Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 109
وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا
حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِّنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (١٠٩)
109. Mayoritas Ahli Kitâb menginginkan agar mereka
(Ahli Kitâb) dapat mengembalikan kalian (kaum Muslim) kepada kekafiran setelah kalian
(kaum Muslim) beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka (dari diri
Ahli Kitâb) sendiri; setelah nyata bagi mereka (bagi Ahli Kitâb) kebenaran.
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka (maafkanlah dan biarkanlah Ahli Kitâb),
sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ meriwayatkan dalam Akhlâq
an-Nabî li Abî asy-Syaikh al-Ashbahânŷnya (No. Hadis. 69):
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ
عَاصِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرُوْ بْنُ عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنِ الزُّهْرِيْ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ،
أَنَّهُ أَخْبَرَهُ, أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ
عَلَى حِمَارٍ، فَقَالَ لِسَعْدٍ: أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالَ أَبُوْ الْحُبَابِ؟, يُرِيْدُ
عَبْدُ اللهِ بْنِ أُبَيْ. قَالَ: كَذَا وَكَذَا. فَقَالَ
سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: اعْفُ عَنْهُ وَاصْفَحْ. فَعَفَا عَنْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَصْحَابُهُ يَعْفُوْنَ عَنْ أَهْلِ الْكِتَابِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. فَأَنْزَلَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: (.......فَاعْفُوْا
وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيْرٌ).
“Ibnu Abî ‘Âshim telah mengabarkan kepada kami (kepada
Abû asy-Syaikh), dia (Ibnu Abî ‘Âshim) berkata: “‘Amrû bin ‘Utsmân[1] telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî ‘Âshim), dia (‘Amrû bin
‘Utsmân) berkata: “Bisyr bin Syu’aib[2] telah bercerita kepada kami (kepada ‘Amrû bin ‘Utsmân), dari ayahnya[3] (dari ayahnya Bisyr bin Syu’aib yaitu: Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr), dari
Ibnu Syihâb az-Zuhrî[4], dari ‘Urwah bin az-Zubair[5], dari Usâmah bin Zaid[6], dia (Sa’d bin ‘Ubâdah) mengabarkan (kepada Usâmah bin Zaid) bahwa: “Rasûlullâh
SAW. (pada suatu saat) mengendarai seekor Keledai. Lalu beliau SAW. berkata
kepada Sa’d bin ‘Ubâdah[7]: “Tidakkah anda (Sa’d bin ‘Ubâdah) mendengar perkataan Abul Hubab yaitu:
‘Abdullâh bin Ubay?”. Kata beliau SAW: “Demikian, demikian”.
“Sa’d bin ‘Ubâdah berkata (kepada Rasûlullâh SAW):
“Maafkanlah dan biarkanlah dia (maafkanlah dan biarkanlah ‘Abdullâh bin Ubay)
wahai Rasûlullâh SAW; maka Rasûlullâh SAW. memaafkannya (memaafkan ‘Abdullâh
bin Ubay)”. Rasûlullâh SAW. beserta para Sahabatnya juga memaafkan Ahli Kitâb,
serta kaum Musyrikîn. Maka Allah SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 109):
........
فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (١٠٩)
109. ............... Maka ma'afkanlah dan biarkanlah
mereka (maafkanlah dan biarkanlah Ahli Kitâb), sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî
al-Wadi’î juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam ash-Shahîh
al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat al-Baqarah, Ayat: 109), dengan
menisbahkan kepada Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ dalam Akhlâq an-Nabî li Abî
asy-Syaikh al-Ashbahânŷnya.
PENJELASAN (dari asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î):
Kata asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î dalam
ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat al-Baqarah, Ayat: 109): “Hadis
di atas rawi-rawinya tsiqqât, Ibnu Abî ‘Âshim adalah seorang al-Hâfizh al-Kabîr,
biografinya (Ibnu Abî ‘Âshim) terdapat dalam Tadzkirat al-Huffâzh (2/640). Sedangkan
biografi-biografi para rawi yang lain terdapat dalam Tahdzîb at-Tahdzîb. Dan
Hadis di atas terdapat dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (9/299) karya al-Imâm
al-Hâfizh al-Bukhârî, melalui jalur Bisyr bin Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr, sebagaimana
sanad Hadis di atas; akan tetapi dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî tidak
terdapat sebab turunnya (tidak terdapat Asbâb an-Nuzûlnya)”.
PENJELASAN
(kedudukan hadis di atas):
Atsar[11] Usâmah bin Zaid di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[12]
yang dihukumi Marfu’[13].
Karena para Muhadditsîn[14]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana
penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Usâmah bin Zaid di atas tergolong hadis Mawqûf yang
dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Usâmah bin Zaid di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Akhlâq an-Nabî li Abî asy-Syaikh al-Ashbahânŷ (Abû asy-Syaikh al-Ashbahânŷ).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
[1] Nama lengkapnya yaitu: ‘Amrû bin ‘Utsmân bin Sa’îd. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân)
merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Abû Dâwud, al-Hâfizh an-Nasâ-î, al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan Maslamah bin Qâsim. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî
al-Hamshî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Hafsh. Tempat
tinggalnya di Syâm. Ia (‘Amrû bin ‘Utsmân) wafat pada tahun 250 Hijriyah.
[2] Nama lengkapnya yaitu: Bisyr bin Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr. Ia (Bisyr
bin Syu’aib) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Ia (Bisyr bin Syu’aib) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh al-Bukhârî, al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan Abû Zar’ah ar-Râzî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû al-Qâsim. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia
(Bisyr bin Syu’aib) wafat pada tahun 213 Hijriyah.
[3] Namanya yaitu: Syu’aib bin Abî Hamzah Dînâr. Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah)
merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în senior. Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah)
adalah seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Umawî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bisyr. Tempat tinggalnya di Syâm.
Ia (Syu’aib bin Abî Hamzah) wafat pada tahun 162 Hijriyah.
[4] Nama sebenarnya yaitu: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin
‘Abdullâh bin Syihâb. Ia (Ibnu Syihâb az-Zuhrî) merupakan
seorang Tâbi’în dekat pertengahan. Seluruh ‘Ulamâ’ telah ber-ijmâ’ mengenai
keluhuran dan kredibelitas Ibnu Syihâb az-Zuhrî. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Qurasyî az-Zuhrî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Bakr. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Syihâb az-Zuhrî) wafat pada
tahun 124 Hijriyah.
[5] Nama lengkapnya yaitu: ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Aŵâm bin Khuwailid bin
Asad bin ‘Abdul ‘Izzî bin Qushay. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) merupakan seorang
Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Urwah bin az-Zubair) adalah seorang yang tsiqqah
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Urwah bin az-Zubair)
wafat pada tahun 93 Hijriyah.
[6] Nama lengkapnya yaitu: Usâmah bin Zaid bin Hâritsah bin Syurhabîl. Ia (Usâmah
bin Zaid) merupakan seorang Sahabat. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah
dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Kilabŷ. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya: Habb Rasûlullâh. Tempat
tinggalnya di Madînah. Ia (Usâmah bin Zaid) wafat di Madînah pada tahun 54 Hijriyah.
[7] Nama lengkapnya yaitu: Sa’d bin ‘Ubâdah bin Dalîm. Ia (Sa’d bin ‘Ubâdah)
merupakan seorang Sahabat. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl.
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Anshârî al-Khazrajŷ. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Tsâbit. Tempat tinggalnya di Madînah.
Ia (Sa’d bin ‘Ubâdah) wafat di Syâm pada tahun 15 Hijriyah.
[8] Muhadditsîn yaitu: Orang yang
hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î,
Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î,
Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[9] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[10] Tsiqqât
adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.
[11] Atsar adalah: Sesuatu yang
disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan
perbuatan.
[12] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[13] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[14] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.