Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي
الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ
أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا
مُبِينًا (١٠١)
101. Dan apabila kamu bepergian (safar) di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar[1]
shalat (mu), jika kamu takut diserang orang-orang Kâfir. Sesungguhnya orang-orang Kâfir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Al-Hâfizh[2] Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl
al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari ‘Alî bin Abî Thâlib[3]. ‘Alî
bin Abî Thâlib berkata: “Suatu kaum dari Banî Najjar bertanya kepada Rasûlullâh
SAW; katanya (kata kaum dari Banî Najjar): “Wahai Nabi SAW; sesungguhnya kami (kaum
dari Banî Najjar) selalu bepergian (berniaga atau berdagang), bagaimana shalat
kami (shalat kaum dari Banî Najjar)?”. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Surat
an-Nisâ’, Ayat: 101):
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي
الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ ..............(١٠١)
101. Dan apabila kamu bepergian (safar) di muka bumi,
maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat (mu)………………………”.
“(‘Alî bin Abî Thâlib melanjutkan): “Yang memperbolehkan menqashar shalat
di tengah perjalanan. Wahyu (Surat an-Nisâ’, Ayat: 101) ini terputus sampai di
sini”.
“(‘Alî bin Abî Thâlib melanjutkan): “Ketika ada peperangan yang terjadi
setelah turunnya Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 101) ini, Nabi SAW. mengerjakan
shalat Zhuhûr. Maka berkatalah orang-orang Musyrîk: “Sungguh Muhammad dan para
sahabatnya lengah (ketika sedang shalat), mari kita (kaum Musyrîk) serang
mereka (serang Nabi SAW. dan para sahabatnya) dari belakang (ketika Nabi SAW.
dan para sahabatnya sedang shalat)!”. Lalu seseorang di antara mereka (di
antara kaum Musyrikîn) ada yang berkata: “Ambil kesempatan lain waktu saja, toh
mereka (Nabi SAW. dan para sahabatnya) akan mengerjakan hal yang serupa[4]
di tempat yang sama”. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat:
102) antara kedua waktu shalat itu (yaitu: antara shalat Zhuhûr dan ‘Ashar):
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا
أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ
أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ
عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ
مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (١٠٢)
102. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
(memegang) senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan serakaat)[5],
maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu[6],
dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang (memegang) senjata.
Orang-orang Kâfir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit[7];
dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang Kâfir itu”.
“(‘Alî bin Abî Thâlib melanjutkan): “Kemudian diturunkan pula Ayat (Surat
an-Nisâ’, Ayat: 103):
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ
فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
(١٠٣)
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis
yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[8]”.
PENJELASAN:
Atsar[9] ‘Alî bin Abî Thâlib di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[10]
yang dihukumi Marfu’[11].
Karena para Muhadditsîn[12]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Alî
bin Abî Thâlib di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Alî
bin Abî Thâlib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Jâmi’
al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh
as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
[1] Menurut pendapat Jumhûr arti qashar di
sini ialah: “Shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat pada saat bepergian
(safar), baik dalam keadaan aman ataupun dalam keadaan khauf
(takut atau kesusahan maupun sakit)”.
[2] Al-Hâfizh adalah:
Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dil-kan maupun men-jarh-kan para perawi
hadis.
[3] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Alî bin Abî Thâlib bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim bin ‘Abdi
Manâf. Ia (‘Alî bin Abî Thâlib) merupakan seorang sahabat yang menikah dengan
puteri Nabi SAW. yaitu: Fâthimah binti Muhammad. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hasan. Laqab (gelar/titel)
nya yaitu: Abû Turâb. Ia (‘Alî bin Abî Thâlib) lahir dan wafat di Kûfah. Ia (‘Alî bin Abî
Thâlib) wafat tahun: 40 Hijriyah.
[4] Mengerjakan Hal Yang Serupa, maksudnya: Nabi SAW. dan para
sahabatnya pasti juga lengah di lain waktu ketika mereka sedang shalat.
[5] Menurut Jumhûr
Mufassirîn: “Apabila telah selesai serakaat, maka diselesaikan satu rakaat
lagi sendiri; dan Nabi SAW. duduk menunggu golongan kedua yang belum shalat”.
[6] Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua
mereka selesaikan sendiri pula dan mereka mengakhiri shalat mereka bersama Nabi
SAW.
[7] Cara shalat Khauf seperti tersebut pada Surat an-Nisâ’ Ayat: 102
ini dilakukan dalam keadaan yang masih memungkinkan mengerjakannya, apabila
keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, maka shalat Khauf itu
dikerjakan sedapatnya (semampunya), walaupun dengan mengucapkan tasbîh
saja.
[8] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[9] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[10] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[11] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[12] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar