Asbâbun
Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 51-52
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا
مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi
sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb)
percaya kepada Jibt dan Thâghût[1], dan
mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) berkata kepada
orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka (orang-orang yang diberi
sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang
beriman.
52.
Mereka[2]
itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk (dilaknat)
Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong baginya[3].
Ibnu Jarîr
meriwayatkan dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (4/318):
“Muhammad
bin al-Mutsannâ telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr), katanya (Muhammad bin
al-Mutsannâ): “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada kami (Muhammad bin
al-Mutsannâ) dari Dâwûd dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh
bin ‘Abbâs): “Ketika Ka’b bin al-Asyraf datang ke Mekah, orang-orang Quraisy
berkata kepadanya (kepada Ka’b bin al-Asyraf): “Engkau (Ka’b bin al-Asyraf)
orang Madinah paling baik dan pemuka mereka[4]”.
Dia (Ka’b bin al-Asyraf) berkata: “Iya”. Kata mereka (orang-orang Quraisy): “Tidakkah
kamu lihat satu orang hina dan tercela ini (shunbur) memisah dari kaumnya, dia (Nabi
SAW.) menyangka bahwa dia (Nabi SAW.) lebih baik dari kami (orang-orang Quraisy),
padahal kami (orang-orang Quraisy) penolong jama’âh haji, penjaga Ka’bah dan
pemberi minum jama’ah haji”. Katanya (Ka’b bin al-Asyraf): “Kalian (orang-orang
Quraisy) lebih baik dari dia (Nabi SAW.)”. Dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata:
“Lalu turunlah (Surat al-Kautsar, Ayat: 3):
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah
yang terputus[5]”.
“Dan
turunlah (Surat an-Nisâ’, Ayat: 51-52):
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا
مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi
sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb)
percaya kepada Jibt dan Thâghût, dan mereka (orang-orang yang diberi sebagian
dari al-Kitâb) berkata kepada orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka
(orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya
daripada orang-orang yang beriman.
52.
Mereka itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk
(dilaknat) Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong
baginya”.
KETERANGAN:
Al-Hâfizh
Ibnu Katsîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr
al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/513) dengan redaksi sanad[6]
sebagai berikut: “Kata beliau (Ibnu Katsîr): “Imâm Ahmad bin Hanbal
mengatakan: “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada saya (Imâm Ahmad bin
Hanbal), dan sanad selanjutnya sama persis dengan sanad Hadis di atas”.
Ibnu
Hibbân juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Mawârid Zham-an
Zawâid Ibn Hibbânnya (halaman: 428), dan kata Ibnu Hibbân: “Rawi-rawi
Hadis yang ia riwayatkan adalah rawi Shahîh”. Akan tetapi dalam Takhrîj
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibnu Katsîr, dinyatakan bahwa: “Riwayat
Ibnu Hibbân adalah Mursal”.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada
Imâm Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbalnya; Serta menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr
Ibn Abî Hâtimnya.
PENJELASAN:
Atsar[7]
‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[8] yang
dihukumi Marfu’[9].
Karena para Muhadditsîn[10]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu
Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî).
Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbân
(Ibnu Hibbân/Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân bin
Ahmad at-Tamîmî al-Bustî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad
bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm
(Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn
Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[1] Jibt dan Thâghût
ialah: Setan dan apa saja yang disembah selain Allah SWT. Dan juga ada yang
menafsirkan Jibt dan Thâghût dengan: Khurafat dan berhala.
[2] “Mereka” dalam ayat ini
maksudnya ialah: Orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, kemudian
mereka mengatakan kepada orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar
jalannya daripada orang-orang yang beriman”.
[3] “Baginya” dalam ayat ini
maksudnya ialah: Bagi orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, serta bagi
orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb yang mengatakan kepada
orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang
yang beriman”.
[4] Pemuka mereka maksudnya yaitu:
Pemuka atau pemimpin bagi penduduk/masyarakat Madinah.
[5] Maksudnya terputus di sini ialah:
Terputus dari rahmat Allah. Dan ada juga yang menafsirkan “terputus” dengan:
Terputus dari sejarah.
[6] Sanad adalah: Mata rantai
para perawi hadis yang menghubungkan ke matan hadis.
[7] Atsar adalah: sesuatu
yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Mawqûf yaitu:
sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan
persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[9] Marfu’ maksudnya:
terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang
yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm
Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î,
Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar