Âzib bin al Hârits di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (6/385):
حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيْزِ بْنُ عَبْدُ اللهِ قَالَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدِ الزُّهْرِيْ قَالَ حَدَّثَنِيْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَهْلُ بْنُ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ فَأَقْبَلْتُ حَتَّى جَلَسْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَأَخْبَرَنَا أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْلَى عَلَيْهِ: {لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.....................}(٩٥). قَالَ فَجَاءَهُ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَهُوَ يُمْلِيهَا عَلَيَّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَوْ أَسْتَطِيعُ الْجِهَادَ لَجَاهَدْتُ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفَخِذُهُ عَلَى فَخِذِي فَثَقُلَتْ حَتَّى هَمَّتْ تَرُضُّ فَخِذِي ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ: {........غَيْرُ أُولِي الضَّرَر........}(٩٥).
“Telah bercerita kepada kami (Bukhârî) ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh, katanya (‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh): “Ibrâhîm bin Sa’d az-Zuhrî[15], katanya (Ibrâhîm bin Sa’d az-Zuhrî): “Shâleh bin Kaisân[16] telah bercerita kepada saya (Ibrâhîm bin Sa’d az-Zuhrî) dari Ibnu Syihâb[17] dari Sahl bin Sa’d bin Mâlik[18], bahwa dia (Sahl bin Sa’d bin Mâlik) berkata: “Saya melihat Marwân bin al-Hakam[19] sedang duduk di Masjid, saya (Sahl bin Sa’d bin Mâlik) pun menemuinya (menemui Marwân bin al-Hakam) lalu duduk di sisinya (di sisi Marwân bin al-Hakam). Lalu saya (Sahl bin Sa’d bin Mâlik) kabarkan: “Bahwa Zaid bin Tsâbit[20] mengabarkan kepadanya (kepada Sahl bin Sa’d bin Mâlik): “Bahwa Rasûlullâh SAW. mendiktekan (mengimlakkan) kepadanya (kepada Zaid bin Tsâbit) Ayat (Ayat: 95, Surat an-Nisâ’):
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ........................................ (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah……………………..”.

“Katanya (kata Zaid bin Tsâbit): “Kemudian datanglah Ibnu Ummi Maktûm[21] kepada beliau SAW. dalam keadaan mendiktekan (mengimlakkan) kepada saya (kepada Zaid bin Tsâbit), katanya (kata ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm): “Wahai Rasûlullâh SAW; seandainya saya (‘Abdullâh bin Ummi Maktûm) mampu berjihad, pastilah aku (‘Abdullâh bin Ummi Maktûm) berjihad”. Padahal dia (‘Abdullâh bin Ummi Maktûm) seorang yang buta, maka Allah SWT. menurunkan kepada Rasûlullâh SAW. al-Qurân dalam keadaan paha Beliau SAW. di atas pahaku (pahanya Zaid bin Tsâbit), hingga terasa berat aku (Zaid bin Tsâbit) rasakan, sampai aku (Zaid bin Tsâbit) khawatir pahaku (pahanya Zaid bin Tsâbit) patah. Kemudian beliau SAW. terbangun, dan Allah SWT. menurunkan:
...............غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ................ (٩٥)
95. ………….selain (kecuali) orang-orang yang buta………….”.

KETERANGAN:
Imâm Bukhârî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/328). At-Tirmidzî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/92); dan kata at-Tirmidzî: Hadis yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan berkualitas shahîh[22]. Imâm Abû Dâwûd juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan Abî Dâwûdnya (2/319). An-Nasâ-î  juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/9). Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (5/184 dan 5/191). Al-Hâkim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/82); dan kata al-Hâkim: “Hadis yang ia (al-Hâkim) riwayatkan sanadnya shahîh (menurut persyaratan shahîh Bukhârî-Muslim)”. Ath-Thabrânî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya (5/144). Al-Bayhaqî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan al-Bayhaqînya (9/23). Ibnu al-Jarûd juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Muntaqâ Ibn al-Jarûdnya (hlm. 344). Ibnu Sa’d juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam ath-Thabaqât al-Kubrânya (4/155 dari bagian: 1). Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurânnya (5/329). Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (6/385 dan 9/328).


PENJELASAN:
Atsar[23] Zaid bin Tsâbit di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[24] yang dihukumi Marfu’[25]. Karena para Muhadditsîn[26] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Zaid bin Tsâbit di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Zaid bin Tsâbit di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Al-Hâfizh Ibnu Hibbân meriwayatkan dalam Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbânnya (hlm. 429):
“Ahmad bin ‘Alî al-Mutsannâ al-Mushilî telah mengabarkan kepada kami (Ibnu Hibbân), katanya (Ahmad bin ‘Alî al-Mutsannâ al-Mushilî): “Ibrâhîm bin al-Hajjâj as-Samî telah bercerita kepada kami (Ahmad bin ‘Alî al-Mutsannâ al-Mushilî), katanya (Ibrâhîm bin al-Hajjâj as-Samî): “Telah bercerita kepada kami ‘Abdul Wahid bin Ziyad, katanya (‘Abdul Wahid bin Ziyad): “Telah bercerita kepada kami (‘Abdul Wahid bin Ziyad) ‘Âshim bin Kulaib, katanya (‘Âshim bin Kulaib): “Ayahku (ayahnya ‘Âshim bin Kulaib) telah bercerita kepada saya (‘Âshim bin Kulaib) dari pamanku (pamannya ‘Âshim bin Kulaib) yaitu: al-Falatan bin ‘Âshim, katanya (al-Falatan bin ‘Âshim): “Kami (al-Falatan bin ‘Âshim) pernah di sisi Nabi SAW. lalu turunlah wahyu kepada beliau SAW; apabila turun wahyu beliau SAW. selalu mencurahkan perhatiannya, beliau SAW. kosongkan pendengaran dan hatinya (hatinya Nabi SAW.) serta terbuka kedua matanya melihat apa yang datang kepadanya dari Allah, dan kami mengenal (mengetahui/paham) akan hal itu, lalu beliau SAW. berkata kepada penulisnya (penulis Nabi SAW): “Tulislah:
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ........................................ (٩٥)
 95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah……………………..”.

“Katanya (katanya al-Falatan bin ‘Âshim): “Lalu berdirilah seorang buta dan berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; apa dosa kami?”. Kemudian Allah SWT. menurunkan wahyu kepada beliau SAW; dan kami (al-Falatan bin ‘Âshim) katakan kepada orang buta itu: “Sesungguhnya wahyu telah turun kepada Nabi SAW; maka tinggallah dia (seorang yang buta yang bertanya kepada Nabi SAW.) dalam keadaan berdiri seraya berkata: “Aku (seorang yang buta yang bertanya kepada Nabi SAW.) berlindung kepada Allah SWT. dari kemarahan Rasûlullâh SAW”. Katanya (al-Falatan bin ‘Âshim): “Nabi berkata kepada penulis: “Tulislah:
...............غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ................ (٩٥)
95. ………….selain (kecuali) orang-orang yang buta………….”.

“Saya (Ibnu Hibbân) mengatakan: “Yang shahîh (riwayatnya) ialah: “Aku (seorang yang buta yang bertanya kepada Nabi SAW.) berlindung dengan kemarahan Rasûlullâh SAW”.


KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Kata Ibnu Hibbân dalam Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbânnya (hlm. 429): “Hadis yang ia (Ibnu Hibbân) riwayatkan berkualitas hasan[27].
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Hibbân dalam Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbânnya (hlm. 429).
Al-Bazzâr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Kasyf al-Atsarnya (3/45); dan kata al-Bazzâr dalam Kasyf al-Atsarnya (3/45): “Hadis al-Falatan bin ‘Âshim (riwayat Ibnu Hibbân) lebih hasan daripada riwayatnya (riwayatnya al-Bazzâr)”.
Abû Bakr bin Abî Syaibah juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Mathâlib al-‘Âliyahnya (3/117).
Kata al-Hâfizh al-Haitsamî dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâidnya (5/28): “Para rawi (Hadis riwayat Ibnu Hibbân dan Abû Bakr bin Abî Syaibah) di atas tsiqqât[28].


PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[29] al-Falatan bin ‘Âshim di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[30] yang dihukumi Marfu’[31]. Karena para Muhadditsîn[32] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar al-Falatan bin ‘Âshim di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis al-Falatan bin ‘Âshim di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Al-Hâfizh at-Tirmidzî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91):
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الزَّعْفَرَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ سَمِعَ مِقْسَمَا بْنِ بَحِرَةٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: {لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَر........}(٩٥), عَنْ بَدْرٍ وَالْخَارِجُونَ إِلَى بَدْرٍ لَمَّا نَزَلَتْ غَزْوَةُ بَدْرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَحْشِ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ إِنَّا أَعْمَيَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَهَلْ لَنَا رُخْصَةٌ فَنَزَلَتْ: {لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ........ إِلىَ ..........فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً}(٩٥), فَهَؤُلَاءِ الْقَاعِدُونَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا دَرَجَاتٍ مِنْهُ عَلَى الْقَاعِدِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرِ أُولِي الضَّرَرِ.
قَالَ أَبُو عِيسَى {التِّرْمِذِيْ}: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمِقْسَمٌ يُقَالُ هُوَ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ وَيُقَالُ هُوَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ وَكُنْيَتُهُ أَبُو الْقَاسِمِ.
“Al-Hasan bin Muhammad az-Za’farânî[33] telah bercerita kepada kami (at-Tirmidzî), katanya (al-Hasan bin Muhammad az-Za’farânî): “Al-Hajjâj bin Muhammad[34] telah bercerita kepada kami (al-Hasan bin Muhammad az-Za’farânî) dari Ibnu Juraij[35], katanya (Ibnu Juraij): “’Abdul Karîm bin Mâlik[36] telah mengabarkan kepada saya (Ibnu Juraij), dia (’Abdul Karîm bin Mâlik) mendengar Miqsam bin Bahirah[37] budak (pembantu) ‘Abdullâh bin al-Hârits menyampaikan Hadis dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, bahwa dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) mengatakan:
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ............................. (٩٥)
 95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur ……………………..”.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan): “Dari perang Badar dan orang-orang yang berangkat menuju Badar. Ketika turun tentang perang Badar, ‘Abdullâh bin Jahsyî dan ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW. kami (‘Abdullâh bin Jahsyî dan ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm) berdua buta, apakah ada keringanan bagi kami (‘Abdullâh bin Jahsyî dan ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm)?”. Kemudian turunlah:
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ ................ (٩٥)
95. Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak memiliki (ada) uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat………………………………..”.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan): “(Nabi SAW. bersabda): “Mereka (kaum Muslimîn yang enggan berjihad) yang duduk ini bukan orang-orang yang buta, Allah SWT. melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (serta Allah SWT. melebihkan orang-orang yang berjihad) beberapa derajat di atas kaum Mu’minîn yang duduk, akan tetapi bukan orang-orang yang buta”.

KETERANGAN dan PENJELASAN (dari para Muhadditsîn):
Kata al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91): “Hadis yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan di atas hasan gharîb[38], melalui jalur ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Ada yang berpendapat bahwa: “Miqsam bin Bahirah adalah hamba sahaya ‘Abdullâh bin al-Hârits”; dan ada pula yang berpendapat bahwa: “Miqsam bin Bahirah adalah hamba sahaya ‘Abdullâh bin ‘Abbâs”.
Kata al-Hâfizh al-Haitsamî dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâidnya (7/9): “Para rawi Hadis di atas tsiqqât[39]; dan Hadis Ziad bin Arqam juga dengan redaksi (matan) yang sama sebagaimana Hadis di atas”.
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91).


PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[40] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[41] yang dihukumi Marfu’[42]. Karena para Muhadditsîn[43] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abî al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abî ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabrânî).
Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abî ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidî (al-Wâhidî).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
Ath-Thabaqât al-Kubrâ (Ibnu Sa’d/Muhammad bin Sa’d az-Zuhrî al-Bashrî).
Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Kasyf al-Atsar (al-Bazzâr/Ahmad bin ‘Amar al-Bazzâr).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid (al-Haitsamî).
Mathâlib al-‘Âliyah (Ibnu Abî Syaibah/Abû Bakr bin Abî Syaibah).
Muntaqâ Ibn al-Jarûd (Ibnu al-Jarûd).
Musnad Abû Dâwûd ath-Thayâlisî (Sulaimân bin Dâwûd ath-Thayâlisî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Sunan Abî Dâwûd (Abû Dâwûd/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî Dâwûd
Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan ad-Dârimî (ad-Dârimî).
Sunan al-Bayhaqî (al-Bayhaqî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).














[1] ‘Uzur, maksudnya: Halangan-halangan ataupun alasan-alasan yang diperkenankan dan dibenarkan oleh Islam. Contoh: Buta, cacat, sakit dan sebagainya.
[2] Maksudnya: Yang tidak berperang dan tidak memiliki (ada) uzur.
[3] Pahala Yang Baik yaitu: Surga.
[4] Maksudnya: Yang tidak berperang tanpa alasan, ataupun tanpa halangan yang diperkenankan dan dibenarkan oleh Islam.
[5] Syu’bah bin al-Hajjâj merupakan: Seorang Tâbi’ Tâbi’în senior. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Basthâm.
[6] Nama sebenarnya yaitu: ‘Amrû bin ‘Abdullâh bin ‘Ubaid. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Ishâq. Abû Ishâq merupakan seorang Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) pertengahan.
[7] Al-Barrâ’, nama lengkapnya yaitu: Al-Barrâ’ bin ‘Âzib bin al-Hârits. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Imârah. Al-Barrâ’ merupakan seorang Sahabat.
[8] Zaid bin Tsâbit, nama lengkapnya yaitu: Zaid bin Tsâbit bin adh-Dhahâk. Zaid bin Tsâbit merupakan seorang Sahabat yang sangat kompeten dalam hal Farâidh (ilmu mawârits). Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Sa’îd.
[9] Kata al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91): “Ada yang berpendapat nama sebenarnya yaitu: ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm, ‘Abdullâh bin Zâ-idah adalah nama ayahnya dan Ummi Maktûm adalah nama ibunya. Ada pendapat yang lain, nama sebenarnya yaitu: ‘Amrû bin Ummi Maktûm”.
[10] Hadis hasan shahîh memiliki beberapa makna yaitu: Pertama: Hadis tersebut memiliki dua sanad, yaitu shahîh dan hasan. Kedua: Terjadi perbedaan dalam penilaian hadis, sebagian berpendapat shahîh dan sebagian lain berpendapat hasan. Ketiga: Atau dinilai hasan lidzâtih maupun shahîh li ghayrih.
[11] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[12] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[13] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[14] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[15] Ibrâhîm bin Sa’d, nama lengkapnya yaitu: Ibrâhîm bin Sa’d bin Ibrâhîm bin ‘Abdurrahmân bin ‘Auf. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Ishâq. Nasabnya yaitu: az-Zuhrî al-Qurasyî. Ibrâhîm bin Sa’d merupakan seorang Tâbi’ Tâbi’în pertengahan.
[16] Shâleh bin Kaisân merupakan: Seorang Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) pertengahan. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad.
[17] Ibnu Syihâb, nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin Syihâb. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bakr. Ibnu Syihâb adalah: Seorang Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) pertengahan.
[18] Sahl bin Sa’d merupakan: Seorang Sahabat Nabi SAW. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs.
[19] Marwân bin al-Hakam, nama lengkapnya yaitu: Marwân bin al-Hakam bin Abî al-‘Âsh bin Umayah. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdul Malik. Marwân bin al-Hakam adalah: Seorang Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) senior.
[20] Zaid bin Tsâbit, nama lengkapnya yaitu: Zaid bin Tsâbit bin adh-Dhahâk. Zaid bin Tsâbit merupakan seorang Sahabat yang sangat kompeten dalam hal Farâidh (ilmu mawârits). Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Sa’îd.
[21] Kata al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/91): “Ada yang berpendapat nama sebenarnya yaitu: ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm, ‘Abdullâh bin Zâ-idah adalah nama ayahnya dan Ummi Maktûm adalah nama ibunya. Ada pendapat yang lain, nama sebenarnya yaitu: ‘Amrû bin Ummi Maktûm”.
[22] Hadis Shahîh adalah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), dan diriwayatkan oleh orang yang ke-dhâbith-annya sempurna; selamat dari keganjilan (syadzdz) dan kecacatan (‘illat).
[23] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[24] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[25] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[26] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[27] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[28] Râwi Tsiqqât yaitu: Râwi-râwi yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-annya.
[29] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[30] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[31] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[32] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[33] Nama sebenarnya yaitu: Al-Hasan bin Muhammad bin ash-Shabâh. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Alî. Al-Hasan bin Muhammad bin ash-Shabâh merupakan: Seorang murid Tâbi’ Tâbi’în senior.
[34] Nama sebenarnya yaitu: Hajjâj bin Muhammad. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad atau al-A’war. Hajjâj bin Muhammad adalah: Seorang Tâbi’ Tâbi’în junior.
[35] Nama sebenarnya yaitu: ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Azîz bin Juraij. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Walîd. Ibnu Juraij merupakan seorang yang hidup bersama Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) junior, akan tetapi Ibnu Juraij tidak bertemu dengan seorang Sahabat.
[36] Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Sa’îd. Selama hidupnya ‘Abdul Karîm bin Mâlik tidak bertemu dengan seorang Sahabat.
[37] Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Qâsim. Miqsam bin Bahirah merupakan seorang Tâbi’în (generasi setelah Sahabat) pertengahan.
[38] Maksudnya: Hadis riwayat at-Tirmidzî berkualitas hasan; dan sanad Hadis yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan gharîb (hanya melalui satu jalur sanad saja, yaitu: sanad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs).
[39] Râwi Tsiqqât yaitu: Râwi-râwi yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-annya.
[40] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[41] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[42] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[43] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar