Sabtu, 05 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 37


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 37

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (٣٧)
37. (Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah (menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang Kâfir[1] siksa yang menghinakan.





Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr dari jalur sanad Muhammad bin Ishâq, dari Muhammad bin Abî Muhammad dari ‘Ikrimah atau Sa’îd bin Jubair yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Kurdum bin Zaid Halîf (kawan bersumpah setia) Ka’b bin al-Asyraf, Usamah bin Habîb, Nâfi’ bin Abî Nâfi’, Bahr bin ‘Amr, Hayy bin Akhthâb dan Rif’ah bin Zaid bin at-Tâbut mendatangi orang-orang Anshâr dan memberi nasehat kepada mereka dan berkata: “Janganlah kalian (orang-orang Anshâr) menginfaqkan harta bendamu, karena sesungguhnya kami (Kurdum bin Zaid Halîf kawan bersumpah setia Ka’b bin al-Asyraf, Usamah bin Habîb, Nâfi’ bin Abî Nâfi’, Bahr bin ‘Amr, Hayy bin Akhthâb dan Rif’ah bin Zaid bin at-Tâbut) khawatir terhadap kalian akan kefaqîran (kemiskinan) dengan hilangnya harta bendamu itu. Dan janganlah kalian (orang-orang Anshâr) tergesa-gesa dalam berinfaq, karena sesungguhnya kalian (orang-orang Anshâr) tidak tahu apa yang akan terjadi”. “Maka Allah SWT. menurunkan Ayat:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (٣٧)
37. (Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah (menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang Kâfir siksa yang menghinakan”.

“Yang menerangkan larangan untuk berbuat kikir (pelit), dan larangan menyuruh (mengajak) orang lain untuk berbuat kikir (pelit)”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
Atsar[2] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[3] yang dihukumi Marfu’[4]. Karena para Muhadditsîn[5] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan).








Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Sa’îd bin Jubair. Sa’îd bin Jubair berkata: “Dahulu ‘Ulamâ Banî Isrâîl kikir (pelit) dengan ilmu yang mereka miliki. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (٣٧)
37. (Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah (menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang Kâfir siksa yang menghinakan”.

“Sebagai peringatan sikap (orang Banî Isrâîl yang kikir/pelit untuk mengamalkan ilmunya)”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
‘Atsar[6] Sa’îd bin Jubair di atas adalah Hadis Maqthu’[7], akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal[8]. Karena para Muhadditsîn[9] telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[10] terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Sa’îd bin Jubair tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î[11] shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan Sa’îd bin Jubair merupakan seorang Tâbi’în[12] senior, tsiqqah[13] dan ia (Sa’îd bin Jubair) tidak menyalahi para Huffâzh[14] yang amanah; Serta atsar (Sa’îd bin Jubair) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar Sa’îd bin Jubair di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Ar-Risâlah (Imâm asy-Syâfi’î).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).










[1] Maksudnya: kafir terhadap nikmat Allah, baik karena kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah.
[2] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[6] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Maqthu’ adalah: sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[8] Marfu’ Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya, yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[9] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[10] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.
[11] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik Tâbi’în senior maupun yunior.
[12] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.
[13] Tsiqqah adalah: seorang yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-dhâbith-annya.
[14] Huffazh merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar