Kamis, 29 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 90


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 90

إِلا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[1] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi kaumnya [2]. Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka[3] terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka[4] membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim) serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka[5].





Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Turunnya Ayat (Ayat: 90, Surat an-Nisâ’):
إِلا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim) serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan:) Mengenai Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Nabi SAW”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas hasan”.



PENJELASAN:
Atsar[6] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[7] yang dihukumi Marfu’[8]. Karena para Muhadditsîn[9] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).









Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Mujâhid al-Makky bahwa: “Ayat (Ayat: 90, Surat an-Nisâ’) diturunkan mengenai Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, dia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimîn, sedangkan kaumnya (kaumnya Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) hendak memerangi kaum Muslimîn, akan tetapi dia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaum Muslimîn, dan juga ia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaumnya (kaumnya Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî)”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas hasan”.



PENJELASAN:
‘Atsar Mujâhid al-Makky di atas adalah Hadis Maqthu’, akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal. Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Mujâhid al-Makky di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan Mujâhid al-Makky merupakan seorang Tâbi’în senior, tsiqqah dan ia (Mujâhid al-Makky) tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah; Serta atsar (Mujâhid al-Makky) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar Mujâhid al-Makky di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



KESIMPULAN:
Kedua Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis pertama dengan hadis kedua, sehingga dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).


















[1] Perjanjian Damai, maksudnya: Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf telah mengadakan perjanjian damai dengan Nabi SAW, sehingga Nabi SAW. enggan untuk memerangi mereka (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf).
[2] Dalam riwayat Mursal Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Mujâhid, yang dinuqil (kutip) oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî bahwa yang dimaksud “Orang-orang Yang Datang Kepada Kamu Sedang Hati Mereka Merasa Keberatan Untuk Memerangi Kamu” mereka adalah: “Kaumnya Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî yang hendak memerangi kaum Muslim, sedangkan ia (Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî) enggan untuk memerangi kaum Muslim, karena ia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslim”.
[3] Mereka yang dimaksud dalam Ayat ini yaitu: “Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî beserta kaumnya, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf”.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[8] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[9] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar