Kamis, 03 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 34


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 34

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
34. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum laki-laki) atas sebagian yang lain (kaum perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang saleh ialah (isteri-isteri) yang taat kepada Allah serta memelihara dirinya[1] ketika suaminya tidak ada, sebagaimana Allah telah memeliharanya[2]. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuznya[3], maka nasehatilah mereka (isteri-isterimu), dan pisahkanlah tempat tidurmu (para suami) dari tempat tidur isteri-isterimu, dan pukullah mereka (isteri-isterimu dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti)[4]. Jika mereka (isteri-isterimu) mentaatimu (mentaati para suami), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menganiayanya (menyakiti para isterimu). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.





Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Hasan al-Bashrî, Hasan al-Bashrî berkata: “Seorang wanita datang menghadap Nabi SAW. mengadukan peristiwanya, yaitu dia (wanita yang datang menghadap dan mengadukan peristiwanya kepada Nabi SAW.) ditampar suaminya. Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Qishâsh (balaslah)”. Lalu Allah SWT. menurunkan Ayat (Ayat: 34, Surat an-Nisâ’):
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
34. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum laki-laki) atas sebagian yang lain (kaum perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang saleh ialah (isteri-isteri) yang taat kepada Allah serta memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, sebagaimana Allah telah memeliharanya. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuznya, maka nasehatilah mereka (isteri-isterimu), dan pisahkanlah tempat tidurmu (para suami) dari tempat tidur isteri-isterimu, dan pukullah mereka (isteri-isterimu dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti). Jika mereka (isteri-isterimu) mentaatimu (mentaati para suami), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menganiayanya (menyakiti para isterimu). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

“Setelah itu ia (seorang wanita yang datang kepada Nabi SAW. dan mengadukan peristiwanya karena telah ditampar oleh suaminya) kembali ke rumahnya tanpa melakukan qishâsh (pembalasan kepada suaminya)”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
Hadis di atas adalah Mursal Tâbi’î, karena:
1.    Hasan al-Bashrî adalah seorang Tâbi’în pertengahan.
2.    Hadis di atas terputus sanadnya, karena tidak ada penghubung dari generasi Sahabat yang menghubungkan jalur sanad Hadis di atas hingga kepada Nabi SAW.







Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr dari beberapa jalur sanad yang bersumber dari Hasan al-Bashrî, antara lain ialah: “Bahwa seorang lelaki dari kaum Anshâr menampar isterinya. Lalu isterinya (isterinya lelaki Anshâr yang ditampar) tadi datang menghadap Rasûlullâh SAW. untuk mengadukan peristiwanya itu (peristiwa tamparan suaminya kepadanya), dan dia (isterinya lelaki Anshâr yang ditampar) menuntut qishâs (pembalasan). Lalu Nabi SAW. mengizinkan tuntutan (yang diajukan oleh isterinya lelaki Anshâr yang ditampar) tersebut. Maka turunlah Ayat (Ayat: 114, Surat Thâhâ):
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (١١٤)
114. Maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenarnya, dan janganlah engkau (wahai Muhammad) tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum selesai diwahyukan kepadamu[5], dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.

“Dan turun pula Ayat (Ayat: 34, Surat an-Nisâ’):
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
34. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum laki-laki) atas sebagian yang lain (kaum perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang saleh ialah (isteri-isteri) yang taat kepada Allah serta memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, sebagaimana Allah telah memeliharanya. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuznya, maka nasehatilah mereka (isteri-isterimu), dan pisahkanlah tempat tidurmu (para suami) dari tempat tidur isteri-isterimu, dan pukullah mereka (isteri-isterimu dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti). Jika mereka (isteri-isterimu) mentaatimu (mentaati para suami), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menganiayanya (menyakiti para isterimu). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

KETERANGAN:
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya yang dinukil oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), yang bersumber dari Ibnu Juraij dan as-Suddî.


PENJELASAN:
Hadis di atas adalah Mursal Tâbi’î, karena:
1.    Hasan al-Bashrî adalah seorang Tâbi’în pertengahan.
2.    Hadis di atas terputus sanadnya, karena tidak ada penghubung dari generasi Sahabat yang menghubungkan jalur sanad Hadis di atas hingga kepada Nabi SAW.
3.    Akan tetapi Hadis di atas memiliki beberapa jalur lain (yaitu melalui jalur Ibnu Juraij dan as-Suddî) yang menguatkan Hadis di atas, sehingga Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan).









Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr Ibn Mardawaihnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih yang bersumber dari ‘Alî bin Abî Thâlib, ‘Alî bin Abî Thâlib berkata: “Ada seorang lelaki dari kaum Anshâr datang menghadap Nabi SAW. dengan membawa isterinya. Maka berkatalah isteri tadi: “Wahai Rasûlullâh SAW, dia (suamiku) memukul saya hingga membekas di mukaku”. Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Semestinya dia (suamimu) tidak boleh demikian (maksudnya: suamimu tidak boleh menamparmu hingga membekas di mukamu)”. Lalu Allah SWT. menurunkan Ayat (Ayat: 34, Surat an-Nisâ’):
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
34. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum laki-laki) atas sebagian yang lain (kaum perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang saleh ialah (isteri-isteri) yang taat kepada Allah serta memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, sebagaimana Allah telah memeliharanya. Wanita-wanita (isteri-isteri) yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuznya, maka nasehatilah mereka (isteri-isterimu), dan pisahkanlah tempat tidurmu (para suami) dari tempat tidur isteri-isterimu, dan pukullah mereka (isteri-isterimu dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti). Jika mereka (isteri-isterimu) mentaatimu (mentaati para suami), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menganiayanya (menyakiti para isterimu). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.

PENJELASAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Keempat Hadis yang ia keluarkan di atas saling menguatkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain”.


KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1.    Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya). Dengan alasan orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) pula”.
2.    Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî, Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3.    Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a)   Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)   Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c)    Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)   Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat syarat berikut:
·      Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
·      Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama.
·      Sesuai dengan perkataan Sahabat.
·      Atau sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu”.[6]



KESIMPULAN:
Keempat hadis yang dikeluarkan oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî qabûl (dapat diterima) dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan), karena:
Telah memenuhi semua persyaratan Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, sebagian ahli ilmu dan ulama-ulama lain; adapun keterangannya sebagai berikut:
a)   Hasan al-Bashrî adalah seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)   Hasan al-Bashrî adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c)    Hasan al-Bashrî tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)   Syarat-syarat di atas ditambah empat syarat berikut:
·      Ada sebuah riwayat melalui jalur sanad lain, yaitu riwayat (hasan/baik) Ibnu Mardawaih melalui jalur sanad ‘Alî bin Abî Thâlib.
·      Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama, yaitu riwayat (mursal) Ibnu Jarîr melalui jalur sanad Ibnu Juraij dan as-Suddî.
·      Keempat hadis di atas sesuai dengan perkataan Sahabat, yaitu Sahabat ‘Alî bin Abî Thâlib.
·      Keempat hadis di atas sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu, yaitu sesuai dengan persyaratan Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, sebagian ahli ilmu dan ulama-ulama lain.








BIBLIOGRAFI

Ar-Risâlah (Imâm asy-Syâfi’î).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn Mardawaih (Ibnu Mardawaih).
                                                           






[1] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara keluarganya, rahasia dan harta suaminya.
[2] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk menggauli isterinya dengan baik.
[3] Nusyuz yaitu: meninggalkan kewajiban bersuami-isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti: meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, dan sebagainya.
[4] Maksudnya: untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada isterimu yang dikhawatirkan membangkang, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah: menasehati isterimu, bila nasehat tidak berhasil, lakukanlah langkah kedua yaitu: pisahkan tempat tidurmu (suami) dari tempat tidur isterimu, apabila langkah kedua juga tidak berhasil, maka lakukanlah langkah ketiga yaitu: pukullah isterimu dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakitinya. Kesimpulan: apabila langkah pertama berhasil, maka janganlah kamu praktekkan (kerjakan) langkah kedua dan seterusnya.
[5] Maksudnya: Nabi Muhammad SAW. dilarang oleh Allah menirukan bacaan (Malaikat) Jibril, kalimat demi kalimat, sebelum (Malaikat) Jibril selesai membacakan semua ayat yang diturunkan dengan sempurna, agar Nabi Muhammad SAW. dapat menghafal dan memahami dengan tepat ayat yang diturunkan tersebut.
[6] Imâm asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar