Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 113
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى
شَيْءٍ وَّقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ
الْكِتَابَ كَذَالِكَ قَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللهُ
يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
(١١٣)
113. Dan
orang-orang Yahûdi berkata:
"Orang-orang Nasrani itu tidak berada pada jalan (koridor) yang benar[1]". Dan orang-orang Nashrani berkata: "Orang-orang Yahûdi tidak berada pada jalan (koridor) yang benar[2]”.
Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitâb[3].
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui[4]
mengatakan seperti ucapan mereka itu[5].
Maka Allah
akan mengadili di antara mereka
pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.
Al-Hâfizh[6] Ibnu Katsîr[7] mengeluarkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (Jilid. 1, Juz. 1,
halaman: 386)[8], dengan menisbahkan kepada Muhammad bin Ishâq dalam Tafsîr Muhammad Ibn
Ishâqnya:
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِيْ
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ مُحَمَّدٍ, عَنْ عِكْرِمَةَ أَوْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: لَمَّا قَدِمَ
أَهْلُ نَجْرَانِ مِنَ النَّصَارى عَلَى رَسُوْلِ اللهِ, أَتَتْهُمْ أَحْبَارُ
يَهُوْدِ, فَتَنَازَعُوْا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ, فَقَالَ رَافِعُ بْنُ حُرَيْمَلَةَ: مَا أَنْتُمْ عَلَى شَيْءٍ, وَكَفَرَ
بِعِيْسَى وَ بِالْإِنْجِيْلِ. وَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ نَجْرَانِ مِنَ
النَّصَارى لِلْيَهُوْدِ: مَا أَنْتُمْ عَلَى شَيْءٍ, وَجَحَدَ بِنُبُوَّةِ مُوْسَى
وَكَفَرَ بِالتَّوْرَاةِ. فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِيْ ذَالِكَ مِنْ قَوْلِهِمَا[9]: (وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَّقَالَتِ النَّصَارَى
لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتَابَ.........).
“Muhammad bin Ishâq[10] berkata: “Muhammad bin Abî
Muhammad[11] telah bercerita
kepada kami (kepada Muhammad bin Ishâq), dari ‘Ikrimah[12], atau (dan) dari Sa’îd bin Jubair[13], dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs[14], dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs)
berkata: “Ketika orang-orang Nashrani Najrân menghadap Rasûlullâh SAW. Para
Pendeta (Uskup) Yahûdi mendatangi mereka (mendatangi orang-orang Nashrani
Najrân). Mereka (orang-orang Nashrani Najrân dan para pendeta/uskup Yahûdi)
berdebat (adu mulut) di hadapan Rasûlullâh SAW. Râfi’ bin Huraymalah[15] berkata: “Kalian (orang-orang
Nashrani Najrân) sama sekali tidak berada pada koridor (jalan) yang benar, karena
(orang-orang Nashrani Najrân) mengingkari (Nabi) ‘Îsâ dan (kitab) Injîl”. Seorang
Nashrani Najrân pun berkata kepada (kaum) Yahûdi: “Kalian (orang-orang Yahûdi) juga
sama sekali tidak berada pada koridor (jalan) yang benar, karena (orang-orang
Yahûdi) menolak kenabian Mûsâ dan mengingkari (kitab) Taurat”. Maka Allah SWT. menurunkan
(Surat al-Baqarah, Ayat: 113) atas perdebatan mereka berdua (orang-orang
Nashrani Najrân dan para pendeta/uskup Yahûdi):
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى
شَيْءٍ وَّقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ
الْكِتَابَ ............. (١١٣)
113. Dan
orang-orang Yahûdi berkata:
"Orang-orang Nasrani itu tidak berada pada jalan (koridor) yang benar". Dan orang-orang Nashrani berkata: "Orang-orang Yahûdi tidak berada pada jalan (koridor) yang benar”. Padahal mereka (sama-sama)
membaca al-Kitâb. ......................”.
Al-Hâfizh[19] Ibnu Abî Hâtim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr
Ibn Abî Hâtimnya (1/208 atau No. Hadis: 1103), melalui jalur sanad[20] Salamah bin al-Fadhal.
Ibnu Hisyâm juga meriwayatkan
sebagaimana Hadis di atas dalam as-Sîrah an-Nabawiŷah li Ibn Hisyâmnya (1/549).
Imâm Ibnu Jarîr[21] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman: 434-435)[22],
melalui jalur sanad Muhammad bin Humaid ar-Râzî.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[23] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 1, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr
Ibn Abî Hâtimnya (1/208 atau No. Hadis: 1103).
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[24] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[25] yang dihukumi Marfu’[26]. Karena para Muhadditsîn[27] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi
Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan
sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh
para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam
hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN
Hadis di atas berkualitas shahîh[28], dan dikuatkan ke-râjih-annya
dengan Hadis-hadis melalui jalur (sanad) lain sebagaimana yang telah
saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
As-Sîrah
an-Nabawiŷah li Ibn Hisyâm (Imâm Ibnu Hisyâm).
Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/al-Imâm
al-‘Âlim Muhammad bin
Jarîr bin
Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(al-Hâfizh as-Suyûthî/al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin
Abî Bakr).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr).
Tafsîr
Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim
ar-Râzî/ al-Imâm al-Hâfizh Abû Muhammad
‘Abdurrahmân
bin Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn Ishâq (Ibnu
Ishâq/Muhammad bin Ishâq bin Yasâr).
[1] Di dalam “Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”,
karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 435),
ditafsirkan dengan kalimat: “Orang-orang Yahûdi dan Nashrani tidak berada dalam koridor yang benar”. Sedangkan di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq
‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan
Pertama, Juz. 2, halaman: 437): Qatâdah menafsirkan dengan kalimat: “Orang-orang
Yahûdi dan Nashrani tidak melakukan kemaslahatan apapun; akan tetapi mereka (Orang-orang
Yahûdi dan Nashrani) malah membuat-buat aturan (hukum) baru. Serta mereka (Orang-orang
Yahûdi dan Nashrani) bahkan terpecah-belah”.
[2] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 435), ditafsirkan dengan kalimat: “Orang-orang Yahûdi dan Nashrani
tidak berada dalam koridor yang benar”. Sedangkan di dalam “Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”,
karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 437): Qatâdah
menafsirkan dengan kalimat: “Orang-orang Yahûdi dan Nashrani tidak melakukan
kemaslahatan apapun; akan tetapi mereka (Orang-orang Yahûdi dan Nashrani) malah
membuat-buat aturan (hukum) baru. Serta mereka (Orang-orang Yahûdi dan
Nashrani) bahkan terpecah-belah”.
[3] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 437), yang dimaksud dengan kata “AL-KITÂB” yaitu: “Taurât dan Injîl”.
[4] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 438): ‘Athâ’ menafsirkan kalimat “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI”
dengan: “Para kaum (umat) sebelum kaum (umat) Yahûdi dan Nashrani, serta
sebelum diwahyukan Taurât dan Injîl”. Sedangkan di dalam “Jâmi’ al-Bayân
‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya
Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 438): para Mufassirîn
yang lain menafsirkan kalimat “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang
Musyrik ‘Arab; karena kaum Musyrik ‘Arab adalah kaum Ummi (kaum yang tidak
dapat membaca maupun menulis)”.
[5] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 438): Ar-Rabî’ dan Qatâdah menafsirkan kalimat “SEPERTI UCAPAN MEREKA
ITU” dengan: “Orang-orang yang bodoh (tidak mengetahui) dari kaum Yahûdi dan
Nashrani juga mengucapkan sebagaimana ucapan para pendahulunya yang mengatakan:
“Kalian tidak berada pada koridor (jalan) yang benar””.
[6] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[7] Nama
lengkapnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
al-Fidâ’. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn Katsîr. Ia (Ibnu
Katsîr) adalah seorang tsiqqah mutqan al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang kokoh dan kuat).
Ia (Ibnu Katsîr) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis) dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu Katsîr) lahir di Bashrah
pada tahun 700 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Bashrah. Ia (Ibnu Katsîr)
wafat di Bashrah pada tahun 774 Hijriyah, dan dikubur di Damsyiq
(Damaskus).
[8] Al-Hâfizh Ibnu Katsîr. Tafsîr
al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin Muhammad as-Salâmah. Ar-Riyadh:
Dâr Thayyibah. Jilid. 1, Juz. 1, halaman: 386.
[9] Di dalam “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin
Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr (Jilid. 1,
Juz. 1, halaman: 386): “Kalimat “مِنْ
قَوْلِهِمَا” bisa diganti dengan “مِنْ قَوْلِهِ”.
[10] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Ishâq bin Yasâr. Ia (Ibnu Ishâq) merupakan
seorang Tâbi’în junior. Ia (Ibnu Ishâq) di-tsiqqah-kan
(dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Yahyâ bin
Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-‘Ijlî. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Mathlabî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bakr.
Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Ishâq) wafat di Baghdâd
pada tahun 150 Hijriyah.
[11] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Abî Muhammad Maulâ Zaid bin Tsâbit. Ia
(Muhammad bin Abî Muhammad) merupakan seorang Tâbi’în dekat pertengahan.
Ia (Muhammad bin Abî Muhammad) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Ibnu Hibbân
dan al-Hâfizh adz-Dzahabî.
[12] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Ia (‘Ikrimah)
merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Ikrimah) adalah seorang tsiqqah
tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Barbarî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Ikrimah)
wafat pada tahun 104 Hijriyah.
[13] Nama
lengkapnya yaitu: Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm. Ia (Sa’îd bin Jubair) merupakan
seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Sa’îd bin Jubair) adalah seorang tsiqqah
tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Muhamad. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Sa’îd bin Jubair) wafat di ‘Irâq
pada tahun 94 Hijriyah.
[14] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia
(Ibnu ‘Abbâs) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr
(tafsir), fiqh (fikih), lughah (bahasa), Syi’ir (Sya’ir), farâidh
(waris) dan hadîts (hadis). Serta ia (Ibnu ‘Abbâs) telah meriwayatkan
1.660 Hadîts. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hâsyimî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn
‘Abbâs, al-Hijr dan al-Bahr. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz.
Ia (Ibnu ‘Abbâs) wafat di Thâ-if pada tahun 68 Hijriyah.
[15] Di dalam “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin
Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr (Jilid. 1,
Juz. 1, halaman: 386): “Nama lain “Ibnu Huraymalah” yaitu: “Ibnu
Khuzaymah”.
[16] Muhadditsîn yaitu: Orang yang
hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î,
Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud,
an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[17] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[18] Tsiqqât
adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.
[19] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[20] Sanad
adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan
(redaksi/isi) hadis.
[21] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî.
Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-âdil-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr
dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada
tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat
di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[22] Imâm Ibnu Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay
al-Qurân; Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr
Hajar. Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 409.
[23] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Jalâluddîn. Laqab (gelar/titel) nya: as-Suyûthî. Ia
(as-Suyûthî) adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdil-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Serta ia
(as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts (hadis), lughah
(bahasa), adb (sastra), fiqh (fikih), târîkh (sejarah) dan
sebagainya. Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî. Ia
(as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat tinggalnya
di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada tahun 911
Hijriyah.
[24] Atsar adalah: Sesuatu yang
disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[25] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[26] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[27] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[28] Hadis Shahîh
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama,
baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna
ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada
kecacatan (‘illat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar