Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’
(4), Ayat: 83
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ
مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
(٨٣)
83. Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri[1]
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[2].
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut Syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).
Imâm Muslim meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya
(10/82):
“Zuhair bin Harb telah bercerita
kepada saya (Muslim), katanya (Zuhair bin Harb): “Telah bercerita kepada kami
(Zuhair bin Harb) ‘Umar bin Yûnus al-Hanafî, katanya (‘Umar bin Yûnus
al-Hanafî): “Telah bercerita kepada kami (‘Umar bin Yûnus al-Hanafî) ‘Ikrimah
bin ‘Ammar dari Simak Abû Zumail, katanya (Simak Abû Zumail): “Telah bercerita
kepada saya (Simak Abû Zumail) ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin
‘Abbâs): “Telah bercerita kepada saya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) ‘Umar bin
al-Khaththâb, dia (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Ketika Nabi SAW. menjauhi
para isterinya, saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) memasuki Masjid. Ternyata kaum Muslimîn tertunduk mengetuk-ngetukkan
kerikil dan (kaum Muslimîn) mengatakan: “Rasûlullâh SAW. telah menthalâq
(mencerai) para isterinya”. Itu terjadi sebelum ada perintah hijab.
“Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Saya
(‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Hari ini saya (‘Umar bin al-Khaththâb) harus
benar-benar mengetahui hal itu[3].
Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun masuk menemui ‘Âisyah binti Abû Bakar
ash-Shiddîq dan (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai puteri ash-Shiddîq,
sudah sampai urusanmu seperti itu menyakiti Rasûlullâh SAW. Maka dia (‘Âisyah
binti Abû Bakar ash-Shiddîq) pun berkata: “Apa urusanmu (‘Umar bin
al-Khaththâb) dengan urusanku (‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq) ini wahai
putera al-Khaththâb, uruslah aibmu sendiri”.
Katanya (‘Umar bin al-Khaththâb): “
Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun menemui Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb
(selaku puterinya) dan (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata kepadanya (Hafshah
binti ‘Umar bin al-Khaththâb): “ Wahai Hafshah, sudah sampai urusanmu seperti
ini hingga menyakiti Rasûlullâh SAW; padahal sungguh engkau (Hafshah binti
‘Umar bin al-Khaththâb) tahu bahwa: “Rasûlullâh SAW. tidak mencintaimu (Hafshah
binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”. Kalau bukan karena aku (‘Umar bin al-Khaththâb)
tentulah Rasûlullâh SAW. sudah menceraikanmu (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”.
Dia (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb) pun menangis tersedu-sedu begitu
hebatnya. Lalu aku (‘Umar bin al-Khaththâb) katakan kepadanya (Hafshah binti
‘Umar bin al-Khaththâb): “Di mana Rasûlullâh SAW?”. Katanya (Hafshah binti
‘Umar bin al-Khaththâb): “Di gudangnya di loteng (kamar yang berada di atas
rumah)”. Lalu aku (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk, ternyata di situ (di kamar
yang berada di atas rumah) ada Rabah bujang, Rasûlullâh SAW. sedang duduk di atas ambang pintu masuk loteng
sambil menjulurkan kakinya ke tangga tempat naik dan turun Rasûlullâh SAW. Saya
(‘Umar bin al-Khaththâb) pun memanggilnya (Nabi SAW): “Wahai Rabah (Nabi SAW),
bolehkah saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk ke dalam?”. Rabah (Nabi SAW.)
menoleh ke arah kamar lalu melihatku (melihat ‘Umar bin al-Khaththâb) namun
tidak mengucapkan apa-apa. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata lagi: “Wahai
Rabah (Nabi SAW), bolehkah saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk ke dalam?”. Rabah
(Nabi SAW.) menoleh ke arah kamar lalu melihatku (melihat ‘Umar bin
al-Khaththâb) namun tidak mengucapkan apa-apa. Kemudian saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) mengeraskan suara dan berkata: “Wahai Rabah (Nabi SAW), bolehkah
saya masuk ke dalam?”. Karena saya (‘Umar bin al-Khaththâb) mengira Rasûlullâh
SAW. menduga saya (‘Umar bin al-Khaththâb) datang karena Hafshah binti ‘Umar
bin al-Khaththâb. Demi Allah SWT; seandainya Rasûlullâh SAW. memerintahkan saya
(‘Umar bin al-Khaththâb) menebas lehernya (lehernya Hafshah binti ‘Umar bin
al-Khaththâb), pasti aku (‘Umar bin al-Khaththâb) tebas lehernya (lehernya
Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun
mengeraskan suara saya (‘Umar bin al-Khaththâb). Akhirnya dia (Nabu SAW.) mengisyaratkan agar saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) naik. Saya masuk menemui Rasûlullâh SAW. yang sedang berbaring di
atas sehelai tikar, lalu saya (‘Umar bin al-Khaththâb) duduk dan beliau SAW.
mendekatkan sarungnya, tidak ada barang lain di dekat beliau SAW. selain itu
(selain tikar). Ternyata tikar itu membekas di lambung beliau SAW. Saya (‘Umar
bin al-Khaththâb) palingkan pandanganku (‘Umar bin al-Khaththâb) ke arah
perabot Rasûlullâh SAW; ternyata hanya saya (‘Umar bin al-Khaththâb) dapatkan
segenggam gandum sekitar satu gantang dan daun untuk menyamak di sudut kamar,
serta sehelai kulit belum selesai disamak”.
Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Air
mataku (‘Umar bin al-Khaththâb) berlinang, dan beliau SAW. pun bertanya: “Apa
yang membutamu (‘Umar bin al-Khaththâb) menangis wahai putera
al-Khaththâb?”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb)
berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; bagaimana aku (‘Umar bin al-Khaththâb) tidak
menangis. Tikar ini membekas di lambungmu (di lambung Nabi SAW.), dan
simpananmu (barang yang dimiliki Nabi SAW. di sekitarnya) ini tidak satu pun
aku (‘Umar bin al-Khaththâb) lihat kecuali apa yang ada ini[4],
sementara Kaisar Romawî dan Kisrâ (Parsî) di antara buah-buahan dan sungai yang
mengalir. Sedangkam engkau (Nabi SAW.) adalah Rasûl (utusan) Allah SWT;
pilihan-Nya, akan tetapi harta bendamu hanya ini[5]”.
Beliau (Nabi SAW.) pun mengatakan: ‘Wahai putera al-Khaththâb, apakah engkau
(‘Umar bin al-Khaththâb) tidak ridha (rela) Akhirat menjadi milik kita (seluruh
kaum Muslim) dan Dunia menjadi milik mereka (kaum non Muslim)?”. Saya (‘Umar
bin al-Khaththâb) menjawab: Tentu”. Katanya lagi: “Ketika saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) masuk menemui beliau SAW; saya (‘Umar bin al-Khaththâb) melihat
wajah beliau SAW. sedang marah. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berkata:
“Wahai Rasûlullâh SAW. para perempuan ini (para isterimu) jangan sampai
menyusahkanmu (menyusahkan Nabi SAW).
Kalau anda (Nabi SAW.) ceraikan mereka (para isterimu), maka
sesungguhnya Allah SWT. bersamamu (bersama Nabi SAW), para Malaikat-Nya,
Jibrîl, Mikail, saya (‘Umar bin al-Khaththâb), Abû Bakar ash-Shiddîq dan kaum
Mukmîn semuanya bersamamu (bersama Nabi SAW.). Tidaklah aku (‘Umar bin
al-Khaththâb) berbicara dan memuji Allah SWT; melainkan aku (‘Umar bin
al-Khaththâb) berharap Allah SWT. membenarkan ucapan yang aku (‘Umar bin
al-Khaththâb) keluarkan. Dan turunlah Ayat Takhyîr (pilihan) ini (Surat
at-Tahrîm, Ayat: 4-5):
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ
فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ
وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (٤)
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ
أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ
تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥)
4. Jika kamu
berdua[6]
bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua[7]
bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya (Pelindung
Nabi SAW.) dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik; dan
selain itu Malaikat-malaikat adalah penolongnya (penolong Nabi SAW) pula.
5. Jika Nabi menceraikan kamu,
boleh Jadi Tuhan (Allah) nya akan memberi ganti kepadanya (kepada Nabi SAW.)
dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang
taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan
yang perawan”.
“Dahulu ‘Âisyah binti Abû Bakar
ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb bantu-membantu menghadapi
sekalian isteri-isteri Nabi SAW. ‘Umar bin al-Khaththâb berkata: “Wahai
Rasûlullâh SAW; apakah engkau (Nabi SAW.) menceraikan mereka (‘Âisyah binti Abû
Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)?”. Beliau SAW. menjawab:
“Tidak”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW;
sesungguhnya saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk Masjid dan kaum Muslim dalam
keadaan tertunduk memainkan kerikil, mereka (kaum Muslim) mengatakan:
“Rasûlullâh SAW. menceraikan para isterinya”. Bolehkah saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) turun menyampaikan berita kepada mereka (kaum Muslim) bahwa
engkau (Nabi SAW.) tidak menceraikan mereka (‘Âisyah binti Abû Bakar
ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)?”. Kata beliau SAW: “Ya,
kalau kamu (‘Umar bin al-Khaththâb) mau”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) terus
berbincang-bincang dengan beliau SAW. hingga marah beliau SAW. hilang bahkan
sampai beliau SAW. tertawa, sedangkan beliau SAW. adalah orang yang paling
tampan. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun turun sambil melompat karena emosi[8],
kemudian Nabi SAW. turun, seolah-olah beliau SAW. berjalan di tanah tanpa menyentuhya
(tanpa menyentuh tanah). Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai Rasûlullâh
SAW; engkau (Nabi SAW.) di kamar itu (selama) 29 hari”.
Kata beliau (Nabi SAW): “Sesungguhnya
satu bulan itu berjumlah 29 hari”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berdiri di
pintu Masjid dan berseru sekeras-kerasnya bahwa Rasûlullâh SAW. tidak
menceraikan isteri-isterinya. Lalu turunlah Ayat ini (Ayat: 83, Surat an-Nisâ’):
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ
مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
(٨٣)
83. Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut Syaitan, kecuali
sebagian kecil saja (di antaramu)”.
“Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Saya
(‘Umar bin al-Khaththâb) lah yang mengetahui kebenaran masalah itu[9],
dan Allah SWT. menurunkan Ayat Takhyir/pilihan (Surat al-Ahzâb, Ayat: 28-29)”.
KETERANGAN dan PENJELASAN:
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga
meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubab an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’).
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî
al-Wadi’î juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya
(Surat an-Nisâ’, Ayat: 83).
Atsar[10] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11] yang dihukumi
Marfu’[12]. Karena para Muhadditsîn[13] telah
bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah
satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya
(asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut,
maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim
(Imâm
Muslim/al-Imâm Abî al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim
al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb
an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl
(as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
[1] Ulil Amri, maksudnya:
Tokoh-tokoh Sahabat dan para cendekiawan di antara para Sahabat Nabi SAW.
[2] Menurut Mufassirîn yang lain
maksudnya ialah: Kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu
disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli
dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[3] Hal Itu, maksudnya: Hal bahwa
apakah Rasûlullâh SAW. benar-benar telah menceraikan para isterinya?.
[4] Apa Yang Ada Ini, maksudnya: Apa
yang ada di kamar loteng Nabi SAW; berupa tikar, sarung, segenggam gandum
sekitar satu gantang, sehelai daun untuk menyamak dan sehelai kulit belum
selesai disamak.
[5] Ibid., hlm.3.
[6] Kamu Berdua, mereka adalah:
‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb.
[7] Ibid., hlm.4.
[8] Karena Emosi, maksudnya: Perasaan
gembira yang luar biasa karena melihat Nabi SAW. dapat ceria kembali.
[9] Masalah Itu, maksudnya: Masalah
perselisihan antara Nabi SAW. dengan para isterinya yaitu: ‘Âisyah dan Hafshah.
[10] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan
[11] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik
berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun
terputus sanadnya.
[12] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[13] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal
para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf,
seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm
Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû
Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar