Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 69
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (٦٩)
69.
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para Shiddîqîn[1],
orang-orang yang mati Syahid, dan orang-orang Saleh; dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.
Ath-Thabrânî meriwayatkan dalam Mu’jam ash-Shaghîrnya (1/26):
“Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki, Abû ‘Abdillâh telah bercerita
kepada kami (ath-Thabrânî), katanya (Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki, Abû
‘Abdillâh): “Telah bercerita kepada kami (Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki,
Abû ‘Abdillâh) ‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi, katanya (‘Abdullâh bin ‘Imrân
al-‘Abidi): “Fudhail bin ‘Iyadh telah bercerita kepada kami (‘Abdullâh bin
‘Imrân al-‘Abidi) dari Manshûr dari Ibrâhîm dari al-Aswâd dari ‘Âisyah, katanya
(‘Âisyah): “Ada seseorang datang kepada Nabi SAW. lalu berkata: “Wahai
Rasûlullâh SAW, sesungguhnya engkau (Nabi SAW.) lebih aku cintai daripada
diriku sendiri. Sesungguhnya engkau (Nabi SAW.) lebih aku cintai daripada
keluarga dan hartaku, serta lebih aku cintai daripada anakku. Sungguh,
seandainya aku di rumah, aku mengingatmu dan aku tidak sabar untuk bertemu dan
memandangmu. Kalau aku ingat kematianku dan kematianmu (Nabi SAW), aku tahu
engkau (Nabi SAW.) masuk Surga, engkau (Nabi SAW.) dinaikkan bersama para Nabi.
Dan kalau aku masuk Surga, aku khawatir tidak melihat engkau (Nabi SAW.)”. Nabi
SAW. tidak memberi jawaban hingga (Malaikat) Jibrîl turun membawa Ayat (Ayat:
69, Surat an-Nisâ’):
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (٦٩)
69.
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para Shiddîqîn, orang-orang yang mati Syahid, dan
orang-orang Saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
Hadis di atas
merupakan Hadis Gharîb al-Isnâd[2], karena tidak
ada yang meriwayatkan dari Manshûr dari Ibrâhîm dari al-Aswâd dari ‘Âisyah selain Fudhail bin ‘Iyadh; begitu pula
‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi juga hanya meriwayatkan seorang saja dari
Fudhail bin ‘Iyadh.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan
kepada Ath-Thabrânî dalam Mu’jam
ash-Shaghîrnya (1/26); Serta menisbahkan kepada Ibnu
Mardawaih dalam Tafsîr Ibn Mardawaihnya; Dan kata Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî: “Hadis yang ia riwayatkan dengan sanad[3]
lâ ba’sa bihi[4].
Al-Haitsamî
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’
al-Fawâidnya (7/7) melalui dua jalur sanad, yaitu: jalur sanad ‘Âisyah dan
‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Kata al-Haitsamî dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’
al-Fawâidnya (7/7): “Hadis yang ia riwayatkan melalui jalur sanad
‘Âisyah, para rawinya adalah rawi Shahîh, kecuali ‘Abdullâh bin ‘Imrân
al-‘Abidi, dia (‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi) tsiqqah[5] .
Dan dalam jalur sanad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs terdapat seorang perawi yang “kacau”[6]
yaitu: ‘Athâ bin as-Saib”.
Abû Nu’aim
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Hilyahnya (4/240
dan 8/125). Al-Wâhidî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Asbâb
an-Nuzûl li al-Wâhidînya.
Kata Imâm
asy-Syaukanî dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 69) karya asy-Syaikh
Muqbil bin Hadî al-Wadi’î: “Sesungguhnya al-Hâfizh al-Maqadisî menghasankan
Hadis di atas. Hadis di atas juga dikuatkan dengan riwayat al-Hâfizh Ibnu
Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/523)”.
Atsar[7] ‘Âisyah di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis
Mawqûf[8]
yang dihukumi Marfu’[9].
Karena para Muhadditsîn[10]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Âisyah di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’
oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Âisyah di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN:
Hadis di
atas saling menguatkan antara satu dengan yang lain, sehingga naiklah derajat
hadis di atas dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’
(Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Hilyah (Abû
Nu’aim).
Asbâb
an-Nuzûl li al-Wâhidî (al-Wâhidî).
Ash-Shahîh
al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî
al-Wadi’î).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli
(as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâid
wa Manba’ al-Fawâid (al-Haitsamî).
Nail al-Authâr (asy-Syaukanî).
Tafsîr al-Qurân
al-‘Azhîm (Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu
bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî
ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Mardawaih
(Ibnu Mardawaih).
[1] Shiddîqîn ialah: Orang-orang yang sangat teguh kepercayaannya kepada
kebenaran para Rasûl (khususnya menyakini dengan teguh kebenaran kerasulan Nabi
Muhammad), dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat, sebagaimana dalam
Surat al-Fâtihah, Ayat: 7.
[2] Hadis Gharîb
al-Isnâd yaitu: Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja di tempat
(thabaqât) manapun.
[3] Sanad,
adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan kepada Nabi SAW.
[4] Lâ Ba’sa
Bihi, maksudnya: Sanad (mata rantai para perawi hadis) hadisnya
tidak shahîh dan tidak pula hasan.
[5] Tsiqqah
adalah: Orang yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-an nya.
[6] Kacau,
maksudnya: Seorang perawi yang dinyatakan cacat oleh para Muhadditsîn,
salah satunya yaitu: orang yang lemah daya ingat dan hafalan dalam meriwayatkan
Hadis.
[7] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan
dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[9] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[10] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar