Asbâbun
Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 90
إِلا
الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ
حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا
(٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang
meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu telah
ada perjanjian (damai)[1]
atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi kaumnya [2].
Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka[3]
terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika
mereka[4]
membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim) serta
mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk
menawan dan membunuh) mereka[5].
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî
meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî
Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî
Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari
‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Turunnya Ayat (Ayat: 90,
Surat an-Nisâ’):
إِلا
الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ
حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا
(٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang
meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu
telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang
hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi
kaumnya. Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka
terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika
mereka membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim)
serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan:) Mengenai Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani
Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf yang telah mengadakan perjanjian perdamaian
dengan Nabi SAW”.
KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas
hasan”.
PENJELASAN:
Atsar[6] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[7]
yang dihukumi Marfu’[8].
Karena para Muhadditsîn[9]
telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan
salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut,
maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas
tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn,
sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah
(pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî
meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî
Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî
Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari
Mujâhid al-Makky bahwa: “Ayat (Ayat: 90, Surat an-Nisâ’) diturunkan mengenai
Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, dia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat
perjanjian damai dengan kaum Muslimîn, sedangkan kaumnya (kaumnya Hilâl bin
‘Uwaimîr al-Aslamî) hendak memerangi kaum Muslimîn, akan tetapi dia (Hilâl bin
‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaum Muslimîn, dan juga ia
(Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaumnya (kaumnya
Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî)”.
KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas
hasan”.
PENJELASAN:
‘Atsar Mujâhid al-Makky di atas adalah
Hadis Maqthu’, akan tetapi Atsar di atas
terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya,
sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal.
Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan
Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat,
apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga
sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga
dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para
Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Mujâhid al-Makky di atas
tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm
Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î
shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan
tsiqqah”. Sedangkan Mujâhid
al-Makky merupakan seorang Tâbi’în
senior, tsiqqah dan ia (Mujâhid al-Makky) tidak
menyalahi para Huffâzh yang amanah; Serta atsar
(Mujâhid al-Makky) sesuai dengan
persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah,
sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar Mujâhid al-Makky di atas dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN:
Kedua
Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis pertama dengan hadis kedua, sehingga
dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam
hukum Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
[1] Perjanjian
Damai, maksudnya: Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî
dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf telah mengadakan perjanjian damai
dengan Nabi SAW, sehingga Nabi SAW. enggan untuk memerangi mereka (Hilâl bin
‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir
bin ‘Abdi Manaf).
[2] Dalam riwayat Mursal
Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Mujâhid, yang dinuqil (kutip) oleh Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî bahwa yang dimaksud “Orang-orang Yang Datang Kepada Kamu
Sedang Hati Mereka Merasa Keberatan Untuk Memerangi Kamu” mereka adalah:
“Kaumnya Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî yang hendak memerangi kaum Muslim,
sedangkan ia (Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî) enggan untuk memerangi kaum Muslim,
karena ia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat perjanjian damai dengan
kaum Muslim”.
[3] Mereka yang
dimaksud dalam Ayat ini yaitu: “Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî beserta kaumnya,
Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf”.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Atsar adalah: Sesuatu
yang disandarkan kepada Sahabat
dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu
yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan
persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[8] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya
derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[9] Muhadditsîn yaitu: Orang
yang hafal matan-matan hadis,
mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal
para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis,
pendengar, pencari sanad-sanad
hadis, dan mengetahui sanad
yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm
Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû
Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.