Rabu, 23 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 51-52


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 51-52
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) percaya kepada Jibt dan Thâghût[1], dan mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) berkata kepada orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
52. Mereka[2] itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk (dilaknat) Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong baginya[3].




Ibnu Jarîr meriwayatkan dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (4/318):
“Muhammad bin al-Mutsannâ telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr), katanya (Muhammad bin al-Mutsannâ): “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada kami (Muhammad bin al-Mutsannâ) dari Dâwûd dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Ketika Ka’b bin al-Asyraf datang ke Mekah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya (kepada Ka’b bin al-Asyraf): “Engkau (Ka’b bin al-Asyraf) orang Madinah paling baik dan pemuka mereka[4]”. Dia (Ka’b bin al-Asyraf) berkata: “Iya”. Kata mereka (orang-orang Quraisy): “Tidakkah kamu lihat satu orang hina dan tercela ini (shunbur) memisah dari kaumnya, dia (Nabi SAW.) menyangka bahwa dia (Nabi SAW.) lebih baik dari kami (orang-orang Quraisy), padahal kami (orang-orang Quraisy) penolong jama’âh haji, penjaga Ka’bah dan pemberi minum jama’ah haji”. Katanya (Ka’b bin al-Asyraf): “Kalian (orang-orang Quraisy) lebih baik dari dia (Nabi SAW.)”. Dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Lalu turunlah (Surat al-Kautsar, Ayat: 3):
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah yang terputus[5].

“Dan turunlah (Surat an-Nisâ’, Ayat: 51-52):
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) percaya kepada Jibt dan Thâghût, dan mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) berkata kepada orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
52. Mereka itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk (dilaknat) Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong baginya”.


KETERANGAN:
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/513) dengan redaksi sanad[6] sebagai berikut: “Kata beliau (Ibnu Katsîr): “Imâm Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada saya (Imâm Ahmad bin Hanbal), dan sanad selanjutnya sama persis dengan sanad Hadis di atas”.
Ibnu Hibbân juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbânnya (halaman: 428), dan kata Ibnu Hibbân: “Rawi-rawi Hadis yang ia riwayatkan adalah rawi Shahîh”. Akan tetapi dalam Takhrîj Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibnu Katsîr, dinyatakan bahwa: “Riwayat Ibnu Hibbân adalah Mursal”.
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya; Serta menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya.



PENJELASAN:
Atsar[7] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[8] yang dihukumi Marfu’[9]. Karena para Muhadditsîn[10] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).




BIBLIOGRAFI

Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbân (Ibnu Hibbân/Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân bin
Ahmad at-Tamîmî al-Bustî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).












[1] Jibt dan Thâghût ialah: Setan dan apa saja yang disembah selain Allah SWT. Dan juga ada yang menafsirkan Jibt dan Thâghût dengan: Khurafat dan berhala.
[2] “Mereka” dalam ayat ini maksudnya ialah: Orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, kemudian mereka mengatakan kepada orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman”.
[3] “Baginya” dalam ayat ini maksudnya ialah: Bagi orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, serta bagi orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb yang mengatakan kepada orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman”.
[4] Pemuka mereka maksudnya yaitu: Pemuka atau pemimpin bagi penduduk/masyarakat Madinah.
[5] Maksudnya terputus di sini ialah: Terputus dari rahmat Allah. Dan ada juga yang menafsirkan “terputus” dengan: Terputus dari sejarah.
[6] Sanad adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan hadis.
[7] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[9] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar