Senin, 07 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 43

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 43

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
43. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja[1], hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli) perempuan (isteri-isterimu)[2], kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua tanganmu (dengan tanah suci itu)[3]. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.





Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya; Serta menisbahkan kepada al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaynnya; Serta menisbahkan kepada Abû Dâwûd dalam Sunan Abî Dâwûdnya; Serta menisbahkan kepada an-Nasâ-î dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya:
“Diriwayatkan oleh at-Tirmidzî, al-Hâkim, Abû Dâwûd dan an-Nasâ-î yang bersumber dari ‘Alî bin Abî Thâlib. ‘Alî bin Abî Thâlib berkata: “’Abdurrahmân bin ‘Auf membuat makanan untuk kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya). Lalu diundanglah kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya), sajian yang dihidangkan (oleh ’Abdurrahmân bin ‘Auf) antara lain Khamr (minum-minuman keras yang memabukkan), (setelah ‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya meminum khamr) maka terganggulah pikiran kami (‘Alî bin Abî Thâlib dan teman-temannya). Ketika waktu Shalat tiba, orang-orang memilih saya (‘Alî bin Abî Thâlib) untuk menjadi Imâm (Shalat), lalu saya (‘Alî bin Abî Thâlib) membaca keliru (pada bacaan Surat al-Kâfirûn, Ayat: 3):
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١)
لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢)
وَ نَحْنُ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ (٣)
1. Katakanlah: "Wahai orang-orang Kâfir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu (orang-orang Kâfir) sembah.
3. Dan kami menyembah apa yang kamu (orang-orang Kâfir) sembah”.

“Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ............................................................ (٤٣)
43. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…..………………………....


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas shahîh[4], karena saling menguatkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain”.


PENJELASAN:
Atsar[5] ‘Alî bin Abî Thâlib di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6] yang dihukumi Marfu’[7]. Karena para Muhadditsîn[8] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Alî bin Abî Thâlib di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Alî bin Abî Thâlib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Ada riwayat tambahan yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), yaitu: riwayat al-Faryabî dalam Fawâidnya; riwayat Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya; Dan riwayat Ibnu al-Mundzîr dalam Tafsîr Ibn al-Mundzîrnya:
“Dikemukakan oleh al-Faryabî, Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu al-Mundzîr yang bersumber dari ‘Alî bin Abî Thâlib. Alî bin Abî Thâlib berkata: “Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’):
.................................وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ........................ (٤٣)
43. .......................................(jangan pula kamu masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli) perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua tanganmu (dengan tanah suci itu)........................................................”.

“(‘Alî bin Abî Thâlib melanjutkan): “Diturunkan mengenai orang junub di tengah perjalanan, lalu ia (orang junub di tengah perjalanan) bertayamum lantas shalat”. “Turunnya Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’) sebagai petunjuk bagaimana cara mengerjakan Shalat ketika di tengah perjalanan dan tidak mendapatkan air”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[9].


PENJELASAN:
Atsar[10] ‘Alî bin Abî Thâlib di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11] yang dihukumi Marfu’[12]. Karena para Muhadditsîn[13] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Alî bin Abî Thâlib di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Alî bin Abî Thâlib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr Ibn Mardawaihnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih yang bersumber dari al-Asla’ bin Syarik[14]. Al-Asla’ bin Syarik berkata: “Pernah saya (al-Asla’ bin Syarik) berkendaraan menggunakan Unta Rasûlullâh SAW. Pada malam harinya suasana sangat dingin, sedangkan saya (al-Asla’ bin Syarik) junub dan tidak berani mandi dengan air dingin, karena takut kalau sampai mati atau sakit. Lalu peristiwa itu saya (al-Asla’ bin Syarik) terangkan kepada Rasûlullâh SAW. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat (Ayat: 43, Surat an-Nisâ’):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
43. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli) perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua tanganmu (dengan tanah suci itu). Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[15].


PENJELASAN:
Atsar[16] al-Asla’ bin Syarik di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[17] yang dihukumi Marfu’[18]. Karena para Muhadditsîn[19] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar al-Asla’ bin Syarik di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis al-Asla’ bin Syarik di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Ada riwayat tambahan yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), yaitu: riwayat ath-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya:
“Dikemukakan oleh ath-Thabrânî yang bersumber dari al-Asla’ bin Syarik. Al-Asla’ bin Syarik berkata: “Saya (al-Asla’ bin Syarik) adalah pembantu (khadam) Rasûlullâh SAW. yang selalu menyiapkan segala keperluan perjalanan (safar) beliau SAW. Pada suatu hari Nabi SAW. bersabda kepadaku (kepada al-Asla’ bin Syarik): “Wahai al-Asla’ bin Syarik, siapkanlah segala keperluan, saya (Nabi SAW.) akan mengadakan perjalan (musâfir)”. Saya (al-Asla’ bin Syarik) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; saya (al-Asla’ bin Syarik) sedang junub”. Rasûlullâh SAW. pun terdiam, dan datanglah Malaikat Jibrîl dengan membawa wahyu (menyampaikan Ayat Tayamum dalam Surat an-Nisâ’, Ayat: 43):
.................................وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَو ٰلمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ........................ (٤٣)
43. .......................................(jangan pula kamu masuk mesjid untuk shalat) sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi (junub). Dan jika kamu sakit atau sedang musafir (bepergian) atau datang dari tempat buang air (toilet) atau kamu telah menyentuh (menggauli) perempuan (isteri-isterimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan kedua tanganmu (dengan tanah suci itu).........................................................”.

“Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai al-Asla’ bin Syarik, berdirilah dan tayamumlah!”. Lalu beliau SAW. mencontohkan cara bertayamum kepada saya (kepada al-Asla’ bin Syarik), (adapun tata cara Tayamum yaitu): mengusap muka (dengan debu yang suci) sekali, serta mengusap kedua tangan sampai siku (dengan debu yang suci) sekali. Lalu saya (al-Asla’ bin Syarik) berdiri dan bertayamum, serta menyiapkan segala yang diperlukan untuk perjalanan (safar Nabi SAW)”.


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[20].


KESIMPULAN:
Keempat Hadis di atas saling menguatkan, antara Hadis pertama dengan Hadis-hadis yang lain, sehingga dapat menjadi hujjah (landasan/pedoman) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Al-Fawâid (al-Faryabî/Muhammad bin Yûsuf al-Faryabî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abî ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabrânî).
Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn (al-Hâkim/Abû ‘Abdullâh al-Hâkim an-Naisâbûrî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Sunan Abî Dâwûd (Abû Dâwûd/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî Dâwûd
Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn al-Mundzîr (Ibnu al-Mundzîr).
Tafsîr Ibn Mardawaih (Ibnu Mardawaih).















[1] Sekedar lewat saja, maksudnya: Apabila seseorang sedang junub dan ia hendak mandi, sedangkan apabila hendak ke kamar mandi harus melalui masjid terlebih dahulu, maka ia boleh melalui (lewat) Masjid, hanya sekedar lewat saja, bukan untuk mendirikan shalat dan sebagainya.
[2] Kamu telah menyentuh perempuan, maksudnya: Seorang suami yang telah melakukan hubungan suami-isteri (jima’).
[3] Usaplah mukamu dan kedua tanganmu merupakan penjelasan tata cara bertayamum yaitu, pertama: mengambil debu yang suci, kemudian tipiskanlah debu itu (misalnya dengan cara meniup, dan sebagainya), setelah itu usaplah mukamu dengan debu suci yang telah kamu tipiskan. Kedua: mengambil debu yang suci, kemudian tipiskanlah debu itu (misalnya dengan cara meniup, dan sebagainya), setelah itu usaplah kedua tanganmu hingga siku-siku dengan debu suci yang telah kamu tipiskan.
[4] Hadis Shahîh adalah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), dan diriwayatkan oleh orang yang ke-dhâbith-annya sempurna; selamat dari keganjilan (syadzdz) dan kecacatan (‘illat).
[5] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[6] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[7] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[8] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[9] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[10] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[11] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[12] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[13] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[14] Al-Asla’ bin Syarik adalah: Seorang Sahabat yang menjadi pembantu (khadam) Rasûlullâh SAW. 
[15] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[16] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[17] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[18] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[19] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[20] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar