Jumat, 12 Oktober 2012

GELAR-GELAR KEAHLIAN DALAM ILMU HADIS


GELAR-GELAR KEAHLIAN DALAM ILMU HADIS


1.   Amîr al-Mu’minîn (أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ)
Amîr al-Mu’minîn sesungguhnya adalah gelar yang diberikan kepada para Khulafâ’ ar-Râsyidîn, mereka yaitu: Abû Bakar as-Shiddîq, ‘Umar bin al-Khaththâb, ‘Utsmân bin ‘Affân, dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Amîr al-Mu’minîn dalam konteks ini bermakna: “Pemimpin Umat Islam dalam pemerintahan dan agama”.
Gelar Amîr al-Mu’minîn dalam hadis tidak berkaitan dengan Kekhalifahan secara formal dalam politik, akan tetapi berkaitan dengan penguasaan seorang Ahli Hadis. Gelar Amîr al-Mu’minîn dalam ‘Ulûm al-Hadîts yaitu: “Gelar tertinggi pada masa tertentu sebagai seorang penghafal Hadis, dan mengetahui Ilmu Dirâyah[1] dan Riwâyah[2] Hadis, sehingga ia menjadi Imâm atau Raja Hadis yang banyak dikagumi oleh para ‘Ulamâ’”.[3]
Para ‘Ulamâ’ Mutaqaddimîn (terdahulu/ generasi pertama) yang mendapat gelar Amîr al-Mu’minîn yaitu:
a)   Syu’bah bin al-Haĵâj bin al-Warad.
b)   Sufyân bin Sa’îd bin Masrûq (Sufyân ats-Tsaurî).
c)   Ishâq bin Ibrâhîm bin Makhlad (Ishâq bin Râhawaih).
d)  Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad (Imâm Ahmad bin Hanbal).
e)   Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah (Bukhârî).
f)    Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim bin Warad (Muslim).
g)   ‘Alî bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdî bin Mas’ûd bin an-Nu’mân bin Dînâr (ad-Dâruquthnî); dan lain-lain.[4]

Sedangkan para ‘Ulamâ’ Muta-akhkhirîn (generasi baru/ generasi terakhir) yang mendapat gelar Amîr al-Mu’minîn yaitu:
a)   Al-Mizzî.
b)   Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Alî (Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
c)   Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qaymâz (adz-Dzahabî).
d)  Yahyâ bin Syarif (an-Nawawî).[5]


2.   Al-Hâkim (الحَاكِمُ)
Al-Hakim yaitu: “Suatu gelar keahlian bagi para pakar hadis yang menguasai seluruh permasalahan hadis baik matan yang diriwayatkan (marwiŷah) maupun sanad[6]-nya, mengetahui perihal para perawi hadis yang ‘adl[7] dan yang tercela (tajrîh), dan mengetahui biografi para perawi, guru-guru para perawi tersebut, dan para muridnya”.[8]
Para Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Hakim yaitu:
a)   ‘Amrû bin Dînâr al-Atsram (Ibnu Dînâr).
b)   Al-Laits.
c)   Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Âmir (Imâm Mâlik).
d)  Muhammad bin Idrîs bin al-‘Abbâs bin ‘Utsmân bin Syâfi’ al-Qurasyî  bin ‘Abdul Muthallib bin ‘Abdu Manâf (Imâm asy-Syâfi’î); dan lain-lain.[9]


3.   Al-Huĵah (الحُجَّةُ)
Al-Huĵah yaitu: “Gelar yang diberikan kepada para pakar hadis yang kemampuan hapalan hadisnya dapat dijadikan huĵah dan menjadi referensi bagi para penghafal lainnya”.[10]
Para Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Huĵah yaitu:
a)   Hisyâm bin ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Aŵâm (Hisyâm bin ‘Urwah).
b)   ‘Abdullâh bin Dzakwân Abû az-Zinâd (Abû az-Zinâd).
c)   Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Âmir (Imâm Mâlik).
d)  Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad (Imâm Ahmad bin Hanbal); dan lain-lain.[11]


4.   Al-Hâfizh (الحَافِظُ)
Al-Hâfizh yaitu: “Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad[12] serta matan[13] hadis, dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang al-Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis”.[14]
Para Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Hâfizh yaitu:
a)   Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah (Bukhârî).
b)   Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim bin Warad (Muslim).
c)   ‘Abdurrahîm bin al-Husain bin ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr bin Ibrâhîm (Zainuddîn al-‘Irâqî).
d)  Syarafuddîn ad-Dimyathî.
e)   Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Alî (Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
e)   Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qaymâz (adz-Dzahabî); dan lain-lain.[15]


5.   Al-Muhaddits (المُحَدِّثُ)
Para Ahli Hadis generasi pertama (mutaqaddimîn) menyatakan bahwa: “Al-Hâfizh dan al-Muhaddits semakna (maknanya sama)”. Akan tetapi para Ahli Hadis generasi terakhir (muta-akhkhirîn) menyatakan bahwa: “Al-Hâfizh itu lebih khusus daripada al-Muhaddits”.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî menjelaskan dalam Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawînya: “Menurut Abû Syamah: “Ilmu Hadis yang harus dikuasai oleh seorang Ahli Hadis (Muhaddits) yaitu: menghafal matan-matan hadis, dan mengetahui gharîb serta faqîh. Menghafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dan dapat membedakan antara yang shahîh[16] dengan yang dha’îf[17]. Menghimpun buku, menulis, mendengar, mencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Para ‘Ulamâ’ yang mendapat gelar al-Muhaddits yaitu:
a)   ‘Athâ’ bin Abî Rabâh Aslam.
b)   Muhammad bin ‘Abdurrazzâq (Murtadhâ az-Zabîdî); dan lain-lain.[18]


6.   Al-Musnid (المُسْنِدُ)
Al-Musnid yaitu: “Gelar keahlian bagi para periwayat Hadis beserta sanadnya; baik ia menguasai keadaan sanad ataupun tidak menguasainya (tidak menguasai keadaan sanad)”.
Al-Musnid juga disebut dengan ath-Thâlib, al-Mubtadî, dan ar-Râwî, yang bermakna: “Orang yang hanya mempelajari dan mengajar Hadis, akan tetapi tidak mengetahui segala seluk-beluk Ilmu Hadis; ia lebih cenderung sebagai perawi saja”.[19]


7.   Thâlib al-Hadîts (طَالِبُ الْحَدِيْثِ)
Thâlib al-Hadîts yaitu: “Gelar yang diberikan kepada orang yang memulai kariernya dalam bidang Hadis; dengan kata lain: “Orang yang sedang mencari Hadis ataupun yang sedang mempelajari Hadis”.[20]
Gelar ini merupakan gelar terendah di antara sekian gelar di atas (gelar-gelar sebelumnya).





BIBLIOGRAFI

As-Suyûthî, Jalâluddîn. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî. Mesir: Maktabah
an-Najâh.
Ath-Thaĥân, Mahmûd. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah.
Ismail, Muhammad Syuhudi. 1994. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.














[1] Ilmu Dirâyah al-Hadîts yaitu: “Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syarat periwayatan, macam-macam periwayatan dan hukum-hukum periwayatan; keadaan para perawi, syarat-syarat para perawi, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”. (Jalâluddîn as-Suyûthî. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî. Mesir: Maktabah an-Najâh. Juz. 1, hlm. 40).

[2] Ilmu Riwâyah al-Hadîts yaitu: “Ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan Nabi SAW; segala perbuatan beliau SAW; periwayatan beliau SAW; batasan-batasan periwayatan suatu hadis; dan ketelitian semua redaksi (matan) hadis”. (Jalâluddîn as-Suyûthî. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî. Mesir: Maktabah an-Najâh. Juz. 1, hlm. 40).

[3] Abdul Majid Khon. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. Cet. I, hlm. 105.

[4] Ibid.

[5] Abdul Majid Khon. loc. cit.

[6] Sanad yaitu: “Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/ isi) hadis”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 15).

[7] ‘Adl yaitu: “Orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 33).

[8] Abdul Majid Khon. op. cit., hlm. 105 – 106.

[9] Abdul Majid Khon. op. cit., hlm. 106.

[10] Ibid.

[11] Abdul Majid Khon. loc. cit.

[12] Sanad yaitu: “Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/ isi) hadis”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 15).

[13] Matan yaitu: “Redaksi atau isi Hadis. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 15).

[14] Abdul Majid Khon. loc. cit.

[15] Ibid.

[16] Hadis Shahîh ialah: “Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat)”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 33 - 34).

[17] Hadis Dha’îf ialah: “Hadis yang tidak menghimpun sifat Hadis Shahîh dan Hasan”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 62).

[18] Abdul Majid Khon. op. cit., hlm. 107 - 108.

[19] Abdul Majid Khon. op. cit., hlm. 108.

[20] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar