Kamis, 09 September 2010

TIGA FILOSOF ISLAM DAN KONSEP PEMIKIRANNYA


TIGA FILOSOF ISLAM DAN KONSEP PEMIKIRANNYA


A.     IBNU SINA
1.      Bibliografinya
     Ibnu Sina bernama lengkap: Abu Ali al-Huseyn bin Abdullah bin Hasan Ali bin Sina. Di Barat ia lebih di kenal dengan nama: Avicenna. Menurut Ibnu Khallikan dan al-Qifti Ia lahir pada bulan Shafar 370 H/Agustus 980 M.[1] Dan menurut Ibnu Abi Usyaibi’ah ia lahir pada tahun 375 H di desa Afshanah dekat kota Kharmaitan Propinsi Bukhara Afghanistan. Ayahnya tergolong mampu, berasal dari Balkh yang diangkat oleh penguasa Samanish, Nuh II bin Mansyur untuk menduduki jabatan Gubernur di sebuah distrik Bukhara.[2] Pelajaran yang pertama kali diterimanya adalah al-Quran dan sastra yang diberikan secara privat kepadanya. Ia belajar pada usia dini sejak beumur 5 tahun, dan hanya dalam waktu 13 tahun saja ia telah menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan pada waktu itu . Ibnu Sina meninggal di Hamdan, dalam usia 58 tahun, pada bulan Ramadhan 428 H/1037 M. Dan menurut G.C. Anawati, ia telah mengarang buku kurang lebih 276 buah, meliputi: Filsafat, Kedokteran, Geometri, Astronomi, Musik, Syair, Teologi, Politik, Matematika, Fisika, Kimia, Satra, Kosmologi, dll.[3] 

2.      Konsep Pemikirannya

1)      Hakikat Jiwa
   Untuk membedakan antara badan dan jiwa menurut Ibnu Sina yaitu dengan: “membandingkan antara pengetahuan akali dan pengetahuan indrawi atau yang melekat pada tubuh. Jiwa dapat mengenali dirinya dan dapat mengenali pengenalannya, sementara itu tak satu pun indra kita yang dapat merasakan dirinya dan mengetahui perasaannya juga tidak bisa mengetahui organ tubuhnya yang membuat ia bisa merasa kecuali ia dipantulkan lewat kaca dan sejenisnya. Maka dengan demikian jiwa rasional itu karakternya lain dari karakter kekuatan fisik ini”.[4]

2)   Hakikat Akal
   Menurut Ibnu Sina: “akal semakin matang bila telah lama dipakai dan telah lama menunaikan tugasnya. Bila ia telah bisa memecahkan suatu masalah yang pelik itu merupakan bantuan baginya untuk bisa memecahkan masalah yang lebih pelik. Benar ia sering kelihatan payah dan letih tapi itu disebabkan keadaan organ tubuh. Ia banyak menggunakan khayalan, padahal khayalan itu sangat erat hubungannya dengan tubuh”.[5]

3)      Ilmu Pengetahuan dan Filasafat
   Menurut Ibnu Sina: “tidak ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat; masing-masing menuang pada universalitas, menyelidiki pengetahuan hal-hal yang harus, serta membicarakan esensi dan subtansi. Sehingga tidaklah cukup jika ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan: “bagaimana”! tetapi ia juga harus menjawab pertanyaan: “mengapa”? ia tidak puas dengan alasan-alasan subjektif, tetapi juga menambahkan kausa-kausa finalis; tidak berhenti pada batas semata-mata menerangkan berbagai fenomena maupun mencatat observasi, bahkan lebih jauh lagi menembus ke dalam segala prinsip umum maupun hakikat utama”.[6]






     
B.     IBNU RUSYD

1.      Bibliografinya
     Nama lengkapnya adalah: Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Ia di kenal di Barat dengan sebutan Averroes. Ia lahir di Kordoba, Spanyol pada tahun 520 H/ 1126 M, dan ia meninggal di Marokko pada tahun 595 H/1198 M. Ibnu Rusyd berasal dari keluarga terpelajar terkemuka sejak beberapa generasi di atasnya. Kakeknya adalah seorang konsultan hukum serta menjadi qadhi dan Imam Masjid Besar di Kordoba. Ayahnya juga seorang qadhi. Gurunya Ibnu Rusyd di antarnya: al-Hafidz Abu Muhammad Ibnu Rizk dan Ibnu Zuhr. [7]   

2.      Konsep Pemikirannya

1)      Ilmu(Pengetahuan)
     Menurut Ibnu Rusyd: “ilmu (pengetahuan) adalah jalan pencapaiaan kebahagiaan spiritual; derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas atas”.

2)      Hubungan akal fa’al secara ilmiah dan sistematis
    Ibnu Rusyd berpendapat bahwa: “bayi dilahirkan dengan membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan umum, sehingga jika ia mulai belajar maka kesiapan ini berubah menjadi akal actual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada benda dan dari padanya mengambil pancaran ilham. Ini adalah kesempurnaan tertinggi yang kita harapkan bersama. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia; karena ilmu pengetahuan semata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam ruh.[8]     





3)      AL-FARABI
1.      Bibliografinya
   Nama lengkapnya adalah: Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Awzalagh al-Farabi. Di Barat ia terkenal dengan nama: al-Farabius atau Avennasar. Al Farabi lahir pada tahun 257 H/870 M di daerah Farab, Wasij Turkistan dan meninggal di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia kurang lebih 80 tahun. Ayahnya seorang warga Iran dan menikah dengan wanita Turkestan. Gurunya yaitu: Abu Bisyr bin Mattius dan Abu Bakr as-Sarraj. Sedangkan guru Filsafatnya adalah seorang Kristen Nestorian yaitu: Yuhanna bin Hailan.[9]
  
2.      Konsep Pemikirannya

1)      Kebahagiaan
    Kebahagiaan ialah: “jika manusia menjadi sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan, dalam eksistensinya, kepada suatu materi. Dan perbuatan yang menghalangi kebahagiaan ini adalah kejelekan dan perbuatan-perbuatan jelek, sementara berbagai kondisi dan bakat yang menimbulkan perbuatan-perbuatan ini adalah segala kekuarangan, kerendahan dan kehinaan”.[10]

2)      Al-Ittishol
    Kata al-Farabi: “bahwa ada tutup pada dirimu, lebih-lebih dari baju, dari badan, maka berjuanglah untuk membuang hijab, karena pada waktu itulah anda membuang hijab, karena pada waktu itulah anda berjumpa. Maka janganlah anda bertanya tentang hal-hal yang anda alami, karena jika anda sakit anda celaka, tetapi jika anda selamat anda sukses. Anda di dalam dirimu seakan anda tidak di badan anda, seakan anda akan melihat hal-hal yang tidak bisa didengar oleh telinga dan tidak bergetar di dalam kalbu manusia. Maka buatlah perjanjian di sisi alHaq(Yang Maha Benar) sampai di amendatangi anda sebagai pribadi”.[11]






DAFTAR PUSTAKA

 
Al-Farabi. Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
            , Al-Tsamroh al-Mardliyyah.
Arsyad, Natsir. 1992. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan.
Ibnu Rusyd. 1950. Talkhis Kitab al-Nafs. Kairo.
Ibnu Sina. Al-Syifa.
            , Al-Najah.
Madzkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam. Jakarta: Rajawali.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.









[1] Natsir, Arsyad. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 159
[2] Natsir, Arsyad. Ibid., hal. 159
[3] Natsir, Arsyad. Ibid., hal. 159-160
[4] Ibnu Sina. Al-Syifa’, Juz 1, hal. 350-351
[5] Ibnu Sina. Ibid., Juz 1, hal. 350
[6] Ibnu Sina. Al-Najah., hal. 112-117
[7] Natsir, Arsyad. Ibid., hal. 227
[8] Ibnu Rusyd. Talkhis Kitab al-Nafs., (Kairo: 1950), hal. 189
[9] Natsir, Arsyad. Ibid., hal. 98-99
[10] Al-Farabi. Ahl al-Madinah al-Fadhilah., hal. 47
[11] Al-Farabi. Al-Tsamroh al-Mardliyyah., hal. 74

3 komentar:

  1. Ayo kita berdiskusi bersama!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  2. Semoga anta mendapat hidayah dari Allah.
    Islam hanya memerlukan Al Quran dan Assunnah
    Allah berfirman:
    Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al Baqarah 151 dan Al Jumu'ah 2-3)

    BalasHapus
  3. Islam tidak hanya membutuhkan al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi Islam juga membutuhkan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain baik: "ilmu pasti", seperti: Matematika, Fisika, Kimia, dll. dan "ilmu sosial", seperti: Sosiologi, Biologi, Geografi, antropologi, dll. Orang Islam harus pintar dan cakap dalam segala bidang/aspek ilmu. Orang Islam tidak boleh bodoh, dungu, kolot dalam segala aspek/bidang ilmu. Orang Islam harus lebih unggul dalam segala aspek dari orang-orang Yahudi dan Nashrani!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus