KENAPA SHALAT MENGHADAP KIBLAT (KA’BAH)?
1. Karena shalat menghadap Kiblat (Ka’bah) adalah KETETAPAN
ALLAH (YANG TIDAK DAPAT DIGANGGU-GUGAT/TIDAK DAPAT DIRUBAH).
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah,
Ayat: 149):
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا
اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ (١٤٩)
149. Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah), SESUNGGUHNYA
HAL ITU (HAL MEMALINGKAN WAJAH KE ARAH KA’BAH) ADALAH KETENTUAN (YANG TIDAK
DAPAT DIGANGGU-GUGAT/TIDAK DAPAT DIRUBAH) DARI TUHANMU (ALLAH). Dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 149}.
Serta sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat
al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ
أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai
Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu
(wahai Muhammad) ke kiblat yang kamu sukai (yaitu Ka’bah). Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah
mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan
Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang
mengetahui bahwa BERPALING KE MASJIDIL HARAM (KA’BAH)
ITU ADALAH (KETENTUAN DAN KETETAPAN YANG) BENAR DARI TUHANNYA (DARI ALLAH).
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.
2. Karena ARAH BARAT DAN TIMUR ADALAH ARAH YANG PALING
DISENANGI OLEH ALLAH, sedangkan Kiblat Kaum Muslimîn yang dahulu kala adalah di sebelah Timur (Baitul Maqdis/Masjîd al-Aqshâ),
kemudian dipalingkan oleh Allah menuju ke arah Barat (Ka’bah).
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah,
Ayat: 115):
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (١١٥)
115. DAN KEPUNYAAN ALLAH-LAH
TIMUR DAN BARAT (MAKSUDNYA: ALLAH SWT. SANGAT MENYENANGI ARAH TIMUR DAN BARAT);
maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (maksudnya: kekuasaan
Allah meliputi seluruh alam, oleh karena itu di manapun manusia berada Allah
SWT. mengetahui perbuatannya, karena manusia selalu berhadapan dengan Allah).
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 115}.
Dan sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat
al-Baqarah, Ayat: 142):
سَيَقُوْلُ السُّفَهآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ
كَانُوْا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (١٤٢)
142. Orang-orang yang kurang akalnya (tidak waras) di antara
manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?".
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): "KEPUNYAAN
ALLAH-LAH TIMUR DAN BARAT (MAKSUDNYA: ALLAH SWT. SANGAT MENYENANGI ARAH TIMUR
DAN BARAT); Dia (Allah) memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya
ke jalan yang lurus". {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 142}.
Serta sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat
al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. SUNGGUH KAMI (ALLAH)
SERING MELIHAT MUKAMU (WAHAI MUHAMMAD) MENENGADAH KE LANGIT, MAKA SUNGGUH KAMI
(ALLAH) AKAN MEMALINGKAN KAMU (WAHAI MUHAMMAD) KE KIBLAT YANG KAMU SUKAI (YAITU
KA’BAH). PALINGKANLAH MUKAMU KE ARAH MASJIDIL HARAM (KA’BAH); DAN DIMANA SAJA
KAMU BERADA MAKA PALINGKANLAH MUKAMU KE ARAHNYA. Sesungguhnya
orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang
diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang
mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan
ketetapan yang) benar dari tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.
3. Untuk MENYELISIHI ORANG-ORANG YAHÛDI YANG BERKIBLAT
KE BAITUL MAQDIS (MASJÎD AL-AQSHÂ).
Sebagaimana riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam
Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (No. Hadis. 1351):
حَدَّثَنَا
أَبِيْ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ صَالِحٍ كَاتِبُ اللَّيْثِ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ مُعَاوِيَةُ
بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاس: كَانَ أَوَّلُ
مَا نَسَخَ اللهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ، وَذَالِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ، وَكَانَ أَكْثَرَ أَهْلِهَا
الْيَهُوْدُ. أَمَرَهُ اللهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ, فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، فَكَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ قِبْلَةَ إِبْرَاهِيْمَ، فَكَانَ
يَدْعُوْ اللهَ وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ. فَأَنْزَلَ اللهُ: (قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ
فِي السَّمَاءِ..........).
“Ayahku (ayahnya Ibnu Abî
Hâtim) telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî Hâtim), dia (ayahnya Ibnu
Abî Hâtim) berkata: “Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi telah bercerita kepada kami
(kepada ayahnya Ibnu Abî Hâtim), dia (Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi) berkata: “Mu’âwiyah
bin Shâleh telah bercerita kepada saya (kepada Abû Shâleh Kâtib al-Laitsi),
dari ‘Alî bin Abî Thalhah, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs: “(Ayat) al-Qurân yang
pertama kali Allah SWT. hapus adalah (Ayat) mengenai Kiblat. Suatu ketika Rasûlullâh
SAW. hijrah ke Madînah, dan pada saat itu MAYORITAS
PENDUDUK MADÎNAH ADALAH (KAUM) YAHÛDI, MAKA ALLAH SWT. MEMERINTAHKAN (SHALAT)
MENGHADAP BAITUL MAQDIS (MASJÎD AL-AQSHÂ), maka Rasûlullâh SAW. (shalat)
menghadapnya (menghadap Masjîd al-Aqshâ) selama kurang lebih sepuluh bulan. Akan
tetapi Rasûlullâh SAW. lebih menyukai (menyenangi) Kiblat (Nabi) Ibrâhîm
(yaitu: Ka’bah). Maka beliau SAW. berdoa kepada Allah (agar arah Kiblat dirubah
ke arah Ka’bah). Maka Allah SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ
أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144.
Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai Muhammad) menengadah ke
langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu (wahai Muhammad) ke
kiblat yang kamu sukai (yaitu Ka’bah). Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram (Ka’bah); dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke
arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahûdi dan
Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang
mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan
ketetapan yang) benar dari Tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan”.[1]
4. KIBLAT (KA’BAH) ADALAH KIBLAT YANG PALING DISENANGI OLEH
NABI SAW.
Sebagaimana Firman Allah SWT. (dalam Surat al-Baqarah, Ayat:
144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ
أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allah) sering melihat mukamu (wahai
Muhammad) menengadah ke Langit, maka sungguh Kami (Allah) akan memalingkan kamu
(wahai Muhammad) ke KIBLAT YANG KAMU SUKAI (YAITU
KA’BAH). Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah); dan dimana
saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang
(Yahûdi dan Nasrani) yang
diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang
mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah (ketentuan dan
ketetapan yang) benar dari tuhannya (dari Allah). Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan. {Surat al-Baqarah (2), Ayat: 144}.
Serta sebagaimana riwayat al-Imâm al-Hâfizh
al-Bukhârî dalam at-Tafsîr al-Kabîrnya (9/237):
حَدَّثَنَا أَبُوْ نُعَيْمٍ,
سَمِعَ زُهَيْرًا, عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ, عَنِ اْلبَرَّاءِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلىَ بَيْتِ اْلمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ
شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا. وَ كَانَ يُحِبُّهُ
أَنْ تَكُوْنَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ اْلبَيْتِ, وَ أَنَّهُ صَلَّى أَوْ
صَلاَهَا صَلاَةَ اْلعَصْرِ وَ صَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ. فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ
كَانَ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَ هُمْ رَاكِعُوْنَ, قَالَ:
أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ قِبَلَ مَكَّةَ, فَدَارُوْا
كَمَا هُمْ قِبَلَ اْلبَيْتِ. وَ كَانَ الََّذِيْ مَاتَ عَلَى اْلقِبْلَةِ قَبْلَ
أَنْ تُحَوَّلَ قِبَلَ اْلبَيْتِ رِجَالٌ قُتِلُوْا, لَمْ نَدْرِ مَا نَقُوْلُ
فِيْهِمْ. فَأَنْزَلَ اللهُ: (وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَّمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ
مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ........).
“Abû Nu’aim telah
bercerita kepada kami
(kepada Bukhârî), dia (Abû Nu’aim) berkata: “Dia (Abû Nu’aim) mendengar Zuhair, dari Abû Ishâq, dari al-Barrâ’: “Bahwa Nabi SAW shalat
menghadap Baitul Maqdis
(menghadap Masjîd al-Aqshâ) selama 16 atau 17
bulan. BELIAU SAW. SANGAT SENANG (SANGAT SUKA) SEANDAINYA
KIBLAT BELIAU SAW. ADALAH
KA’BAH. Suatu
ketika Beliau
SAW. sholat ‘Ashar dan ada
beberapa orang yang ikut berjama’ah dengan
Beliau
SAW. Lalu seseorang yang ikut sholat bersama Beliau SAW. keluar dan melewati
Jama’ah sebuah Masjid yang sedang ruku’. Dia (seseorang yang ikut sholat berjama’ah dengan
Rasûlullâh) berkata: “Saya (seseorang yang ikut sholat berjama’ah dengan Rasûlullâh)
bersaksi demi Allah, sungguh saya sudah shalat bersama Nabi SAW menghadap
Mekkah (menghadap Ka’bah)”. Lalu Jama’ah itu berputar menghadap Baitullah
(menghadap Ka’bah) dalam keadaan ruku’. Adapun yang meninggal dunia di atas
Kiblat yang lama (yaitu: Baitul Maqdis/Masjîd al-Aqshâ) sebelum berpindah
(Kiblat dari Masjîd al-Aqshâ), ada beberapa orang. Mereka terbunuh (dalam suatu
peperangan), dan kami (kaum Muslimîn) tidak tahu apa yang harus kami (kaum
Muslimîn) katakan tentang mereka (tentang beberapa orang yang meninggal terlebih
dahulu sebelum Kiblat pindah ke Ka’bah). Maka Allah SWT. menurunkan (Surat
al-Baqarah, Ayat: 143):
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَّمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ
مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ
هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ
رَّحِيْمٌ (١٤٣)
143. Dan demikian (pula) Kami (Allah) telah menjadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian (umat Islam) menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasûl (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami (Allah) tidak menetapkan Kiblat
(Ka’bah) yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami (Allah)
mengetahui (nyata) siapa yang mengikuti Rasûl dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan Kiblat ke arah Ka’bah) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (wahai umat Islam). Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.[2]
[1] Hadis riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya).
Hadis riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim ini di-râjih-kan (dikuatkan)
dengan riwayat-riwayat melalui jalur sanad lain yaitu: Riwayat al-Hâfizh
Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (No. Hadis: 1123 atau
1/212. Dan No. Hadis: 1329 atau 1/248. Serta No. Hadis: 1355 atau 1/253). Riwayat
al-Hâfizh al-Bayhaqî dalam as-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqînya (2/12
dan 2/13), melalui jalur sanad Abî Shâleh. Riwayat al-Hâfizh Ibnu
al-Jauzî dalam an-Nâsikh wa al-Mansûkh li Ibn al-Jauzînya (halaman: 144),
melalui jalur sanad ‘Athâ’ bin al-Kharrâsânŷ. Riwayat an-Nuhâs dalam an-Nâsikh
wa al-Mansûkh li an-Nuhâsnya (halaman: 71). Riwayat Abû ‘Ubaid dalam an-Nâsikh
wa al-Mansûkh li Abî ‘Ubaidnya (halaman: 16).
[2] Hadis riwayat al-Hâfizh Bukhârî ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya).
Al-Hâfizh Bukhârî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis yang ia riwayatkan
di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (1/103). Al-Hâfizh
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî berkata dalam Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh
al-Bukhârînya (1/104): “Ada juga riwayat lain selain riwayat al-Hâfizh
al-Bukhârî di atas melalui jalur sanad Sufyân ats-Tsaurŷ, dari Muhammad bin
Ishâq, dia (Muhammad bin Ishâq) berkata: “Saya (Muhammad bin Ishâq) mendengar
al-Barrâ’.............”. Sehingga amanlah Hadis riwayat al-Hâfizh al-Bukhârî di
atas dari tadlis Muhammad bin Ishâq”. Al-Hâfizh ath-thayâlisî juga
meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad Abû Dâwud ath-Thayâlisînya
(1/85). Al-Hâfizh Ibnu Sa’d juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas
dalam ath-Thabaqât al-Kubrânya (Jilid. 1, Juz. 2, halaman: 5). Dan Imâm
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân
‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (2/17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar