Apabila Shalat ‘Îdul Fithri Dan ‘Îdul Adĥâ Jatuh Pada Hari Jumu’ah
Oleh: Jati Sarwo Edi
Ada empat (4) pendapat mengenai hal ini, mereka yaitu:
1.
Madzhab
Hanbalî, al-Khaththâbî, dan ash-Shan’ânî.
Mereka
(Madzhab Hanbalî, al-Khaththâbî, dan ash-Shan’ânî) berpendapat bahwa: “Kewajiban Shalat Jumu’ah gugur karena telah mendirikan
Shalat ‘Îd (‘Îdul Fithri ataupun ‘Îdul Adĥâ); akan tetapi tetap mendirikan
Shalat Zhuhûr”.[1] Pendapat mereka (pendapat Madzhab
Hanbalî, al-Khaththâbî, dan ash-Shan’ânî) berdasarkan Hadis-hadis Shahîh di bawah ini:
Al-Imâm al-Hâfizh Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (No. Hadis: 5145):
حَدَّثَنَا
حِبَّانُ بْنُ مُوْسَى, قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ, قَالَ: أَخْبَرَنِيْ يُوْنُسُ,
عَنِ الزُّهْرِيِّ, قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبُوْ عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ, أَنَّهُ
شَهِدَ الْعِيْدَ يَوْمَ الْأَضْحَى مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ, ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ, فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ,
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ
هَذَيْنِ الْعِيْدَيْنِ. أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ.
وَأَمَّا الْآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُوْنَ مِنْ نُسُكِكُمْ. قَالَ أَبُوْ عُبَيْدٍ: ثُمَّ
شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ, فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.
فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ, ثُمَّ خَطَبَ, فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ, إِنَّ
هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيْهِ عِيْدَانِ. فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَّنْتَظِرَ
الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِيْ, فَلْيَنْتَظِرْ. وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَّرْجِعَ,
فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ. قَالَ أَبُوْ عُبَيْدٍ: ثُمَّ شَهِدْتُهُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ
أَبِيْ طَالِبٍ. فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ, ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ, فَقَالَ: إِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْكُلُوْا لُحُوْمَ
نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلَاثٍ.
“Hibbân bin Mûsâ bin Suwâr telah bercerita
kepada kami (kepada Bukhârî), dia (Hibbân bin Mûsâ bin Suwâr) berkata: “‘Abdullâh
bin al-Mubârak bin Wâdhih telah mengabarkan kami (mengabarkan Hibbân bin Mûsâ
bin Suwâr), dia (‘Abdullâh bin
al-Mubârak bin Wâdhih) berkata: “Yûnus bin Yazîd bin Abî an-Najâd telah
mengabarkan saya (mengabarkan ‘Abdullâh bin
al-Mubârak bin Wâdhih), dari Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh
bin Syihâb, dia (Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin Syihâb)
berkata: “Sa’d bin ‘Ubaid Maulâ ‘Abdurrahmân bin Azhar telah bercerita kepada
saya (kepada Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin Syihâb), sesungguhnya
dia (Sa’d bin ‘Ubaid Maulâ ‘Abdurrahmân bin Azhar) telah menyaksikan hari ‘Îdul
Adĥâ bersama ‘Umar bin al-Khaththâb. Maka ia (‘Umar bin al-Khaththâb) shalat ‘Îdul
Adĥâ sebelum khutbah, kemudian ia (‘Umar bin al-Khaththâb) berkhutbah kepada
kaum Muslimîn, dia (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai seluruh umat
manusia, sesungguhnya Rasûlullâh SAW. telah melarang kalian (kaum Muslimîn) berpuasa di kedua hari ‘Îd (‘Îdul Fithri dan ‘Îdul Adĥâ) ini. Yang
pertama yaitu di hari ‘Îdul Fithri setelah kalian (kaum Muslimîn) berpuasa (Ramadhân). Sedangkan yang lain yaitu di saat kalian (kaum Muslimîn) menyantap hasil dari hewan
qurban yang disembelih di hari ‘Îdul Adĥâ”. Dia (Sa’d bin ‘Ubaid Maulâ
‘Abdurrahmân bin Azhar) berkata: Saya (Sa’d bin ‘Ubaid Maulâ ‘Abdurrahmân bin Azhar)
telah menyaksikan hari ‘Îd bersama ‘Utsmân bin ‘Affân, dan pada saat itu adalah
hari Jumu’ah. Maka ia (‘Utsmân bin ‘Affân) shalat ‘Îd sebelum
khutbah, kemudian ia (‘Utsmân bin ‘Affân) berkhutbah, dia (‘Utsmân bin ‘Affân)
berkata: “Wahai seluruh Umat Manusia, sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua
Hari Besar (hari ‘Îd dan hari Jumu’ah). Bagi warga Madînah (Ahl al-‘Awâlî) yang
ingin mengikuti Shalat Jumu’ah, silahkan ikut serta. Maka siapa yang ingin
pulang, maka saya (‘Utsmân bin ‘Affân) telah membolehkan untuknya pulang”. Dia
(Sa’d bin ‘Ubaid Maulâ ‘Abdurrahmân bin Azhar) berkata: “Kemudian saya (Sa’d
bin ‘Ubaid Maulâ ‘Abdurrahmân bin Azhar) telah menyaksikan hari ‘Îdul Adĥâ bersama
‘Alî bin Abî Thâlib. Maka ia (‘Alî bin Abî Thâlib) shalat ‘Îdul Adĥâ sebelum
khutbah, kemudian ia (‘Alî bin Abî Thâlib) berkhutbah kepada kaum Muslimîn, ia
(‘Alî bin Abî Thâlib) berkata: “Sesungguhnya Rasûlullâh SAW. telah melarang
kalian (kaum Muslimîn) memakan daging-daging qurban (yang disimpan) lebih dari tiga
hari”. {HR. Bukhârî dalam (al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya: No. Hadis. 5145)}.
Al-Hâfizh Abû
Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 907):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى وَعُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الْوَصَّابِيُّ الْمَعْنَى, قَالَا:
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ, قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ, عَنِ الْمُغِيْرَةِ الضَّبِّيِّ,
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رُفَيْعٍ, عَنْ أَبِيْ صَالِحٍ, عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ,
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ
فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ. فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ, وَإِنَّا
مُجَمِّعُوْنَ.
“Muhammad bin Mushaffâ bin Bahlûl dan ‘Umar bin Hafsah bin ‘Umar telah
bercerita kepada kami (kepada Abû Dâwud), mereka berdua (Muhammad bin Mushaffâ bin Bahlûl dan ‘Umar bin Hafsah bin ‘Umar) berkata:
“Baqiŷah bin al-Walîd bin Shâ-id telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad
bin Mushaffâ bin Bahlûl dan ‘Umar bin Hafsah bin ‘Umar), dia
(Baqiŷah bin al-Walîd bin Shâ-id) berkata: “Syu’bah bin al-Haĵâj bin al-Warad telah bercerita kepada kami (kepada Baqiŷah bin al-Walîd bin Shâ-id), dari al-Mughîrah bin Miqsam, dari ‘Abdul ‘Azîz bin Rafî’, dari Dzakwân, dari Abû Hurairah, dari Rasûlullâh SAW. sesungguhnya
beliau SAW. bersabda: “Hari ini telah berkumpul dua Hari Besar (hari ‘Îd dan
hari Jumu’ah), siapa yang ingin pulang dan tidak mendirikan Shalat Jumu’ah saya
(Nabi SAW.) persilahkan, karena Shalat ‘Îd sebagai ganti Shalat Jumu’ah; akan
tetapi saya (Nabi SAW.) tetap akan Shalat Jumu’ah”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 907). Ibnu Mâjah dalam (Sunan Ibn Mâjahnya: No. Hadis. 1301). Al-Hâkim
dalam (al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya: No. Hadis. 1015)}.[2]
Al-Hâfizh Abû
Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 904):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيْرٍ, قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيْلُ, قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ
بْنُ الْمُغِيْرَةِ, عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِيْ رَمْلَةَ الشَّامِيِّ, قَالَ: شَهِدْتُ
مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِيْ سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ. قَالَ: أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِيْ يَوْمٍ؟.
قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟. قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ, ثُمَّ رَخَّصَ فِي
الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُّصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Muhammad bin Katsîr telah bercerita kepada kami (kepada Abû
Dâwud), dia (Muhammad bin Katsîr) berkata: “Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq telah mengabarkan kami (mengabarkan Muhammad
bin Katsîr), dia (Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq) berkata: “‘Utsmân bin al-Mughîrah telah bercerita kepada kami (kepada Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq), dari Iyâs bin Abî Ramlah, dia (Iyâs bin Abî Ramlah) berkata: “Saya (Iyâs bin Abî Ramlah) telah menyaksikan Mu’âwiyah bin Abî
Sufyân bertanya kepada Zaid bin Arqam. Dia (Mu’âwiyah bin Abî Sufyân) berkata:
“Apakah kamu (Zaid bin Arqam) telah menyaksikan dua Hari Besar (hari ‘Îd dan
hari Jumu’ah) berkumpul dalam satu hari?”. Dia (Zaid bin Arqam) berkata: “Iya”.
Dia (Mu’âwiyah bin Abî Sufyân) berkata: “Bagaimana prakteknya?”. Dia (Zaid bin
Arqam) berkata: “Shalat ‘Îd, kemudian meringankan shalat Jumu’ah”. Dia (Zaid
bin Arqam) berkata: “Siapa yang ingin shalat Jumu’ah (setelah shalat ‘Îd) maka
shalat (Jumu’ah) lah”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 904). An-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya: No. Hadis. 1573). Ibnu Mâjah dalam (Sunan Ibn Mâjahnya: No. Hadis. 1300). Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya: No. Hadis. 18513). Ad-Dârimî dalam (Sunan ad-Dârimînya: No. Hadis. 1561). Ibnu Khuzaymah dalam (Shahîh Ibn Khuzaymahnya: No. Hadis. 1385). Al-Hâkim
dalam (al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya: No. Hadis. 1014)}.[3]
Al-Hâfizh Abû
Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 905):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيْفٍ الْبَجَلِيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ, عَنِ الْأَعْمَشِ,
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِيْ رَبَاحٍ, قَالَ: صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِيْ يَوْمِ
عِيْدٍ, فِيْ يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ. ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ,
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا, فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا. وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ.
فَلَمَّا قَدِمَ, ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah telah bercerita kepada kami (kepada Abû
Dâwud), dia (Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah) berkata: “Asbâth bin Muhammad bin ‘Abdurrahmân telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah), dari Sulaimân bin Mihrân, dari ‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam, dia (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam) berkata: “Kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya) shalat ‘Îd
bersama ‘Abdullâh bin az-Zubair di hari Jumu’ah pada saat
permulaan siang hari. Kemudian kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în
yang lainnya) pergi (ke Masjid) untuk shalat Jumu’ah, sedangkan ia (‘Abdullâh
bin az-Zubair) tidak keluar kepada kami (untuk berjamâ’ah Shalat Jumu’ah), maka
kami (Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya) Shalat Zhuhur
sendiri (tanpa berjamâ’ah dengan ‘Abdullâh bin az-Zubair). Pada saat itu
‘Abdullâh bin ‘Abbâs sedang di Thâif. Ketika ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) kembali,
kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya) menceritakan hal
tersebut kepadanya (kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbâs). Maka ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs)
berkata: “Kalian (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya)
telah mengerjakan Sunnah Nabi SAW”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 905). An-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya: No. Hadis. 1574). Ibnu Khuzaymah dalam (Shahîh Ibn Khuzaymahnya: No. Hadis. 1465)}.[4]
2.
Madzhab
Syâfi’î dan Jamâ’ah (termasuk mayoritas Ahli Fiqih).
Mereka
(Madzhab Syâfi’î dan Jamâ’ah termasuk mayoritas Ahli Fiqih) berpendapat bahwa: “Tidak ada keringanan untuk meninggalkan Shalat
Jumu’ah apabila Shalat ‘Îd (Shalat ‘Îdul Fithri maupun ‘Îdul Adĥâ) jatuh pada
hari Jumu’ah. Karena dalil-dalil yang menerangkan tentang bolehnya meninggalkan
Shalat Jumu’ah apabila telah mendirikan Shalat ‘Îd (Shalat ‘Îdul Fithri maupun ‘Îdul
Adĥâ) yang jatuh secara bersamaan pada hari Jumu’ah tidak terperinci. Begitu
pula Hadis-hadis dan Atsar-atsar yang menerangkan tentang bolehnya meninggalkan
Shalat Jumu’ah apabila telah mendirikan Shalat ‘Îd (Shalat ‘Îdul Fithri maupun ‘Îdul
Adĥâ) yang jatuh secara bersamaan pada hari Jumu’ah juga tidak dapat
mentakhshîsh dalil-dalil yang menerangkan tentang kewajiban Shalat Jumu’ah”.[5] Pendapat
mereka (pendapat Madzhab Syâfi’î dan Jamâ’ah termasuk mayoritas Ahli Fiqih)
berdasarkan keumuman Ayat dan Hadis yang menerangkan tentang kewajiban Shalat
Jumu’ah sebagaimana di bawah ini:
Allâh
SWT. berfirman dalam Surat al-Jumu’ah (62), Ayat: 9
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ
مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَالِكُمْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (٩)
9. Wahai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk mendirikan Shalat Jumu’ah, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu
lebih baik bagimu jika kalian (orang-orang yang beriman) mengetahui.[6]
Al-Hâfizh Abû Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis:
901):
حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيْمِ, قَالَ: حَدَّثَنِيْ
إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُوْرٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا هُرَيْمٌ, عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ الْمُنْتَشِرِ, عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ, عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ, عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
فِيْ جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ, أَوِ امْرَأَةٌ, أَوْ صَبِيٌّ,
أَوْ مَرِيْضٌ. قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ: طَارِقُ بْنُ شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ شَيْئًا.
“‘Abbâs bin ‘Abdul ‘Azhîm telah bercerita kepada kami (kepada Abû Dâwud), dia (‘Abbâs bin ‘Abdul ‘Azhîm) berkata: “Ishâq bin
Manshûr telah bercerita kepada saya (kepada ‘Abbâs bin ‘Abdul ‘Azhîm), dia (Ishâq bin Manshûr) berkata: “Huraim bin Sufyân
telah bercerita kepada kami (kepada Ishâq bin Manshûr), dari Ibrâhîm bin
Muhammad bin al-Muntasyir bin al-Ajda’, dari Qais bin Muslim, dari Thâriq bin
Syihâb, dari Nabi SAW. beliau SAW. bersabda: “Shalat Jumu’ah wajib dilakukan
secara berjamâ’ah bagi seluruh kaum Muslimîn kecuali empat golongan, mereka
yaitu: 1. Hamba Sahaya. 2. Kaum Wanita. 3. Anak kecil (yang belum baligh). 4. Orang
yang sakit”.
“Al-Hâfizh Abû Dâwud berkata: “Thâriq bin Syihâb telah melihat Nabi SAW. Akan
tetapi ia (Thâriq bin Syihâb) sama sekali belum pernah mendengar secara
langsung periwayatan dari Nabi SAW”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 901). Al-Hâkim dalam (al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya: No. Hadis. 1013)}.[7]
Al-Hâfizh asy-Syaukânî berkata: “Apabila Shalat ‘Îd (Shalat ‘Îdul Fithri maupun ‘Îdul
Adĥâ) jatuh pada hari Jumu’ah, maka berdasarkan pendapat yang shahîh (yang
paling kuat) yang bersumber dari Imâm asy-Syâfi’î yaitu: “Bagi warga Madînah (Ahl
al-‘Awâlî) Shalat Jumu’ah tidak gugur walaupun telah mendirikan Shalat ‘Îd
(Shalat ‘Îdul Fithri maupun ‘Îdul Adĥâ). Dan bagi warga nomaden yang tinggal di
Madînah (al-‘Awâlî) apabila telah mendirikan Shalat ‘Îd (Shalat ‘Îdul
Fithri maupun ‘Îdul Adĥâ), maka diperbolehkan untuk meninggalkan Shalat Jumu’ah”.[8]
3. Madzhab ‘Abdullâh bin az-Zubair dan ‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam.
Mereka (Madzhab ‘Abdullâh bin az-Zubair dan ‘Athâ bin Abî
Rabâh Aslam) berpendapat bahwa: “Kewajiban Shalat
Jumu’ah dan Shalat Zhuhur gugur karena telah mendirikan Shalat ‘Îd (‘Îdul
Fithri ataupun ‘Îdul Adĥâ)”.[9] Pendapat mereka (pendapat Madzhab ‘Abdullâh bin az-Zubair dan ‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam)
berdasarkan Hadis-hadis di bawah ini:
Al-Hâfizh Abû
Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 904):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيْرٍ, قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيْلُ, قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ
بْنُ الْمُغِيْرَةِ, عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِيْ رَمْلَةَ الشَّامِيِّ, قَالَ: شَهِدْتُ
مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِيْ سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ. قَالَ: أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِيْ يَوْمٍ؟.
قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟. قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ, ثُمَّ رَخَّصَ فِي
الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُّصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Muhammad bin Katsîr telah bercerita kepada kami (kepada Abû
Dâwud), dia (Muhammad bin Katsîr) berkata: “Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq telah mengabarkan kami (mengabarkan Muhammad
bin Katsîr), dia (Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq) berkata: “‘Utsmân bin al-Mughîrah telah bercerita kepada kami (kepada Isrâ-îl bin Yûnus bin Abî Ishâq), dari Iyâs bin Abî Ramlah, dia (Iyâs bin Abî Ramlah) berkata: “Saya (Iyâs bin Abî Ramlah) telah menyaksikan Mu’âwiyah bin Abî
Sufyân bertanya kepada Zaid bin Arqam. Dia (Mu’âwiyah bin Abî Sufyân) berkata:
“Apakah kamu (Zaid bin Arqam) telah menyaksikan dua Hari Besar (hari ‘Îd dan
hari Jumu’ah) berkumpul dalam satu hari?”. Dia (Zaid bin Arqam) berkata: “Iya”.
Dia (Mu’âwiyah bin Abî Sufyân) berkata: “Bagaimana prakteknya?”. Dia (Zaid bin
Arqam) berkata: “Shalat ‘Îd, kemudian meringankan shalat Jumu’ah”. Dia (Zaid
bin Arqam) berkata: “Siapa yang ingin shalat Jumu’ah (setelah shalat ‘Îd) maka
shalat (Jumu’ah) lah”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 904). An-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya: No. Hadis. 1573). Ibnu Mâjah dalam (Sunan Ibn Mâjahnya: No. Hadis. 1300). Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya: No. Hadis. 18513). Ad-Dârimî dalam (Sunan ad-Dârimînya: No. Hadis. 1561). Ibnu Khuzaymah dalam (Shahîh Ibn Khuzaymahnya: No. Hadis. 1385). Al-Hâkim
dalam (al-Mustadrak
‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya: No. Hadis. 1014)}.[10]
Al-Hâfizh Abû Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis:
905):
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيْفٍ الْبَجَلِيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ, عَنِ الْأَعْمَشِ,
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِيْ رَبَاحٍ, قَالَ: صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِيْ يَوْمِ
عِيْدٍ, فِيْ يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ. ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ,
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا, فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا. وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ.
فَلَمَّا قَدِمَ, ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah telah bercerita kepada kami (kepada Abû
Dâwud), dia (Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah) berkata: “Asbâth bin Muhammad bin ‘Abdurrahmân telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Tharîf bin Khalîfah), dari Sulaimân bin Mihrân, dari ‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam, dia (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam) berkata: “Kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya) shalat
‘Îd bersama ‘Abdullâh bin az-Zubair di hari Jumu’ah pada saat
permulaan siang hari. Kemudian kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în
yang lainnya) pergi (ke Masjid) untuk shalat Jumu’ah, sedangkan ia (‘Abdullâh
bin az-Zubair) tidak keluar kepada kami (untuk berjamâ’ah Shalat Jumu’ah), maka
kami (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în yang lainnya) Shalat Zhuhur
sendiri (tanpa berjama’ah dengan ‘Abdullâh bin az-Zubair). Pada saat itu
‘Abdullâh bin ‘Abbâs sedang di Thâif. Ketika ia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) kembali,
kami menceritakan hal tersebut kepadanya (kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbâs). Maka ia
(‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Kalian (‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam dan para Tâbi’în
yang lainnya) telah mengerjakan Sunnah Nabi SAW”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 905). An-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya: No. Hadis. 1574). Ibnu Khuzaymah dalam (Shahîh Ibn Khuzaymahnya: No. Hadis. 1465)}.[11]
Al-Hâfizh Abû
Dâwud meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 906):
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ عَاصِمٍ, عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ, قَالَ:
قَالَ عَطَاءٌ: اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ.
فَقَالَ: عِيْدَانِ اجْتَمَعَا فِيْ يَوْمٍ وَاحِدٍ, فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا, فَصَلَّاهُمَا
رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً. لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ.
“Yahyâ bin Khalaf telah bercerita kepada kami
(kepada Abû Dâwud), dia (Yahyâ bin Khalaf) berkata: “Adh-Dhaĥâk bin Makhlad bin adh-Dhaĥâk bin Muslim telah bercerita kepada kami
(kepada Yahyâ bin Khalaf), dari ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Azîz bin Juraij, dia (‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Azîz bin Juraij) berkata: “‘Athâ bin Abî Rabâh Aslam berkata: “Hari Jumu’ah dan Hari ‘Îdul
Fithri pernah berkumpul dalam satu hari pada masa ‘Abdullâh bin az-Zubair. Dia (‘Abdullâh bin az-Zubair) berkata: “Dua Hari Besar
(hari ‘Îd dan hari Jumu’ah) telah berkumpul dalam satu hari, maka ia (‘Abdullâh
bin az-Zubair) menjama’ keduanya (menjama’ Shalat ‘Îdul Fithri dengan Shalat
Jumu’ah) menjadi dua raka’at pada saat pagi hari. Ia (‘Abdullâh bin az-Zubair)
tidak shalat (Zhuhur ataupun Jumu’ah) hingga ia (‘Abdullâh bin az-Zubair) shalat
‘Ashar”. {HR. Abû Dâwud dalam (Sunan Abî Dâwudnya: No. Hadis. 906)}.[12]
4.
Madzhab
Hanafî.
Sedangkan Madzhab Hanafî berpendapat bahwa: “Warga Madînah (Ahl al-‘Awâlî) wajib mendirikan Shalat
Jumu’ah. Selain warga Madînah (Ahl al-‘Awâlî) maka tidak wajib (mustahabb)
mendirikan Shalat Jumu’ah”.[13]
KESIMPULAN:
Saya (Jati Sarwo Edi) berpendapat bahwa: “Pendapat Madzhab Hanbalî, al-Khaththâbî, dan ash-Shan’ânî-lah yang
paling kuat dan tsâbit. Karena mereka (Madzhab Hanbalî, al-Khaththâbî,
dan ash-Shan’ânî) berdasarkan Hadis-hadis yang Shahîh”.
Argument saya (Jati Sarwo Edi): “Berdasarkan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Madzhab Hanbalî, al-Khaththâbî, dan ash-Shan’ânî, secara
substantif bahwa ‘Abdullâh bin az-Zubair dan para Tâbi’în tetap mendirikan
Shalat Zhuhur. Dalam riwayat Hadis-hadis di atas, mereka (‘Abdullâh bin
az-Zubair dan para Tâbi’în) hanya meninggalkan Shalat Jumu’ah saja. Di samping
itu ‘Abdullâh bin ‘Abbâs dalam riwayat di atas secara tegas membenarkan
perbuatan ‘Abdullâh bin az-Zubair dan para Tâbi’în yang meninggalkan Shalat
Jumu’ah, dan tetap mendirikan Shalat Zhuhur”.
Saya (Jati Sarwo Edi) melanjutkan: “Shalat ‘Îd (‘Îdul Fithri dan
‘Îdul Adĥâ) hukumnya SUNNAH menurut Jumhûr ‘Ulamâ (mayoritas ‘Ulamâ). Sedangkan
Shalat Zhuhur hukumnya WAJIB. Kewajiban Shalat 5 waktu disampaikan secara
langsung oleh Allah SWT. kepada Nabi SAW. melalui peristiwa Isrâ dan Mi’raj.
Sedangkan kewajiban Shalat Jumu’ah itu baru disyari’atkan (diwajibkan)
selanjutnya (kemudian hari). Oleh karena itu, tidak mungkin (mustahil) dalil-dalil
mengenai bolehnya meninggalkan Shalat Jumu’ah setelah mendirikan Shalat ‘Îd
(‘Îdul Fithri dan ‘Îdul Adĥâ) juga mentakhshîsh (mengkhususkan) ataupun
menasakh (menghapus) dalil-dalil Mutawâtir (baik dalam al-Qurân maupun
al-Hadis) yang mewajibkan Shalat 5 waktu (Shalat Zhuhur). Di samping itu,
kewajiban Shalat 5 waktu merupakan KEWAJIBAN TERTINGGI dalam Syari’at Islâm.
Maka tidak ada alasan (huĵah) apapun untuk meninggalkan Shalat 5 waktu (Shalat
Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isyâ)”.
[1] ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904 - 905), atau {(3/36 – 3/37), versi Maktabah Syâmilah}. Dan Syarh Hâsyiah
as-Sanadî ‘alâ Ibn Mâjah (No. Hadis: 1300), atau {(3/106), versi Maktabah
Syâmilah}.
[2] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dan al-Hâfizh
Ad-Dâruquthnî dalam at-Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi’î al-Kabîr
(No. Hadis: 698). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh al-Hâkim dalam
al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya (No. Hadis: 1015). Juga
di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1073), dan dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Ibn Mâjahnya (No. Hadis: 1311).
[3] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh ‘Alî bin al-Madînî
dalam ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904), dan juga dalam at-Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi’î al-Kabîr
(No. Hadis: 698). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah
dalam Shahîh Ibn Khuzaymahnya (No. Hadis: 1385), dan juga dalam Bulûgh
al-Marâm (1/92). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh al-Hâkim dalam
al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya (No. Hadis: 1014). Juga
di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1070), dan dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Ibn Mâjahnya (No. Hadis: 1310).
[4] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah dalam Shahîh
Ibn Khuzaymahnya (No. Hadis: 1465). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh
an-Nawawî dalam Nishb ar-Râyah fî Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah (3/408). Juga
di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1071), dan dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan an-Nasâ-înya (No. Hadis: 1592).
[5] ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904 - 905), atau {(3/36 – 3/37), versi Maktabah Syâmilah}.
[6] Surat al-Jumu’ah
(62), Ayat: 9.
[7] Hadis riwayat Abû Dâwud ini adalah Hadis Mursal Shahâbî,
karena Thâriq bin Syihâb sama sekali belum pernah mendengar periwayatan secara
langsung dari Nabi SAW; ia (Thâriq bin Syihâb) hanya pernah melihat Nabi SAW.
Hadis riwayat Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh al-Hâkim
dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya (No. Hadis: 1013).
Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1067), dan dalam Shahîh wa Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîrnya (No. Hadis:
5422).
[9] ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904 - 905), atau {(3/36 – 3/37), versi Maktabah Syâmilah}.
[10] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh ‘Alî bin al-Madînî
dalam ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904), dan juga dalam at-Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi’î al-Kabîr
(No. Hadis: 698). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah
dalam Shahîh Ibn Khuzaymahnya (No. Hadis: 1385), dan juga dalam Bulûgh
al-Marâm (1/92). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh al-Hâkim dalam
al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn li al-Hâkimnya (No. Hadis: 1014). Juga
di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1070), dan dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Ibn Mâjahnya (No. Hadis: 1310).
[11] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah dalam Shahîh
Ibn Khuzaymahnya (No. Hadis: 1465). Juga di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh
an-Nawawî dalam Nishb ar-Râyah fî Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah (3/408). Juga
di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1071), dan dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan an-Nasâ-înya (No. Hadis: 1592).
[12] Hadis riwayat Abû Dâwud ini berkualitas shahîh,
karena semua perawinya tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Hadis riwayat
Abû Dâwud ini di-shahîh-kan oleh: al-Hâfizh Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî Dâwudnya (No. Hadis: 1072).
[13] ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 904 - 905), atau {(3/36 – 3/37), versi Maktabah Syâmilah}.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar