Asbâbun Nuzûl
Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 19
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا (١٩)
19.
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal (haram) bagi kamu mempusakai
(mewarisi) wanita dengan paksaan, dan janganlah kamu menyusahkan mereka (para
wanita) karena hendak mengambil kembali sebagian (mahar/maskawin) dari apa yang
telah kamu (para suami) berikan kepadanya (kepada para isterimu), kecuali apabila
mereka (para isterimu) melakukan perbuatan keji yang nyata (yaitu berzina). Dan
bergaullah dengan mereka (para isterimu) secara patut (dengan baik). Kemudian
jika kamu (para suami) tidak menyukai mereka (para isteri) (maka bersabarlah),
karena boleh jadi kamu sekalian tidak menyukai (membenci) sesuatu, padahal
Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya (di dalam sesuatu yang tidak kamu
sukai/benci).
Imâm Bukhârî
meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (9/314):
“(Jalur
sanad yang pertama) Muhammad bin Muqâtil telah bercerita kepada kami (Bukhârî),
katanya (Muhammad bin Muqâtil): “Asbath bin Muhammad telah bercerita kepada
kami (Muhammad bin Muqâtil), katanya (Asbath bin Muhammad): “Asy-Syaibânî (Abû
Ishâq bin Sulaimân bin Fairuz) telah bercerita kepada kami (Asbath bin Muhammad)
dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs”.
“(Jalur
sanad yang kedua) Kata asy-Syaibânî, dan disebutkan oleh Abû al-Hasan
as-Suwâ’î, dan saya (Bukhârî) tidak mengira dia (Abû al-Hasan as-Suwâ’î) menyebutnya
kecuali dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs”.
“Kata beliau
(‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Dahulu apabila ada seorang lelaki (suami) meninggal
dunia, para walinya (para wali sang suami yang meninggal) merasa lebih berhak
terhadap isterinya (isteri anaknya yang meninggal). Kalau sebagian mereka (para
wali sang suami yang meninggal) berkehendak, akan mereka nikahi, atau mereka nikahkan,
dan kalau berkehendak mereka (para wali sang suami yang meninggal) tidak akan
menikahkannya. Mereka (para wali sang suami yang meninggal) merasa lebih berhak terhadap wanita (isteri anaknya
yang meninggal) itu daripada keluarganya (kelurga sang isteri yang ditinggal
mati oleh suaminya). Maka turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا (١٩)
19.
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal (haram) bagi kamu mempusakai
(mewarisi) wanita dengan paksaan, dan janganlah kamu menyusahkan mereka (para
wanita) karena hendak mengambil kembali sebagian (mahar/maskawin) dari apa yang
telah kamu (para suami) berikan kepadanya (kepada para isterimu), kecuali apabila
mereka (para isterimu) melakukan perbuatan keji yang nyata (yaitu berzina). Dan
bergaullah dengan mereka (para isterimu) secara patut (dengan baik). Kemudian
jika kamu (para suami) tidak menyukai mereka (para isteri) (maka bersabarlah),
karena boleh jadi kamu sekalian tidak menyukai (membenci) sesuatu, padahal
Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya (di dalam sesuatu yang tidak kamu
sukai/benci)”.
KETERANGAN:
Imâm Abû Dâwûd juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Sunan
Abî Dâwûdnya (2/193). Ibnu Jarîr juga
mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl
al-Qurâninya (4/305). Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana
Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4,
4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Bukhârî, Imâm Abû Dâwûd dan Imâm an-Nasâ-î.
PENJELASAN:
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî mengatakan dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (Surat an-Nisâ’, Ayat: 19) karya asy-Syaikh
Muqbil bin Hadî al-Wadi’î: “Kesimpulannya, asy-Syaibânî (Abû Ishâq
bin Sulaimân bin Fairuz)
dalam Hadis di atas memiliki dua jalur sanad, salah satunya (sanadnya)
bersambung (muttashil) yaitu: ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs; Dan jalur
sanad yang kedua masih diragukan (karena tidak ada penghubung sanad antara
asy-Syaibânî, Abû al-Hasan as-Suwâ’î dengan ‘Abdullâh bin ‘Abbâs)”.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga meriwayatkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/465):
“Diriwayatkan oleh Waki’ dari Sufyan dari ‘Alî bin Badzimah dari Miqsam dari
‘Abdullâh bin ‘Abbâs: “Bahwa dahulu wanita (seorang isteri) di zaman Jâhiliyyah
kalau ditinggal mati suaminya, lalu datang seorang lelaki melemparkan
kain/pakaian kepadanya (isteri yang ditinggal mati suaminya), maka dia (seorang
lelaki yang melemparkan kain kepada seorang isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya) lah yang lebih berhak terhadap diri wanita (isteri yang ditinggal
mati suaminya) itu. Maka turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا (١٩)
19.
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal (haram) bagi kamu mempusakai
(mewarisi) wanita dengan paksaan, dan janganlah kamu menyusahkan mereka (para
wanita) karena hendak mengambil kembali sebagian (mahar/maskawin) dari apa yang
telah kamu (para suami) berikan kepadanya (kepada para isterimu), kecuali
apabila mereka (para isterimu) melakukan perbuatan keji yang nyata (yaitu
berzina). Dan bergaullah dengan mereka (para isterimu) secara patut (dengan
baik). Kemudian jika kamu (para suami) tidak menyukai mereka (para isteri)
(maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu sekalian tidak menyukai (membenci)
sesuatu, padahal Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya (di dalam sesuatu
yang tidak kamu sukai/benci)”.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadî al-Wadi’î mengatakan dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 19): “’Alî bin Badzimah dinyatakan
tsiqqah (kredibel ke’adilan dan kedhâbitannya) oleh penulis kitab Sunan. Sedangkan
para râwî yang lainnya adalah râwî Shahîh”.
Imâm
Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya
(Juz. 4, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (4/305); Serta
menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan
oleh Ibnu Jarîr dan Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Abî Umamah bin Sahl bin
Hanîf, dia (Abî Umamah bin Sahl bin Hanîf) berkata: “Ketika Abû Qais bin
al-Aslat meninggal dunia, puteranya (putera Abû Qais bin al-Aslat) hendak
menikahi isterinya (isteri Abû Qais bin al-Aslat/selaku ibu kandung yang telah
melahirkan putera Abû Qais bin al-Aslat). Pernikahan seperti itu merupakan
kebiasaan (tradisi/adat) pada zaman Jâhiliyyah. Maka Allah SWT. menurunkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ
إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا (١٩)
19.
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal (haram) bagi kamu mempusakai
(mewarisi) wanita dengan paksaan, dan janganlah kamu menyusahkan mereka (para
wanita) karena hendak mengambil kembali sebagian (mahar/maskawin) dari apa yang
telah kamu (para suami) berikan kepadanya (kepada para isterimu), kecuali apabila
mereka (para isterimu) melakukan perbuatan keji yang nyata (yaitu berzina). Dan
bergaullah dengan mereka (para isterimu) secara patut (dengan baik). Kemudian
jika kamu (para suami) tidak menyukai mereka (para isteri) (maka bersabarlah),
karena boleh jadi kamu sekalian tidak menyukai (membenci) sesuatu, padahal
Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya (di dalam sesuatu yang tidak kamu
sukai/benci)”.
KETERANGAN dan
PENJELASAN:
Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârînya (9/305); Dan Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 4/an-Nisâ’): “Sanad Hadis di
atas hasan”.
BIBLIOGRAFI
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm
Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin
Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Ash-Shahîh
al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî
al-Wadi’î).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî
(al-Hâfizh Ibnu Hajar
al-Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asqalanî).
Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu
Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb
an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn
as-Suyûthî).
Sunan Abî
Dâwûd (Abû Dâwûd/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî Dâwûd
Sulaimân
Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ
(an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin Syu’aib bin
‘Alî bin Bahr bin Sunân an-Nasâ-î).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm
(Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar