Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 37
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا (٣٧)
37.
(Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah
(menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan menyembunyikan
karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan
bagi orang-orang Kâfir[1]
siksa yang menghinakan.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’
al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Jarîr dari jalur sanad Muhammad bin Ishâq, dari Muhammad bin Abî
Muhammad dari ‘Ikrimah atau Sa’îd bin Jubair yang bersumber dari ‘Abdullâh bin
‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Kurdum bin Zaid Halîf (kawan bersumpah
setia) Ka’b bin al-Asyraf, Usamah bin Habîb, Nâfi’ bin Abî Nâfi’, Bahr bin
‘Amr, Hayy bin Akhthâb dan Rif’ah bin Zaid bin at-Tâbut mendatangi orang-orang
Anshâr dan memberi nasehat kepada mereka dan berkata: “Janganlah kalian
(orang-orang Anshâr) menginfaqkan harta bendamu, karena sesungguhnya kami (Kurdum
bin Zaid Halîf kawan bersumpah setia Ka’b bin al-Asyraf, Usamah bin Habîb,
Nâfi’ bin Abî Nâfi’, Bahr bin ‘Amr, Hayy bin Akhthâb dan Rif’ah bin Zaid bin
at-Tâbut) khawatir terhadap kalian akan kefaqîran (kemiskinan) dengan hilangnya
harta bendamu itu. Dan janganlah kalian (orang-orang Anshâr) tergesa-gesa dalam
berinfaq, karena sesungguhnya kalian (orang-orang Anshâr) tidak tahu apa yang
akan terjadi”. “Maka Allah SWT. menurunkan Ayat:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا (٣٧)
37.
(Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah
(menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan menyembunyikan
karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan
bagi orang-orang Kâfir siksa yang
menghinakan”.
“Yang
menerangkan larangan untuk berbuat kikir (pelit), dan larangan menyuruh (mengajak)
orang lain untuk berbuat kikir (pelit)”.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
Atsar[2] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya:
hadis Mawqûf[3]
yang dihukumi Marfu’[4].
Karena para Muhadditsîn[5]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar
‘Abdullâh bin ‘Abbâs tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’
oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas)
dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr
Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Sa’îd bin Jubair. Sa’îd bin Jubair berkata:
“Dahulu ‘Ulamâ Banî Isrâîl kikir (pelit) dengan ilmu yang mereka miliki. Maka Allah
SWT. menurunkan Ayat:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا (٣٧)
37.
(Orang-orang yang sombong) ialah orang-orang yang kikir (pelit), dan memerintah
(menyuruh/mengajak) manusia (orang lain) berbuat kikir (pelit), dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka. Dan Kami telah
menyediakan bagi orang-orang Kâfir siksa yang
menghinakan”.
“Sebagai
peringatan sikap (orang Banî Isrâîl yang kikir/pelit untuk mengamalkan ilmunya)”.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
‘Atsar[6] Sa’îd bin
Jubair di atas adalah Hadis Maqthu’[7],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[8].
Karena para Muhadditsîn[9]
telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[10]
terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut
semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan
Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai
perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Sa’îd bin Jubair
tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut
pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum
Hadis Mursal Tâbi’î[11] shahîh
dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”.
Sedangkan Sa’îd bin Jubair merupakan seorang Tâbi’în[12]
senior, tsiqqah[13]
dan ia (Sa’îd bin Jubair) tidak menyalahi para Huffâzh[14]
yang amanah; Serta atsar (Sa’îd bin Jubair) sesuai dengan persyaratan: Imâm
Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli
ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar Sa’îd bin Jubair di atas dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Ar-Risâlah (Imâm asy-Syâfi’î).
Jâmi’ al-Bayâni fî
at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far
ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin
Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[1] Maksudnya:
kafir terhadap nikmat Allah, baik karena kikir, menyuruh orang lain berbuat
kikir dan menyembunyikan karunia Allah.
[2] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf
yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’
maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[6] Atsar
adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik
berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Maqthu’
adalah: sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau
para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[8] Marfu’
Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya,
yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[9] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[10] Tâbi’în
adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah,
al-A’masy, dan sebagainya.
[11] Hadis Mursal
Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik
Tâbi’în senior maupun yunior.
[12] Tâbi’în
adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin
al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah,
al-A’masy, dan sebagainya.
[13] Tsiqqah
adalah: seorang yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-dhâbith-annya.
[14] Huffazh
merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah gelar ahli hadis
yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan
dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta
seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis.
Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn
ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, Jalâluddîn
as-Suyûthî, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar