Jumat, 10 September 2010

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 229


Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 229


الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩)
229. “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya dan al-Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhainnya:

“Dari ‘Aisyah(istri Nabi SAW), ia(‘Aisyah) berkata: “pernah terjadi seorang suami mentalak istrinya kapan saja ia suka. Ia masih tetap menjadi istrinya kapan saja suaminya kembali kepadanya(istrinya) dalam masa ‘iddah, sekalipun sang suami mentalaknya(istrinya) seratus kali atau lebih”. Sampai sang suami tadi berkata kepada istrinya: “demi Allah saya tidak akan mentalak kamu, tetapi menyingkirlah dari saya dan saya tidak menaungi kamu selamanya”. Istri berkata: “bagaimana bisa begitu?” Suaminya melanjutkan perkataannya: “saya mentalakmu, tetapi begitu masa ‘iddahmu hampir habis saya  ruju’ kepadamu”, demikian seterusnya. Kemudian istri tersebut melapor dan menanyakan hal itu kepada Nabi SAW, akan tetapi Nabi SAW diam saja tidak menjawab. Karena perihal dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW maka turunlah Surat al-Baqarah(2), ayat: 229:

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩)
229. “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.


KETERANGAN:
Kata al-Hakim: “Hadis di atas berkualitas shahih”. Ibnu Jarîr juga meriwayatkan dalam Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âninya(4/426-428) sebagaimana Hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzî dan al-Hâkim. Ahmad Musthafâ al-Marâghî juga meriwayatkan dalam Tarjamah Tafsir al-Marâghinya(halaman: 292).


KESIMPULAN:
1. Seorang suami jika mentalak istrinya dengan sekali talak atau dua kali talak setelah mencampurinya, ia boleh ruju’ kepadanya tanpa meminta ridanya selama ia masih dalam masa ‘iddah.
2. Tetapi jika suaminya tidak meruju’nya sampai habis masa ’iddahnya atau mentalaknya sebelum mencampurinya, maka tidak halal bagi sang suami untuk ruju’ kepada istrinya kecuali dengan akad nikah yang baru dengan mendapatkan persetujuan istrinya.
3. Apabila sang suami mentalak istrinya tiga kali sekaligus, maka tidak halal baginya ruju’ kepada bekas istrinya kecuali ia pernah kawin dengan suami lain dan pernah bercampur(mengauli) kepadanya. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, halaman: 294).  





BIBLIOGRAFI


Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî(at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfidz Abî ‘Îsâ
Muhammad bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).

Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhain(al-Hâkim/Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah
al-Hâkim an-Naisâbûrî ).

Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âni(Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).

Tarjamah Tafsîr al-Marâghî(Ahmad Musthafâ al-Marâghî).



3 komentar: