تَفْسِيْرُ
الْإسْتِعَاذَةِ
۞ أَعُوْذُ بِاللهِ
۞
٭Aku Berlindung kepada Allah٭
أَعُوْذُ berasal dari kata (عَاذَ
- يَعُوْذُ) yang bermakna: “Berlindung
atau mencari perlindungan”.[1]
Kata أَعُوْذُ merupakan ungkapan yang diucapkan
kepada sesuatu yang lebih agung, contoh: (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) yang bermakna: “Aku berlindung kepada Allah dari
Setan yang terkutuk”. Kata أَعُوْذُ dalam kalimat (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) mengandung ungkapan “Permohonan Perlindungan” kepada sang pencipta yaitu: Allah
dari segala godaan (rayuan), bisikan, bahaya (mudharat) para Setan.
Huruf (ب) dalam kalimat (أَعُوْذُ
بِاللهِ) merupakan Huruf Jarr yang berfungsi
men-jarr-kan (mengkasrahkan) “isim zhâhir” dan “isim dhamîr”.
Contoh “isim zhâhir”: (أَعُوْذُ
بِالله) yang artinya: “Aku berlindung
kepada Allah”. Contoh “isim dhamîr”: (آمَنَّا بِهِ) yang artinya: “Kami
(kaum Muslimîn) beriman kepada-Nya”. Huruf (ب) sebagai Huruf Jarr
memiliki 13 makna; sedangkan Huruf (ب) dalam kalimat (أَعُوْذُ
بِاللهِ) bermakna (إِلَى) “Kepada”.
۞ مِنَ
الشَّيْطَانِ ۞
٭Dari Setan٭
Huruf (مِنْ) dalam kalimat (مِنَ
الشَّيْطَانِ) merupakan Huruf Jarr yang
berfungsi men-jarr-kan (mengkasrahkan) “isim zhâhir” dan “isim
dhamîr”. Contoh “isim zhâhir”: (مِنَ
الْجِنَّةِ) yang artinya: “Dari Jin”. Contoh
“isim dhamîr”: (فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا) yang artinya: “Barangsiapa di antara kalian (kaum
Mu’minîn) sakit”. Huruf (مِنْ) sebagai Huruf Jarr
memiliki 7 makna; sedangkan Huruf (مِنْ) dalam kalimat (مِنَ
الشَّيْطَانِ) bermakna (بَيَانُ
الْجِنْسِ) “Menjelaskan jenis (dari)”.
Kata (الشَّيْطَانُ) berasal dari kata (شَطَنَ
- يَشْطَنُ) yang bermakna: “Menjauhkan,
menyimpangkan, menentang dan menyalahi”.[2]
Dalam ungkapan bahasa ‘Arab, Setan adalah: “Mahluk
terkutuk, sombong (congkak) dan durhaka dari golongan Jin, Manusia dan
sebagainya”. Sebagaimana
Firman Allah SWT. dalam Surat al-An’âm (6), Ayat: 112:
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا
شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ وَالْجِنِّ ........ (١١٢)
112.
Dan demikianlah Kami (Allah) jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu: SETAN-SETAN (DARI JENIS) MANUSIA DAN (DAN JENIS) JIN……………...[3]
Imâm Ibnu Jarîr[4] berkata dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay
al-Qurânnya (1/109): “Segala Mahluk yang terkutuk, sombong (congkak) dan
durhaka adalah Setan; yang mana perkataan, budi pekerti (akhlaq), perbuatan dan
sifatnya sama persis dengan Setan”.[5]
۞ الرَّجِيْمُ
۞
٭(Setan) yang terkutuk٭
Kata (الرَّجِيْمُ) berasal dari kata (رَجَمَ
- يَرْجُمُ) yang bermakna: “Mengutuk,
melaknat, mengusir, melempar dengan Batu dan mencaci-maki”.[6]
Di dalam Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (1/110)[7] karya Imâm Ibnu Jarîr[8] dikemukakan bahwa: “Kata
(الرَّجِيْمُ) adalah (فَعِيْلٌ) yang bermakna (مَفْعُوْلٌ
بِهِ); sebagaimana salah satu pameo (كَفٌّ خَضِيْبٌ, وَلِحْيَةٌ دَهِيْنٌ, وَرَجُلٌ لَعِيْنٌ), yang artinya: “Kuku yang diwarnai, Jenggot yang
disemir, lelaki yang dilaknat”. Maka menjadi (مَخْضُوْبَةٌ), (مَدْهُوْنَةٌ) dan (مَلْعٌوْنٌ) yang artinya: “Terwarnai, tersemir dan terlaknat”.
Kata (الرَّجِيْمُ) maknanya (المَلْعُوْنُ
الْمَشْتُوْمُ), yang artinya: “Terlaknat
(terkutuk) dan tercaci-maki (terhina)”. Orang yang terlaknat yaitu: “Orang
yang dicaci-maki dengan keburukan dan penghinaan”.
Setan juga dapat disebut: (الرَّجِيْمُ), karena Setan suka
mencuri berita dari Langit, kemudian Allah SWT. melempari para Setan yang suka
mencuri kabar dari Langit dengan Bintang-bintang-Nya. Sebagaimana Firman Allah
SWT. dalam Surat al-Mulk (67), Ayat: 5:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ
الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُوْمًا لِلشَّيَاطِيْنِ
وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ (٥)
5. Sesungguhnya Kami (Allah) telah menghiasi Langit
yang dekat dengan Bintang-bintang, dan Kami (Allah) jadikan Bintang-bintang itu
ALAT-ALAT PELEMPAR SETAN, dan Kami (Allah) sediakan
bagi mereka (Setan) siksa neraka yang menyala-nyala.[9]
Kata (الرَّجْمُ) dapat berupa “PERKATAAN”
dan “PERBUATAN”. Contoh terlaknat dalam “PERKATAAN”
yaitu: “Kata-kata kutukan (laknat)”. Sebagaimana
Firman Allah SWT. dalam Surat Maryam (19), Ayat: 46:
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ
آلِهَتِيْ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ
وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا (٤٦)
46. Berkata bapaknya (bapaknya Nabi Ibrâhîm): “Wahai (Nabi) Ibrahim, bencikah kamu (Nabi Ibrâhîm) kepada Tuhan-tuhanku (yang dibuat oleh mereka sendiri berbentuk berhala
atau patung)?. Jika kamu (Nabi Ibrâhîm) tidak
berhenti (mengoceh), maka niscaya KAMU (NABI IBRÂHÎM) AKAN KURAJAM (KUTUK ATAU LAKNAT), dan tinggalkanlah (enyahlah engkau wahai Nabi Ibrâhîm dari) aku (maksudnya: Nabi Ibrâhîm diusir oleh ayahnya) dengan waktu yang lama".[10]
Adapun contoh terlaknat
dengan “PERBUATAN” yaitu: “RAJAM”. Sebagaimana Hadis di bawah
ini:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ, عَنْ عُقَيْلٍ, عَنْ ابْنِ شِهَابٍ,
عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ وَسَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ, عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ, فَنَادَاهُ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ, إِنِّيْ زَنَيْتُ.
فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى رَدَّدَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ. فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى
نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ, دَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: أَبِكَ جُنُوْنٌ. قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ أَحْصَنْتَ. قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذْهَبُوْا بِهِ, فَارْجُمُوْهُ.
{رواه البخاري, مسلم, التّرمذي, النّسائ, أبوا داود, أحمد بن حنبل}.
“Yahyâ bin Bukair telah bercerita kepada kami (Bukhârî), dia (Yahyâ
bin Bukair) berkata: “al-Laits telah bercerita kepada kami (Yahyâ bin Bukair)
dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dan Sa’îd bin al-Musayyab dari Abû
Hurairah, dia (Abû Hurairah) berkata: “Ada seorang lelaki datang menemui Rasûlullâh
SAW; sedangkan Rasûlullâh SAW. berada di Masjid. Maka dia (seorang lelaki yang
datang menemui Nabi SAW.) memanggil dan berkata kepadanya (kepada Nabi SAW):
“Wahai Rasûlullâh SAW; sesungguhnya saya (seorang lelaki yang datang menemui
Nabi SAW.) telah berzina, maka dia (Nabi SAW.) berpaling darinya (dari lelaki
yang telah mengaku berzina tersebut), sehingga kejadian tersebut berulang-ulang
hingga empat kali. Dan ketika dia (lelaki yang telah mengaku berzina tersebut) bersaksi
empat kali atas dirinya sendiri, maka Nabi SAW. memanggilnya (memanggil lelaki
yang telah mengaku berzina tersebut) dan berkata kepadanya (kepada lelaki yang telah
mengaku berzina tersebut): “Apakah kamu (lelaki yang telah mengaku berzina)
gila. Dia (lelaki yang telah mengaku berzina) berkata: “Tidak”. Dia (Nabi SAW.)
berkata: “Apakah kamu (lelaki yang telah mengaku berzina) telah menikah (telah
beristeri)”. Dia (lelaki yang telah mengaku berzina) berkata: “Iya”.
Nabi SAW. bersabda: “Bawalah dan RAJAMLAH
dia (rajamlah lelaki yang telah mengaku berzina tersebut)”.[11]
۩ فَوَائِدُ
الْإسْتِعَاذَةِ ۩
1. Sebagai pembuka ketika akan membaca Ayat-ayat al-Qurân
Apabila kaum Muslimîn hendak membaca Ayat-ayat al-Qurân, Islam menuntunkan dengan tegas agar membuka bacaan
al-Qurân dengan: (الْإِسْتِعَاذَةُ) yaitu membaca: (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ), sebagaimana Firman Allah SWT. dalam Surat an-Nahl
(16), Ayat: 98:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ (٩٨)
98. Apabila
kamu (kaum Muslimîn) hendak membaca al-Qurân, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah dari Setan yang terkutuk.[12]
Dan juga sebagaimana Hadis di bawah ini:
رَوَىْ عَبْدُ الرَّزَّاقِ, عَنْ
جَعْفَرٍ, عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَلِيِّ الرِّفَاعِيِّ, عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ, عَنْ
أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ.
“Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzâq, dari Ja’far bin Sulaimân, dari ‘Alî bin ‘Alî ar-Rifâ’iŷ, dari Abû
al-Mutawakkil, dari Abû Sa’îd al-Khudrŷ: “Sesungguhnya Rasûlullâh SAW. ketika
hendak membaca (Ayat-ayat al-Qurân), beliau SAW. mengucapkan: “’A’ûdzubillâhi Minasysyaithânirrajîm”.[13]
2. Doa yang menjadi senjata dan perisai (tameng) bagi kaum Muslimîn
a) Doa yang menjadi senjata dan perisai dari para Setan
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ,
قَالَ: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ, عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ, عَنْ سُلَيْمَانَ
بْنِ صُرَدٍ, سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَيْنِ وَهُمَا
يَتَقَاوَلَانِ وَأَحَدُهُمَا قَدْ غَضِبَ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ وَهُوَ يَقُوْلُ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ
الشَّيْطَانُ. قَالَ: فَأَتَاهُ رَجُلٌ, فَقَالَ: قُلْ أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ. قَالَ: هَلْ تَرَى بَأْسًا. قَالَ: مَا زَادَهُ عَلَى ذَلِكَ.
“Hafsh bin Ghiyâts telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad
bin Hanbal), dia (Hafsh bin Ghiyâts) berkata: “Al-A’masy telah bercerita
kepada kami (kepada Hafsh bin Ghiyâts), dari ‘Adŷ bin Tsâbit al-Anshârŷ, dari
Sulaimân bin Shurad, dia (Sulaimân bin Shurad) mendengar Nabi SAW. berkata: “Bahwasannya
ada dua orang lelaki yang saling adu mulut, dan salah satu dari mereka berdua
ada yang naik pitam (emosi dan jengkel). Kemudian Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya
saya (Nabi SAW.) mengetahui suatu kalimat apabila
diucapkan maka para Setan pergi (kabur karena ketakutan). Dia (Nabi SAW.)
berkata: “Maka datanglah seorang lelaki menghampiri kedua orang yang sedang adu
mulut tersebut, dia (lelaki yang tiba-tiba datang) berkata: “Katakanlah: “’A’ûdzubillâhi Minasysyaithânirrajîm......................”.[14]
b) Doa untuk menghilangkan amarah (murka)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ,
قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ سَعِيْدٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا
زَائِدَةُ, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ, عَنِ ابْنِ أَبِيْ لَيْلَى, عَنْ مُعَاذٍ
قَالَ: اِسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا حَتَّى أَنَّهُ لَيُتَخَيَّلُ إِلَيَّ أَنَّ أَنْفَهُ لَيَتَمَزَّعُ
مِنَ الْغَضَبِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّيْ
لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ يَقُوْلُهَا هَذَا الْغَضْبَانُ لَذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ
بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
“’Abdullâh telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad
bin Hanbal), dia (‘Abdullâh) berkata: “Ayahku (ayahnya ‘Abdullâh) telah bercerita kepada saya (kepada ‘Abdullâh), dia (ayahnya ‘Abdullâh) berkata: “Abû Sa’îd telah bercerita kepada
kami (kepada ayahnya ‘Abdullâh), dia (Abû Sa’îd) berkata: “Zâ-idah bin Qudâmah telah
bercerita kepada kami (kepada Abû Sa’îd), dia (Zâ-idah bin Qudâmah) berkata:
“’Abdul Malik telah bercerita kepada kami (kepada Zâ-idah bin Qudâmah), dari
Ibnu Abî Laylâ, dari Mu’âdz bin Jabal: “Bahwasannya di sisi Rasûlullâh SAW. ada dua orang lelaki yang saling menghujat (saling
mencaci-maki), maka naik pitamlah (emosi dan jengkellah) salah seorang dari
mereka berdua, hingga saya (Mu’âdz bin Jabal) membayangkan bahwa emosinya sudah
memuncak (klimaks). Kemudian Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya saya (Nabi SAW.)
mengetahui suatu kalimat apabila orang yang sedang
emosi mengucapkan kalimat ini, maka emosinya (amarahnya) akan sirna (reda),
yaitu ucapan: “‘A’ûdzubillâhi Minasysyaithânirrajîm”.[15]
c) Doa untuk menghilangkan kesulitan dan kemudhorotan (bahaya) dalam permasalahan (persoalan) yang
sedang dihadapi
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ, قَالَ: حَدَّثَنَا
جَرِيْرٌ, عَنِ الْأَعْمَشِ, عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ صُرَدٍ قَالَ: اِسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوْسٌ, وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا
قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّيْ
لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ
لَوْ قَالَ: أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
فَقَالُوْا لِلرَّجُلِ: أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُوْلُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. قَالَ: إِنِّيْ لَسْتُ بِمَجْنُوْنٍ.
“’Utsmân bin Abî Syaibah telah bercerita kepada kami (kepada Bukhârî), dia
(‘Utsmân bin Abî Syaibah) berkata: “Jarîr telah bercerita kepada kami (kepada ‘Utsmân
bin Abî Syaibah), dari al-A’masy, dari ‘Adŷ bin Tsâbit, dia (‘Adŷ bin Tsâbit)
berkata: “Sulaimân bin Shurad telah bercerita kepada kami (kepada ‘Adŷ bin
Tsâbit), dia (Sulaimân bin Shurad) berkata: “Ada dua orang lelaki yang saling
menghujat (mencaci-maki) di sisi Nabi SAW. Dan ketika itu kami (Sulaimân bin
Shurad) sedang duduk santai di dekat Nabi SAW. Salah satu dari mereka berdua
yang saling menghujat (mencaci-maki) naik pitam (emosi dan jengkel) hingga
memerah raut wajahnya. Kemudian Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya saya (Nabi
SAW.) mengetahui suatu kalimat apabila diucapkan maka sirnalah
(lenyaplah) segala kesukaran (kepayahan problem) yang dialaminya, yaitu:
“‘A’ûdzubillâhi Minasysyaithânirrajîm..............”.[16]
[1] Ahmad Warson Munawwir. 2002. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. Hlm. 984.
[2] Ahmad Warson Munawwir. 2002. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. Hlm. 721.
[4] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî
Abû Ja’far ath-Thabarî. Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim
(kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim).
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ
at-Tafsîr dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari
Sittân pada tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia
(Ibnu Jarîr) wafat di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[5] Imâm Ibnu
Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân;
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar.
Cetakan Pertama, Juz. 1, halaman: 109.
[6] Ahmad Warson Munawwir. 2002. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. Hlm. 479.
[7] Imâm Ibnu
Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân;
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar.
Cetakan Pertama, Juz. 1, halaman: 110.
[8] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî
Abû Ja’far ath-Thabarî. Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim
(kredibel ke-âdil-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim).
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ
at-Tafsîr dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari
Sittân pada tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia
(Ibnu Jarîr) wafat di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[11] Hadis ini hadis shahîh, semua perawinya tsiqqât.
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh Bukhârî dalam (al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya: No. Hadis. 6317, 6325 dan 4866). Muslim dalam (al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya: No. Hadis. 3202). At-Tirmidzî dalam (al-Jâmi’
ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya: No. Hadis. 1349). An-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya: No. Hadis.
1930). Abû Dâwud dalam (Sunan Abî
Dâwudnya: No. Hadis. 3844). Dan al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya: No. Hadis. 13938 dan 9468).
[13] Hadis ini hadis shahîh, semua perawinya tsiqqât. Hadis
ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh ‘Abdurrazzâq dalam (al-Mushannaf
‘Abd ar-Razzâq ash-Sha’ânînya: No. Hadis. 2589). Dan al-Hâfizh
asy-Syaukânî dalam (Nail al-Authârnya: Juz. 2).
[14] Hadis ini
hadis shahîh, semua perawinya tsiqqât. Hadis ini diriwayatkan
oleh al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn
Hanbalnya: No. Hadis. 25948).
[15] Hadis ini
hadis shahîh, semua perawinya tsiqqât. Hadis ini diriwayatkan
oleh al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn
Hanbalnya: No. Hadis. 21072). At-Tirmidzî dalam (al-Jâmi’
ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya: No. Hadis. 3374). Abû Dâwud dalam
(Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 4149). Al-Hâkim dalam (al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhaynnya: No. Hadis. 3607). Ath-Thabrânî
dalam (al-Mu’jam ash-Shaghîr li ath-Thabrânînya: No. Hadis. 1017). Dan al-Hâfizh Abû Bakr bin Syaibah dalam
(al-Mushannaf Ibn Abî Syaibahnya: 7/94, versi Maktabah Syâmilah).
[16] Hadis ini hadis shahîh, semua perawinya tsiqqât. Hadis
ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh Bukhârî dalam (al-Jâmi’
ash-Shahîh li al-Bukhârînya: No. Hadis. 3040, 5588 dan 5650). Muslim dalam
(al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya: No. Hadis. 4725). Abû Dâwud
dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 4150). Dan al-Hâfizh Jalâluddîn
as-Suyûthî dalam (al-Jâmi’ ash-Shaghîrnya: No. Hadis. 2491).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar