Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
43.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu
masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar
lewat saja[1],
hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau
datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli) perempuan
(isteri-isterimu)[2], kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah
mukamu dan kedua tanganmu (dengan tanah suci itu)[3].
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya;
Serta menisbahkan kepada al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya;
Serta menisbahkan kepada Abû Dâwûd dalam Sunan Abî Dâwûdnya; Serta
menisbahkan kepada an-Nasâ-î dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya:
“Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzî, al-Hâkim, Abû Dâwûd dan an-Nasâ-î yang bersumber dari ‘Alî
bin Abî Thâlib. ‘Alî bin Abî Thâlib berkata: “’Abdurrahmân bin ‘Auf membuat
makanan untuk kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya). Lalu diundanglah
kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya), sajian yang dihidangkan (oleh
’Abdurrahmân bin ‘Auf) antara lain Khamr (minum-minuman keras yang memabukkan),
(setelah ‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya meminum khamr) maka
terganggulah pikiran kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya). Ketika
waktu Shalat tiba, orang-orang memilih saya (‘Alî bin Abî Thâlib) untuk menjadi
Imâm (Shalat), lalu saya (‘Alî bin Abî Thâlib) membaca keliru (pada bacaan Surat
al-Kâfirûn, Ayat: 3):
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١)
لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢)
وَ نَحْنُ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ (٣)
1.
Katakanlah: "Wahai orang-orang Kâfir,
2. Aku tidak
akan menyembah apa yang kamu (orang-orang Kâfir) sembah.
3.
Dan kami menyembah apa yang kamu (orang-orang Kâfir) sembah”.
“Maka Allah SWT.
menurunkan Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ............................................................
(٤٣)
43.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…..………………………...”.
KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5,
4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas shahîh[4],
karena saling menguatkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain”.
PENJELASAN:
Atsar[5] ‘Alî bin Abî
Thâlib di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6]
yang dihukumi Marfu’[7].
Karena para Muhadditsîn[8]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Alî bin Abî
Thâlib di atas tergolong hadis Mawqûf
yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Alî bin Abî
Thâlib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Ada riwayat
tambahan yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), yaitu: riwayat al-Faryabî
dalam Fawâidnya; riwayat Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya;
Dan riwayat Ibnu al-Mundzîr dalam Tafsîr Ibn al-Mundzîrnya:
“Dikemukakan
oleh al-Faryabî, Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu al-Mundzîr yang bersumber dari ‘Alî
bin Abî Thâlib. ‘Alî bin Abî
Thâlib berkata: “Ayat (Ayat: 43,
Surat an-Nisâ’):
.................................وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ........................ (٤٣)
43.
.......................................(jangan pula kamu masuk mesjid untuk
shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga
kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau
datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli)
perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua
tanganmu (dengan tanah suci itu)........................................................”.
“(‘Alî bin Abî
Thâlib melanjutkan): “Diturunkan mengenai orang junub di tengah
perjalanan, lalu ia (orang junub di tengah perjalanan) bertayamum lantas
shalat”. “Turunnya Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’) sebagai petunjuk bagaimana cara mengerjakan
Shalat ketika di tengah perjalanan dan tidak mendapatkan air”.
KETERANGAN:
Kata Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5,
4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[9]”.
PENJELASAN:
Atsar[10] ‘Alî bin Abî
Thâlib di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11]
yang dihukumi Marfu’[12].
Karena para Muhadditsîn[13]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Alî bin Abî
Thâlib di atas tergolong hadis Mawqûf
yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Alî bin Abî
Thâlib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr
Ibn Mardawaihnya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Mardawaih yang bersumber dari al-Asla’ bin Syarik[14].
Al-Asla’ bin Syarik berkata: “Pernah saya (al-Asla’ bin Syarik) berkendaraan
menggunakan Unta Rasûlullâh SAW. Pada malam harinya suasana sangat dingin,
sedangkan saya (al-Asla’ bin Syarik) junub dan tidak berani mandi dengan air
dingin, karena takut kalau sampai mati atau sakit. Lalu peristiwa itu saya (al-Asla’
bin Syarik) terangkan kepada Rasûlullâh SAW. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat
(Ayat: 43, Surat an-Nisâ’):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
43.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu
masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar
lewat saja, hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir
(bepergian) atau datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah
menyentuh (menggauli) perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan
kedua tanganmu (dengan tanah suci itu). Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun”.
KETERANGAN:
Kata Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5,
4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[15]”.
PENJELASAN:
Atsar[16] al-Asla’ bin
Syarik di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[17]
yang dihukumi Marfu’[18].
Karena para Muhadditsîn[19]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
al-Asla’ bin
Syarik di atas tergolong hadis Mawqûf
yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis al-Asla’
bin Syarik di atas) dapat
dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’
(Islam).
Ada riwayat
tambahan yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), yaitu: riwayat ath-Thabrânî
dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya:
“Dikemukakan
oleh ath-Thabrânî yang bersumber dari al-Asla’ bin Syarik. Al-Asla’ bin Syarik berkata:
“Saya (al-Asla’ bin Syarik) adalah pembantu (khadam) Rasûlullâh SAW. yang
selalu menyiapkan segala keperluan perjalanan (safar) beliau SAW. Pada suatu
hari Nabi SAW. bersabda kepadaku (kepada al-Asla’ bin Syarik): “Wahai al-Asla’
bin Syarik, siapkanlah segala keperluan, saya (Nabi SAW.) akan mengadakan
perjalan (musâfir)”. Saya (al-Asla’ bin Syarik) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW;
saya (al-Asla’ bin Syarik) sedang junub”. Rasûlullâh SAW. pun terdiam, dan
datanglah Malaikat Jibrîl dengan membawa wahyu (menyampaikan Ayat Tayamum dalam
Surat an-Nisâ’, Ayat: 43):
.................................وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ........................ (٤٣)
43.
.......................................(jangan pula kamu masuk mesjid untuk
shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga
kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau
datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli)
perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua
tanganmu (dengan tanah suci
itu).........................................................”.
“Maka
Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai al-Asla’ bin Syarik, berdirilah dan
tayamumlah!”. Lalu beliau SAW. mencontohkan cara bertayamum kepada saya (kepada
al-Asla’ bin Syarik), (adapun tata cara Tayamum yaitu): mengusap muka (dengan
debu yang suci) sekali, serta mengusap kedua tangan sampai siku (dengan debu
yang suci) sekali. Lalu saya (al-Asla’ bin Syarik) berdiri dan bertayamum,
serta menyiapkan segala yang diperlukan untuk perjalanan (safar Nabi SAW)”.
KETERANGAN:
Kata Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5,
4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[20]”.
KESIMPULAN:
Keempat
Hadis di atas saling menguatkan, antara Hadis pertama dengan Hadis-hadis yang
lain, sehingga dapat menjadi hujjah (landasan/pedoman) dalam hukum Syara’
(Islam).
BIBLIOGRAFI
Al-Fawâid
(al-Faryabî/Muhammad bin Yûsuf al-Faryabî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî
(at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abî ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mu’jam
al-Kabîr (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabrânî).
Al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abû ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Lubâb an-Nuqûl
fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Sunan Abî Dâwûd (Abû Dâwûd/al-Imâm al-Hâfizh
al-Mushannif al-Mutqan Abî Dâwûd
Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats
as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan an-Nasâ-î
al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû
‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî
bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn al-Mundzîr
(Ibnu al-Mundzîr).
Tafsîr Ibn Mardawaih
(Ibnu Mardawaih).
[1] Sekedar lewat
saja, maksudnya: Apabila seseorang sedang junub dan ia hendak mandi, sedangkan
apabila hendak ke kamar mandi harus melalui masjid terlebih dahulu, maka ia
boleh melalui (lewat) Masjid, hanya sekedar lewat saja, bukan untuk mendirikan
shalat dan sebagainya.
[2] Kamu telah
menyentuh perempuan, maksudnya: Seorang suami yang telah melakukan hubungan
suami-isteri (jima’).
[3] Usaplah mukamu
dan kedua tanganmu merupakan penjelasan tata cara bertayamum yaitu, pertama:
mengambil debu yang suci, kemudian tipiskanlah debu itu (misalnya dengan cara
meniup, dan sebagainya), setelah itu usaplah mukamu dengan debu suci yang telah
kamu tipiskan. Kedua: mengambil debu yang suci, kemudian tipiskanlah
debu itu (misalnya dengan cara meniup, dan sebagainya), setelah itu usaplah
kedua tanganmu hingga siku-siku dengan debu suci yang telah kamu tipiskan.
[4] Hadis Shahîh
adalah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
dan diriwayatkan oleh orang yang ke-dhâbith-annya sempurna; selamat
dari keganjilan (syadzdz) dan kecacatan (‘illat).
[5] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[6] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[7] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[8] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[9] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[10] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[11] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[12] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[13] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[14] Al-Asla’ bin
Syarik adalah: Seorang Sahabat yang menjadi pembantu (khadam) Rasûlullâh
SAW.
[15] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[16] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[17] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[18] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[19] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[20] Hadis Hasan
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam
beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah),
ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar