Sabtu, 17 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 69


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 69

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (٦٩)
69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Shiddîqîn[1], orang-orang yang mati Syahid, dan orang-orang Saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.





Ath-Thabrânî meriwayatkan dalam Mu’jam ash-Shaghîrnya (1/26):
“Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki, Abû ‘Abdillâh telah bercerita kepada kami (ath-Thabrânî), katanya (Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki, Abû ‘Abdillâh): “Telah bercerita kepada kami (Ahmad bin ‘Amr al-Khallal al-Makki, Abû ‘Abdillâh) ‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi, katanya (‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi): “Fudhail bin ‘Iyadh telah bercerita kepada kami (‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi) dari Manshûr dari Ibrâhîm dari al-Aswâd dari ‘Âisyah, katanya (‘Âisyah): “Ada seseorang datang kepada Nabi SAW. lalu berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW, sesungguhnya engkau (Nabi SAW.) lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Sesungguhnya engkau (Nabi SAW.) lebih aku cintai daripada keluarga dan hartaku, serta lebih aku cintai daripada anakku. Sungguh, seandainya aku di rumah, aku mengingatmu dan aku tidak sabar untuk bertemu dan memandangmu. Kalau aku ingat kematianku dan kematianmu (Nabi SAW), aku tahu engkau (Nabi SAW.) masuk Surga, engkau (Nabi SAW.) dinaikkan bersama para Nabi. Dan kalau aku masuk Surga, aku khawatir tidak melihat engkau (Nabi SAW.)”. Nabi SAW. tidak memberi jawaban hingga (Malaikat) Jibrîl turun membawa Ayat (Ayat: 69, Surat an-Nisâ’):
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (٦٩)
69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Shiddîqîn, orang-orang yang mati Syahid, dan orang-orang Saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.


KETERANGAN dan PENJELASAN:
Hadis di atas merupakan Hadis Gharîb al-Isnâd[2], karena tidak ada yang meriwayatkan dari Manshûr dari Ibrâhîm dari al-Aswâd dari ‘Âisyah selain Fudhail bin ‘Iyadh; begitu pula ‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi juga hanya meriwayatkan seorang saja dari Fudhail bin ‘Iyadh.
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ath-Thabrânî dalam Mu’jam ash-Shaghîrnya (1/26); Serta menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr Ibn Mardawaihnya; Dan kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia riwayatkan dengan sanad[3] lâ ba’sa bihi[4].
Al-Haitsamî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâidnya (7/7) melalui dua jalur sanad, yaitu: jalur sanad ‘Âisyah dan ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Kata al-Haitsamî dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâidnya (7/7): “Hadis yang ia riwayatkan melalui jalur sanad ‘Âisyah, para rawinya adalah rawi Shahîh, kecuali ‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi, dia (‘Abdullâh bin ‘Imrân al-‘Abidi) tsiqqah[5] . Dan dalam jalur sanad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs terdapat seorang perawi yang “kacau”[6] yaitu: ‘Athâ bin as-Saib”.
Abû Nu’aim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Hilyahnya (4/240 dan 8/125). Al-Wâhidî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidînya.
Kata Imâm asy-Syaukanî dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 69) karya asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î: “Sesungguhnya al-Hâfizh al-Maqadisî menghasankan Hadis di atas. Hadis di atas juga dikuatkan dengan riwayat al-Hâfizh Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/523)”.
Atsar[7] ‘Âisyah di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[8] yang dihukumi Marfu’[9]. Karena para Muhadditsîn[10] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Âisyah di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Âisyah di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



KESIMPULAN:
Hadis di atas saling menguatkan antara satu dengan yang lain, sehingga naiklah derajat hadis di atas dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Al-Hilyah (Abû Nu’aim).
Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidî (al-Wâhidî).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid (al-Haitsamî).
Nail al-Authâr (asy-Syaukanî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Mardawaih (Ibnu Mardawaih).














[1] Shiddîqîn ialah: Orang-orang yang sangat teguh kepercayaannya kepada kebenaran para Rasûl (khususnya menyakini dengan teguh kebenaran kerasulan Nabi Muhammad), dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat, sebagaimana dalam Surat al-Fâtihah, Ayat: 7.
[2] Hadis Gharîb al-Isnâd yaitu: Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja di tempat (thabaqât) manapun.
[3] Sanad, adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan kepada Nabi SAW.
[4] Lâ Ba’sa Bihi, maksudnya: Sanad (mata rantai para perawi hadis) hadisnya tidak shahîh dan tidak pula hasan.
[5] Tsiqqah adalah: Orang yang kredibel ke-âdil-an dan ke-dhâbith-an nya.
[6] Kacau, maksudnya: Seorang perawi yang dinyatakan cacat oleh para Muhadditsîn, salah satunya yaitu: orang yang lemah daya ingat dan hafalan dalam meriwayatkan Hadis.
[7] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[9] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar