GELAR-GELAR KEAHLIAN DALAM ILMU HADIS
1. Amîr al-Mu’minîn (أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ)
Amîr al-Mu’minîn sesungguhnya adalah gelar yang diberikan
kepada para Khulafâ’ ar-Râsyidîn, mereka yaitu: Abû Bakar as-Shiddîq, ‘Umar bin
al-Khaththâb, ‘Utsmân bin ‘Affân, dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Amîr al-Mu’minîn dalam konteks ini bermakna: “Pemimpin Umat Islam dalam
pemerintahan dan agama”.
Gelar
Amîr
al-Mu’minîn dalam hadis
tidak berkaitan dengan Kekhalifahan secara formal dalam politik, akan tetapi
berkaitan dengan penguasaan seorang Ahli Hadis. Gelar Amîr al-Mu’minîn dalam ‘Ulûm al-Hadîts yaitu:
“Gelar tertinggi pada masa tertentu sebagai seorang penghafal Hadis, dan
mengetahui Ilmu Dirâyah[1] dan Riwâyah[2] Hadis, sehingga ia menjadi Imâm atau Raja Hadis yang banyak dikagumi
oleh para ‘Ulamâ’”.[3]
Para
‘Ulamâ’ Mutaqaddimîn (terdahulu/ generasi pertama) yang mendapat gelar Amîr al-Mu’minîn yaitu:
a)
Syu’bah
bin al-Haĵâj bin al-Warad.
b)
Sufyân
bin Sa’îd bin Masrûq (Sufyân ats-Tsaurî).
c)
Ishâq
bin Ibrâhîm bin Makhlad (Ishâq bin Râhawaih).
d)
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin
Asad (Imâm Ahmad bin Hanbal).
e)
Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin
Bardizbah (Bukhârî).
f)
Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim bin Warad (Muslim).
g)
‘Alî bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdî bin Mas’ûd
bin an-Nu’mân bin Dînâr
(ad-Dâruquthnî); dan lain-lain.[4]
Sedangkan para ‘Ulamâ’ Muta-akhkhirîn (generasi baru/
generasi terakhir) yang mendapat gelar Amîr al-Mu’minîn yaitu:
a)
Al-Mizzî.
b)
Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin
‘Alî (Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
c)
Muhammad
bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qaymâz (adz-Dzahabî).
2. Al-Hâkim (الحَاكِمُ)
Al-Hakim yaitu: “Suatu gelar keahlian bagi para pakar
hadis yang menguasai seluruh permasalahan hadis baik matan yang diriwayatkan (marwiŷah)
maupun sanad[6]-nya, mengetahui perihal para perawi hadis
yang ‘adl[7] dan yang tercela (tajrîh), dan
mengetahui biografi para perawi, guru-guru para perawi tersebut, dan para
muridnya”.[8]
Para
Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Hakim
yaitu:
a)
‘Amrû
bin Dînâr al-Atsram (Ibnu Dînâr).
b)
Al-Laits.
c)
Mâlik
bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Âmir (Imâm Mâlik).
d)
Muhammad
bin Idrîs bin al-‘Abbâs bin ‘Utsmân bin Syâfi’ al-Qurasyî bin ‘Abdul Muthallib bin ‘Abdu Manâf (Imâm asy-Syâfi’î);
dan lain-lain.[9]
3. Al-Huĵah (الحُجَّةُ)
Al-Huĵah yaitu: “Gelar yang diberikan kepada para
pakar hadis yang kemampuan hapalan hadisnya dapat dijadikan huĵah dan menjadi
referensi bagi para penghafal lainnya”.[10]
Para
Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Huĵah yaitu:
a)
Hisyâm
bin ‘Urwah bin az-Zubair bin al-‘Aŵâm (Hisyâm bin ‘Urwah).
b)
‘Abdullâh
bin Dzakwân Abû az-Zinâd (Abû az-Zinâd).
c)
Mâlik
bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Âmir (Imâm Mâlik).
4. Al-Hâfizh (الحَافِظُ)
Al-Hâfizh yaitu: “Gelar
ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad[12] serta matan[13] hadis, dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para
perawi hadis, serta seorang al-Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas
menghafal 100.000 hadis”.[14]
Para
Muhadditsîn yang mendapat gelar al-Hâfizh yaitu:
a)
Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin
Bardizbah (Bukhârî).
b)
Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim bin Warad (Muslim).
c)
‘Abdurrahîm
bin al-Husain bin ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr bin Ibrâhîm (Zainuddîn al-‘Irâqî).
d)
Syarafuddîn
ad-Dimyathî.
e)
Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin
‘Alî (Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
5. Al-Muhaddits (المُحَدِّثُ)
Para
Ahli Hadis generasi pertama (mutaqaddimîn) menyatakan bahwa: “Al-Hâfizh
dan al-Muhaddits semakna (maknanya sama)”. Akan tetapi para Ahli Hadis
generasi terakhir (muta-akhkhirîn) menyatakan bahwa: “Al-Hâfizh
itu lebih khusus daripada al-Muhaddits”.
Al-Hâfizh Jalâluddîn
as-Suyûthî menjelaskan dalam Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawînya:
“Menurut Abû Syamah: “Ilmu Hadis yang harus dikuasai oleh seorang Ahli Hadis (Muhaddits)
yaitu: menghafal matan-matan hadis, dan mengetahui gharîb serta faqîh. Menghafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dan dapat membedakan antara yang shahîh[16] dengan yang dha’îf[17]. Menghimpun buku, menulis, mendengar, mencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya”.
Para
‘Ulamâ’ yang mendapat gelar al-Muhaddits yaitu:
a)
‘Athâ’
bin Abî Rabâh Aslam.
6. Al-Musnid (المُسْنِدُ)
Al-Musnid yaitu: “Gelar keahlian bagi para periwayat
Hadis beserta sanadnya; baik ia menguasai keadaan sanad ataupun tidak
menguasainya (tidak menguasai keadaan sanad)”.
Al-Musnid juga disebut dengan ath-Thâlib, al-Mubtadî,
dan ar-Râwî, yang bermakna: “Orang yang hanya mempelajari dan mengajar
Hadis, akan tetapi tidak mengetahui segala seluk-beluk Ilmu Hadis; ia lebih
cenderung sebagai perawi saja”.[19]
7. Thâlib al-Hadîts (طَالِبُ الْحَدِيْثِ)
Thâlib al-Hadîts yaitu: “Gelar yang diberikan kepada orang
yang memulai kariernya dalam bidang Hadis; dengan kata lain: “Orang yang sedang
mencari Hadis ataupun yang sedang mempelajari Hadis”.[20]
Gelar ini merupakan gelar terendah di antara sekian gelar di atas
(gelar-gelar sebelumnya).
BIBLIOGRAFI
As-Suyûthî, Jalâluddîn. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî.
Mesir: Maktabah
an-Najâh.
Ath-Thaĥân, Mahmûd. Taysîr Mushthalah al-Hadîts.
Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah.
Ismail, Muhammad Syuhudi. 1994. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:
Angkasa.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
[1] Ilmu Dirâyah al-Hadîts yaitu: “Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syarat
periwayatan, macam-macam periwayatan dan hukum-hukum periwayatan; keadaan para
perawi, syarat-syarat para perawi, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”. (Jalâluddîn as-Suyûthî. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb
an-Nawawî. Mesir: Maktabah an-Najâh. Juz. 1, hlm. 40).
[2] Ilmu Riwâyah
al-Hadîts yaitu: “Ilmu yang mempelajari tentang segala perkataan Nabi SAW; segala perbuatan beliau SAW; periwayatan
beliau SAW; batasan-batasan periwayatan suatu hadis; dan ketelitian semua
redaksi (matan) hadis”. (Jalâluddîn as-Suyûthî. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb
an-Nawawî. Mesir: Maktabah an-Najâh. Juz. 1, hlm. 40).
[6] Sanad yaitu: “Mata
rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/ isi)
hadis”. (Mahmûd
ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet.
V, hlm. 15).
[7] ‘Adl yaitu: “Orang yang
istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat
muru’ah”. (Mahmûd
ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet.
V, hlm. 33).
[12] Sanad yaitu: “Mata
rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/ isi)
hadis”. (Mahmûd
ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet.
V, hlm. 15).
[13] Matan yaitu: “Redaksi
atau isi Hadis”. (Mahmûd
ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet.
V, hlm. 15).
[16] Hadis Shahîh
ialah: “Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama,
baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna
ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada
kecacatan (‘illat)”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut:
Dâr ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 33 - 34).
[17] Hadis Dha’îf
ialah: “Hadis yang tidak menghimpun sifat Hadis Shahîh dan Hasan”. (Mahmûd ath-Thaĥân. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirut: Dâr
ats-Tsaqâfah al-Islâmiŷah. Cet. V, hlm. 62).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar