Asbâbun
Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
(٥٨)
58. Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu
melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran (pelajaran) yang
sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr
Ibn Mardawaihnya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Mardawaih dari jalur sanad al-Kilabi dari Abi Shâlih yang bersumber
dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Ketika Rasûlullâh
SAW. menaklukkan Makkah, beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah. Ketika (‘Usmân
bin Thalhah) sudah datang menghadap beliau SAW; Rasûlullâh SAW. bersabda: “Mana
kuncinya?”. Ketika kunci diserahkan oleh (‘Usmân bin Thalhah) kepada beliau
SAW; berdirilah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs seraya berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW;
demi ayahku dan ibuku, berikan kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan
tersebut dengan jabatan siqâyah (pengairan)”. Lalu ‘Usmân bin Thalhah menarik
tangannya kembali. Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai ‘Usmân bin Thalhah, berikan
kunci itu kepadaku (Nabi SAW)!”. ‘Usmân bin Thalhah berkata: “Inilah amanat
Allah SWT.”. Maka berdirilah Rasûlullâh SAW. dan membuka Ka’bah, kemudian
keluar untuk melakukan thawwaf[1] di
Baitullâh (Ka’bah). Maka turunlah Malaikat Jibrîl membawa perintah agar kunci
tadi dikembalikan (kepada ‘Usmân bin Thalhah). Lalu beliau SAW. memanggil
‘Usmân bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada ‘Usmân bin Thalhah),
kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’):
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
(٥٨)
58. Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu
melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran (pelajaran) yang
sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”.
KETERANGAN
dan PENJELASAN:
Kata Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.
Atsar[2]
‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[3] yang
dihukumi Marfu’[4].
Karena para Muhadditsîn[5]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam).
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya
(Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Syu’bah bin al-Hajjâj dalam Tafsîr
Syu’bah bin al-Hajjâjnya:
“Dikemukakan
oleh Syu’bah bin al-Hajjâj dari ayahnya (al-Hajjâj) yang bersumber dari
‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij). ‘Abdullâh bin ‘Abd
al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) berkata: “Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’)
diturunkan mengenai ‘Usmân bin Thalhah. Rasûlullâh SAW. meminta kunci Ka’bah
kepadanya (kepada ‘Usmân bin Thalhah), lalu beliau SAW. masuk Baitullâh (Ka’bah)
pada waktu Fath al-Makkah[6].
Lalu beliau SAW. keluar dari Ka’bah sambil membaca Ayat (Ayat: 58, Surat
an-Nisâ’). Lantas beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah untuk menyerahkan
kunci itu (kepada ‘Usmân bin Thalhah). ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Menurut
‘Umar bin al-Khaththâb bahwa Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’) diturunkan kepada
Rasûlullâh SAW. di dalam Ka’bah, karena pada saat Rasûlullâh keluar dari
Ka’bah, beliau SAW. membaca Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’). Dan dia (‘Umar bin
al-Khaththâb) pun bersumpah: “Demi ayah dan ibuku, sebelum itu saya (‘Umar bin
al-Khaththâb) tidak pernah mendengar Rasûlullâh SAW. membacanya (membaca Ayat:
58, Surat an-Nisâ’)”.
“Saya (Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî) berpendapat: “Menurut kenyataannya, bahwa Ayat (Ayat:
58, Surat an-Nisâ’) diturunkan di dalam Ka’bah”.
KETERANGAN
dan PENJELASAN:
‘Atsar[7] ‘Abdullâh
bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) di atas adalah Hadis Maqthu’[8],
akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang
menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’
Mursal[9].
Karena para Muhadditsîn[10]
telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[11]
terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut
semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan
Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai
perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para
Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh
bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) di atas tergolong
Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut
pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum
Hadis Mursal Tâbi’î[12]
shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan
tsiqqah”. Sedangkan ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) merupakan
seorang Tâbi’în[13]
junior, tsiqqah[14]
dan ia (Ibnu Juraij) tidak menyalahi para Huffâzh[15]
yang amanah; Serta atsar (Ibnu Juraij) sesuai dengan persyaratan: Imâm
Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli
ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin
Juraij (Ibnu Juraij) di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan)
dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN:
Kedua Hadis
di atas saling menguatkan antara Hadis pertama dengan Hadis kedua, sehingga
kedua Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum
Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr
Ibn Mardawaih (Ibnu Mardawaih).
Tafsîr
Syu’bah bin al-Hajjâj (Syu’bah/Syu’bah bin
al-Hajjâj).
[1] Thawwaf adalah: Lari-lari
kecil selama tujuh kali mengelilingi Ka’bah serta membaca talbiyah (labaikallâh
humâ labaik, labaika lâ syarika labaik, innalhamda wa ni’matah laka wal mulk lâ
syarikalah).
[2] Atsar adalah: sesuatu
yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf yaitu:
sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan
persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’ maksudnya:
terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn yaitu: Orang
yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm
Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î,
Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[6] Fath al-Makkah maknanya
yaitu: Penaklukkan Mekah oleh kaum Muslim yang dipimpin oleh Nabi SAW.
[7] Atsar adalah: sesuatu
yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Maqthu’ adalah:
sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau para
generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[9] Marfu’ Mursal yaitu:
Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya, yang dinaikkan
derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang
yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm
Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î,
Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[11] Tâbi’în adalah: para
generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab,
‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan
sebagainya.
[12] Hadis Mursal Tâbi’î
adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik Tâbi’în
senior maupun yunior.
[13] Tâbi’în adalah: para
generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab,
‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan
sebagainya.
[14] Tsiqqah adalah: seorang
yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-dhâbith-annya.
[15] Huffazh merupakan jamak
dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan
sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan
para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas
menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm
al-‘Iraqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû
Dâwûd, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.