Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 115
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (١١٥)
115. Dan kepunyaan[1]
Allah-lah Timur dan Barat; di manapun kamu (kaum Muslimîn) menghadap (untuk
mendirikan shalat), maka di situlah wajah Allah[2].
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Al-Imâm al-Hâfizh[3] Ahmad bin Hanbal[4] meriwayatkan dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (No. Hadis: 4484) atau (2/20):
حَدَّثَنَا يَحْيَى, عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ, قَالَ:
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ, أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ عَلَى رَاحِلَتِهِ مُقْبِلًا مِنْ مَكَّةَ
إِلَى الْمَدِيْنَةِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ. وَفِيْهِ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:
(........فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ.......).
“Yahyâ[5] telah bercerita kepada kami
(kepada Ahmad bin Hanbal), dari ‘Abdul Malik[6], dia (‘Abdul Malik) berkata: “Sa’îd bin
Jubair[7] telah bercerita kepada kami
(kepada ‘Abdul Malik): “Bahwasannya ‘Abdullâh bin ‘Umar[8] berkata: “Dahulu kala Rasûlullâh
SAW. pernah sholat di atas kendaraannya (di atas Unta betina) dari Makkah ke
Madînah menghadap (mengikuti) posisi dan arah kendaraannya tersebut (kendaran
beliau SAW. yaitu: Unta betina)”. Dalam hal (peristiwa) tersebut (maksudnya:
karena peristiwa yang dialami Nabi SAW. yaitu: ketika shalat dalam perjalanan
di atas Unta betinanya, beliau SAW. menghadap mengikuti posisi dan arah Unta
betinanya tersebut), maka turunlah Ayat ini (Surat al-Baqarah, Ayat:115):
........ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ
وَجْهُ اللهِ ....... (١١٥)
115. .............. di manapun kamu (kaum Muslimîn) menghadap
(untuk mendirikan shalat), maka di situlah wajah Allah (maksudnya: Qiblat
Allah, yaitu: Ka’bah)...............”.
Al-Imâm al-Hâfizh[12] Muslim[13]
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya (No. Hadis: 1131) atau (5/209).
Al-Hâfizh at-Tirmidzî[14] juga meriwayatkan sebagaimana
Hadis di atas dalam at-Tafsîr
at-Tirmidzînya (4/68), dan kata al-Hâfizh at-Tirmidzî: “Hadis
yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan berkualitas hasan shahîh”.
Al-Hâfizh an-Nasâ-î[15] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan an-Nasâ-î
al-Kubrânya (No. Hadis: 487) atau (1/196).
Imâm Ibnu Jarîr[16] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta-wîl ay al-Qurânnya (1/503).
Al-Hâfizh Jalâluddîn
as-Suyûthî[17] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 1, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada al-Imâm al-Hâfizh Muslim
dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya
(No. Hadis: 1131) atau (5/209); dan menisbahkan kepada al-Hâfizh an-Nasâ-î dalam
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (No. Hadis: 487) atau (1/196).
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[18] ‘Abdullâh bin ‘Umar di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfû’, maksudnya: hadis Mawqûf[19] yang dihukumi Marfû’[20]. Karena para Muhadditsîn[21] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang
dihukumi Marfû’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang
berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Umar di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfû’ oleh
para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam
hukum Syara’ (Islam).
PENJELASAN (Hadis di atas):
قَالَ أَبُوْ عُبَيْدِ
الْقَاسِمِ بْنِ سَلاَمِ فِيْ كِتَابِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوْخِ: حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ, قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ وَعُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ,
عَنْ عَطَاءٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: أَوَّلُ مَا نُسِخَ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْمَا
ذَكَرَ لَنَا, وَ اللهِ أَعْلَمُ شَأْنُ الْقِبْلَةِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: (وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ............). فَاسْتَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى
نَحْوَ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ, وَتَرَكَ الْبَيْتَ الْعَتِيْقِ. ثُمَّ صَرَّفَهُ إِلَى
بَيْتِهِ الْعَتِيْقِ وَ نُسِخَهَا, فَقَالَ: (وَمِنْ حَيْثُ
خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا
وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ............).
“Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm berkata dalam Kitâb an-Nâsikh
wa al-Mansûkh: “Hajjâj bin Muhammad telah bercerita kepada kami (kepada Abû
‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm), dia (Hajjâj bin Muhammad) berkata: “Ibnu Juraij dan
‘Utsmân bin ‘Athâ’ telah mengabarkan kepada kami (kepada Hajjâj bin Muhammad), dari
‘Athâ’, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Demi
Allah, seingat (sepengetahuan) kami (Ayat) al-Qurân yang pertama kali dihapus
(mansûkh) yaitu: (Ayat) mengenai Qiblat”. Allah SWT. berfirman (Surat
al-Baqarah, Ayat: 115):
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ .............. (١١٥)
115. Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; di
manapun kamu (kaum Muslimîn) menghadap
(untuk mendirikan shalat), maka di situlah wajah Allah (maksudnya: Qiblat
Allah, yaitu: Ka’bah)............”.
“Maka Rasûlullâh SAW. shalat menghadap Baitul Muqaddas (Baitul
Maqdîs), dan beliau SAW. meninggalkan (perintah shalat menghadap) Baitul ‘Atîq
(Ka’bah). Kemudian Allah SWT. merubah (kembali menghadap) Baitul ‘Atîq-Nya
(yaitu: Ka’bah), maka dihapus-Nya (maksudnya: perintah Allah SWT. ketika akan
mendirikan shalat agar menghadap Baitul Muqaddas yang terdapat dalam Surat
al-Baqarah Ayat: 115, dihapus hukumnya dengan Surat al-Baqarah Ayat: 150, yang
memerintahkan mendirikan shalat menghadap Ka’bah). Dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata (mengenai Firman Allah SWT. Surat al-Baqarah,
Ayat: 150):
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا
كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ......... (١٥٠)
150. Dan dari mana saja kamu (kaum
Muslimîn) keluar (maksudnya: bepergian atau musâfir), maka palingkanlah (hadapkanlah) wajahmu (maksudnya:
jiwa dan ragamu ketika akan mendirikan shalat) ke arah Masjidil Haram
(maksudnya: ke arah Ka’bah). Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah
(hadapkanlah) wajahmu (maksudnya: jiwa dan ragamu ketika akan mendirikan shalat)
ke arah tersebut (maksudnya: ke arah Ka’bah)......................”.[22]
KESIMPULAN
1. Hadis di atas berkualitas shahîh[23], dan dikuatkan ke-râjih-annya
dengan Hadis-hadis melalui jalur (sanad) lain sebagaimana yang telah
saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam Syara’ (Islam).
2. Hukum yang terkandung dalam Surat al-Baqarah Ayat: 115, dihapus (mansûkh)
dengan hukum yang terkandung dalam Surat al-Baqarah Ayat: 150, sebagaimana
riwayat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dalam “PENJELASAN” di atas.
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’
ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/ al-Imâm al-Hâfizh Muslim bin al-Hajjâj bin
Muslim bin Warad).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (al-Hâfizh at-Tirmidzî/ al-Imâm al-Hâfizh
Muhammad bin Îsâ bin Saurah bin Mûsâ bin adh-Dhahâk).
Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâfizh al-Hâkim/ al-Hâfizh Abî ‘Abdullâh al-Hâkim
an-Naisâbûrî).
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/ al-Imâm al-‘Âlim Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/ al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin Abî Bakr).
Musnad al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/ al-Imâm al-Hâfizh Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (al-Hâfizh an-Nasâ-î/ al-Qâdhî al-Imâm
al-Hâfizh Ahmad bin
Syu’aib bin ‘Alî bin Sunân bin Bahr).
Tafsîr al-Qurân
al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/ Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim/ al-Imâm al-Hâfizh
‘Abdurrahmân bin Abî
Hâtim).
[1] Di dalam “Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 449), kata
“KEPUNYAAN” ditafsirkan dengan kalimat: “Kepunyaan dan Ciptaan Allah SWT.”.
[2] Di dalam “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî
bin Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr (Jilid.
1,
Juz. 1, halaman: 391): ‘Abdullâh bin ‘Abbâs menafsirkan kata “WAJAH
ALLAH” dengan kalimat: “Qiblat Allah SWT; baik menghadap ke Timur maupun ke
Barat”. Sedangkan di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 457 dan 459); dan di dalam “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm,
Tahqîq Sâmî bin Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu
Katsîr (Jilid. 1, Juz. 1, halaman: 391): Mujâhid menafsirkan kata “WAJAH ALLAH”
dengan kalimat: “Qiblat Allah SWT; yaitu: Ka’bah”.
[3] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[4] Nama sebenarnya yaitu: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad.
Ia (Ahmad bin Hanbal) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Dan ia (Ahmad
bin Hanbal) juga merupakan seorang tsiqqah mutqan al-Imâm al-Hâfizh
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang
al-Imâm al-Hâfizh yang kuat dan kokoh). Ia (Ahmad bin Hanbal) juga seorang pakar hadîts (hadis) dan fiqh (fiqih).
Nasab (keturunan) nya yaitu: asy-Syaibânî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Laqab (gelar/titel) nya: Imâm Ahmad Ibn Hanbal. Ia (Ahmad bin Hanbal) lahir di Baghdâd pada tahun 164 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ahmad bin Hanbal) wafat di Baghdâd pada tahun 241 Hijriyah.
[5] Nama lengkapnya yaitu: Yahyâ bin Sa’îd bin Furûkh. Ia (Yahyâ bin Sa’îd)
merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în junior. Ia (Yahyâ bin Sa’îd) adalah
seorang tsiqqah tsabat mutqan Imâm al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang kuat lagi kokoh, al-Imâm
dan al-Hâfizh). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qaththân
at-Tamîmy. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Sa’îd. Tempat
tinggalnya di Bashrah. Ia (Yahyâ bin Sa’îd) wafat di Bashrah pada
tahun 198 Hijriyah.
[6] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdul Malik bin Abî Sulaimân Maysarah. Ia (‘Abdul Malik) merupakan seorang Tâbi’în junior. Ia (‘Abdul Malik) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-‘Urzumî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Tempat
tinggalnya di Kûfah. Ia (‘Abdul Malik) wafat pada
tahun 145 Hijriyah.
[7] Nama
lengkapnya yaitu: Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm. Ia (Sa’îd bin Jubair) merupakan
seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Sa’îd bin Jubair) adalah seorang tsiqqah
tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Muhamad. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Sa’îd bin Jubair) wafat di ‘Irâq
pada tahun 94 Hijriyah.
[8] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Umar bin al-Khaththâb bin Nufail. Semua Sahabat
Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Ia (‘Abdullâh bin ‘Umar) merupakan salah satu pakar hadîts (hadis) terkemuka
di kalangan Sahabat; serta ia (‘Abdullâh bin ‘Umar) telah
meriwayatkan 2.630 Hadîts. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-‘Udwy al-Qurasyî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Tempat
tinggalnya di Madînah. Ia (‘Abdullâh bin
‘Umar)
wafat pada tahun 73 Hijriyah.
[9] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[10] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[12] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[13] Nama lengkapnya yaitu: Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim bin Warad. Ia (Imâm
Muslim) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ dekat pertengahan. Dan ia (Imâm
Muslim) juga merupakan seorang al-Imâm al-Hâfizh al-Hujjah (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Imâm al-Hâfizh dan al-Hujjah).
Ia (Imâm Muslim) juga seorang pakar hadîts (hadis) terkemuka. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Qusyairî an-Naysâbûrî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû al-Husain. Laqab (gelar/titel) nya: Imâm
Muslim. Ia (Imâm Muslim) lahir di Naysâbûr (wilayah Khurrâsân)
pada tahun 204 atau 206 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Naysâbûr (wilayah
Khurrâsân). Ia (Imâm Muslim) wafat di Naysâbûr (wilayah Khurrâsân)
pada tahun 261 Hijriyah.
[14] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Îsâ bin Saurah bin Mûsâ bin
adh-Dhahâk. Ia (at-Tirmidzî) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ junior.
Dan ia (at-Tirmidzî) juga merupakan seorang tsiqqah al-Imâm al-Hâfizh
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang
al-Imâm dan al-Hâfizh). Ia (at-Tirmidzî) juga seorang pakar hadîts (hadis) dan
fiqh (fiqih). Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Sulamî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Îsâ. Laqab (gelar/titel) nya: Imâm at-Tirmidzî. Ia (at-Tirmidzî) lahir di Turmudzî pada tahun 209 atau 210
Hijriyah. Tempat tinggalnya di Turmudzî. Ia (at-Tirmidzî) wafat pada
tahun 279 Hijriyah di daerah Bugh, yaitu suatu daerah yang dekat dengan daerah
Turmudzî.
[15] Nama sebenarnya yaitu: Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî bin Sunân bin Bahr. Ia (an-Nasâ-î)
merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ junior. Dan ia (an-Nasâ-î) juga
merupakan seorang al-Qâdhî al-Imâm al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Imâm al-Hâfizh dan
seorang Hakim). Ia (an-Nasâ-î) juga seorang pakar hadîts (hadis) dan
fiqh (fiqih). Nasab (keturunan) nya yaitu: an-Nasâ-î
an-Nasawy. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Laqab
(gelar/titel) nya: al-Hâfizh an-Nasâ-î. Ia (an-Nasâ-î) lahir di Nasâ
(wilayah Khurrâsân) pada tahun 215 Hijriyah. Ia (an-Nasâ-î) wafat di Ramalah
(wilayah Palestina) pada tahun 303 Hijriyah; ia (an-Nasâ-î) dimakamkan di
Baitul Maqdis (Palestina).
[16] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib
al-Âmalî. Ia
(Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr
dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada
tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat
di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[17] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Jalâluddîn. Laqab (gelar/titel) nya: as-Suyûthî. Ia
(as-Suyûthî) adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh).
Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis), lughah (bahasa), adb (sastra), fiqh (fikih), târîkh
(sejarah) dan sebagainya. Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî.
Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat
tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada
tahun 911 Hijriyah.
[18] Atsar adalah: Sesuatu yang
disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan
perbuatan.
[19] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[20] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[21] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[22] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh Ibnu
Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (1/346), melalui jalur sanad
Hajjâj bin Muhammad. Juga diriwayatkan oleh al-Hâfizh
al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/267), melalui jalur
sanad Ibnu Juraij, dari ‘Athâ’, sebagaimana Hadis di atas. Kata al-Hâfizh
al-Hâkim: “Hadis yang ia (al-Hâkim) riwayatkan berkualitas shahîh menurut
persyaratan Bukhârî dan Muslim; akan tetapi mereka berdua (Bukhârî dan Muslim)
tidak meriwayatkan sebagaimana yang ia (al-Hâkim) riwayatkan”.
[23] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).