Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 77
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا
أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ
خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا
إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى
وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧٧)
77.
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka[1]:
"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah
zakat!"; Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian
dari mereka (golongan orang-orang Munafik) takut kepada manusia (musuh),
seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut. Mereka berkata: "Ya
(Allah) Tuhan kami, mengapa Engkau (Allah) wajibkan berperang kepada kami?,
mengapa tidak Engkau (Allah) tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami
hingga beberapa waktu lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini
hanya sedikit (sebentar), dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Imâm an-Nasâ-î meriwayatkan dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya
(6/3):
“Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq telah mengabarkan kepada
kami (an-Nasâ-î), katanya (Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq): “Ayahku
telah mengabarkan kepada saya (Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq),
katanya (ayahnya Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin Syaqîq): “Al-Husain bin
Waqid telah mengabarkan kepada kami (ayahnya Muhammad bin ‘Alî bin al-Hasan bin
Syaqîq) dari ‘Amr bin Dinar dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs: “Bahwa
‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya menemui Nabi SAW. di Mekkah, mereka (‘Abdurrahmân
bin ‘Auf dan para sahabatnya) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW, sesungguhnya kami
(‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) dahulu merasa mulia dalam keadaan
musyrik. Setelah kami (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) beriman, kami
(‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) menjadi hina”. Kata beliau SAW: “Sesungguhnya
aku (Nabi SAW.) diperintah (Allah SWT.) untuk memberi maaf, maka janganlah kamu
(‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya) berperang”. Setelah Allah
memindahkan kami (kaum Muslim) ke Madinah, kami (kaum Muslim) diperintah (Nabi
SAW.) untuk berperang, lalu mereka (‘Abdurrahmân bin ‘Auf dan para sahabatnya)
menahan diri[2]”.
Maka Allah SWT. menurunkan:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا
أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ
خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا
إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى
وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧٧)
77.
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:
"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah
zakat!"; Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian
dari mereka (golongan orang-orang Munafik) takut kepada manusia (musuh),
seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut. Mereka berkata: "Ya
(Allah) Tuhan kami, mengapa Engkau (Allah) wajibkan berperang kepada kami?,
mengapa tidak Engkau (Allah) tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami
hingga beberapa waktu lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini
hanya sedikit (sebentar), dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
Al-Hâkim
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/66 dan 2/307); dan kata beliau (al-Hâkim): “Shahîh
menurut syarat Bukhârî, akan tetapi (Bukhârî) tidak meriwayatkan Hadis
tersebut”. Dan disetujui oleh Imâm adz-Dzahabî. Akan tetapi pernyataan
keduanya (al-Hâkim dan Imâm adz-Dzahabî) masih perlu ditinjau, karena al-Husain
bin Waqîd bukan rawi Bukhârî, sehingga lebih tepat bila dikatakan: “Rawi-rawinya
adalah rawi Shahîh, karena al-Husain bin Waqîd adalah rawi Muslim (bukan rawi
Bukhârî)”. Begitu pula ‘Ikrimah, ia (‘Ikrimah) adalah rawi Bukhârî dan
Muslim, apabila bersama para perawi Bukhârî dan Muslim yang lain.
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’
al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (5/171).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan
kepada an-Nasâ-î dalam Sunan
an-Nasâ-î al-Kubrânya (6/3); Serta
menisbahkan kepada al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya (2/66
dan 2/307).
Atsar[3] ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[4]
yang dihukumi Marfu’[5].
Karena para Muhadditsîn[6]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abî ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu
Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî).
Mîzân al-‘I’tidâl (adz-Dzahabî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ
(an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
[1] Mereka,
maksudnya yaitu: Orang-orang yang menampakkan dirinya
beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang.
[2] Menahan Diri,
maksudnya: Enggan (menolak) untuk berperang dikarenakan takut kepada musuh dan
takut terbunuh dalam peperangan.
[3] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[4] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[5] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[6] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar