Rabu, 04 Mei 2011

ISLAM SEBAGAI DOKTRIN DAN ISLAM SEBAGAI PERADABAN


ISLAM SEBAGAI DOKTRIN DAN ISLAM SEBAGAI PERADABAN

Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan skop wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatannya Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidak salah.
Ia melanjutkan, pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah keagamaaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih terbatas.[1]
Cara melihat Islam sebagai sebuah norma dapat kita jumpai pada pemikiran Mahmud Syaltout yang membagi Islam pada urusan akidah dan Muamalah dalam bukunya berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah, dan pada pemikiran Maulana Muhammad Ali dalam bukunya berjudul Dienul Islam yang mengatakan bahwa Islam terdiri dari ajaran keimanan yang merupakan pokok dan ajaran ibadah yang merupakan cabang.[2]
Di antara tokoh yang melihat Islam dari sudut historis adalah Harun Nasution dan Fajlur Rahman. dalam bukunya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun Nasution mengatakan: Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai satu dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisme, aspek moral, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya. Sementara itu, dalam bukunya berjudul Islam, Fajlur Rahman mengemukakan bahwa: Islam memiliki aspek hukum, teologi, syari’ah, filsafat, tasawuf dan pendidikan.[3]
Oleh karena itu dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak bisa diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif. Sedangkan jika dilihat dari aspek historis, yaitu Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies.[4]




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ali, Maulana Muhammad. Islamologi (Dienul Islam). (terj.) R. Kaelani dan H.M. Bachrun,
(Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980).
Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Nata, Abuddin. 2006. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rahman, Fajlur. Islam. (terj.) Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).
Syaltout, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah.

  



[1] Amin Abdullah. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.106.
[2] Abuddin Nata. 2006. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hlm.151.
[3] Ibid., hlm.151.
[4] Ibid., hlm.150-151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar