Senin, 19 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 77


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 77

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧٧)
77. Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka[1]: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"; Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan orang-orang Munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut. Mereka berkata: "Ya (Allah) Tuhan kami, mengapa Engkau (Allah) wajibkan berperang kepada kami?, mengapa tidak Engkau (Allah) tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami hingga beberapa waktu lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sedikit (sebentar), dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.




Imâm an-Nasâ-î meriwayatkan dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/3):
“Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq telah mengabarkan kepada kami (an-Nasâ-î), katanya (Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq): “Ayahku telah mengabarkan kepada saya (Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq), katanya (ayahnya Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq): “Al-Husain bin Waqid telah mengabarkan kepada kami (ayahnya Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq) dari ‘Amr bin Dinar dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs: “Bahwa ‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya menemui Nabi SAW. di Mekkah, mereka (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW, sesungguhnya kami (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) dahulu merasa mulia dalam keadaan musyrik. Setelah kami (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) beriman, kami (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) menjadi hina”. Kata beliau SAW: “Sesungguhnya aku (Nabi SAW.) diperintah (Allah SWT.) untuk memberi maaf, maka janganlah kamu (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) berperang”. Setelah Allah memindahkan kami (kaum Muslim) ke Madinah, kami (kaum Muslim) diperintah (Nabi SAW.) untuk berperang, lalu mereka (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) menahan diri[2]”. Maka Allah SWT. menurunkan:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧٧)
77. Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"; Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan orang-orang Munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut. Mereka berkata: "Ya (Allah) Tuhan kami, mengapa Engkau (Allah) wajibkan berperang kepada kami?, mengapa tidak Engkau (Allah) tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami hingga beberapa waktu lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sedikit (sebentar), dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.


KETERANGAN dan PENJELASAN:
Al-Hâkim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/66 dan 2/307); dan kata beliau (al-Hâkim): “Shahîh menurut syarat Bukhârî, akan tetapi (Bukhârî) tidak meriwayatkan Hadis tersebut”. Dan disetujui oleh Imâm adz-Dzahabî. Akan tetapi pernyataan keduanya (al-Hâkim dan Imâm adz-Dzahabî) masih perlu ditinjau, karena al-Husain bin Waqîd bukan rawi Bukhârî, sehingga lebih tepat bila dikatakan: “Rawi-rawinya adalah rawi Shahîh, karena al-Husain bin Waqîd adalah rawi Muslim (bukan rawi Bukhârî)”. Begitu pula ‘Ikrimah, ia (‘Ikrimah) adalah rawi Bukhârî dan Muslim, apabila bersama para perawi Bukhârî dan Muslim yang lain.
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (5/171).   
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada an-Nasâ-î dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/3); Serta menisbahkan kepada al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/66 dan 2/307).
Atsar[3] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[4] yang dihukumi Marfu’[5]. Karena para Muhadditsîn[6] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abî ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Mîzân al-‘I’tidâl (adz-Dzahabî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
















[1] Mereka, maksudnya yaitu: Orang-orang yang menampakkan dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang. 
[2] Menahan Diri, maksudnya: Enggan (menolak) untuk berperang dikarenakan takut kepada musuh dan takut terbunuh dalam peperangan.
[3] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[4] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[5] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[6] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar