Asbâbun
Nuzûl Surat
al-Baqarah (2), Ayat: 178
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى
بَعْدَ ذَالِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (١٧٨)
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian qishâsh[1] berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba (budak) dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan (ampunan) dari saudaranya, hendaklah
(yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma'af) membayar (Diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
Demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan (Allâh) kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.
Imâm Ibnu Jarîr[2] meriwayatkan dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (3/112 dan
3/105)[3]:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيْقٍ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِيْ, قَالَ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ, عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ, عَنْ
عَمْرِو بْنِ دِيْنَارٍ, عَنْ مُجَاهِدٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: كَانَ مَنْ
قَبْلُكُمْ يَقْتُلُوْنَ القَاتِلَ بِالْقَتِيْلِ لاَ تُقْبَلُ مِنْهُمُ الدِّيَةُ.
فَأَنْزَلَ اللهُ: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ
فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَالِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ).
"Muhammad bin 'Alî bin al-Hasan bin
Syaqîq[4] telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Jarîr), dia (Muhammad bin
'Alî bin al-Hasan bin Syaqîq) berkata: "Ayahku (namanya yaitu: 'Alî bin
al-Hasan bin Syaqîq[5]) telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin 'Alî bin
al-Hasan bin Syaqîq), dia ('Alî bin al-Hasan bin Syaqîq) berkata: "'Abdullâh
bin al-Mubârak[6]
telah bercerita kepada kami (kepada 'Alî bin al-Hasan bin Syaqîq), dari
Muhammad bin Muslim[7],
dari 'Amrû bin Dînâr[8], dari Mujâhid[9],
dari 'Abdullâh bin 'Abbâs[10], dia ('Abdullâh
bin 'Abbâs) berkata: "Dahulukala orang-orang sebelum kalian (yaitu: orang-orang
yang hidup pada masa Rasûlullâh SAW. dan masa para Sahabat) yang terbunuh tidak
menerima Diyat dari para pembunuh yang membunuh mereka". Maka Allâh SWT. menurunkan
(Surat al-Baqarah, Ayat: 178):
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى
بَعْدَ ذَالِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (١٧٨)
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba (budak) dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan (ampunan) dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (Diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). Demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan (Allâh) kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih".
Al-Hâfizh Ibnu Hibbân[14]
juga meriwayatkan sebagaimana
Hadis di atas
dalam Shahîh Ibn Hibbânnya (No. Hadis: 6116 atau 6010), melalui jalur sanad[15] al-Hâfizh al-Hasan bin
Sufyân bin 'Âmir bin 'Abdul 'Azîz bin an-Nu'mân.
PENJELASAN (kedudukan hadis di
atas):
Atsar[16] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi
Marfû’, maksudnya: hadis Mawqûf[17] yang dihukumi Marfû’[18]. Karena para Muhadditsîn[19] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfû’,
dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan
para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfû’ oleh
para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai huĵah (pedoman/ landasan) dalam
hukum Syara’ (Islâm).
PENJELASAN
(dari al-Hâfizh al-Jauzî[20]):
Kata al-Hâfizh
al-Jauzî dalam Zâd al-Masîr fî at-Tafsîrnya (1/167)[21]:
"Jamâ’ah Mufaŝirîn berpendapat bahwasannya Khithâb dalam Ayat (Surat
al-Baqarah, Ayat: 178) mansûkh[22]
dengan Ayat (Surat al-Mâidah, Ayat: 45):
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ
النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ
بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ (٤٥)
45. Dan Kami (Allâh) telah menetapkan terhadap mereka (terhadap
orang-orang Yahûdi) di dalamnya (di dalam Kitâb Taurât) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishâshnya. Barangsiapa yang
melakukan (hak qishâsh) nya, maka melakukan hal itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa yang memutuskan suatu perkara dengan tidak berdasarkan apa
yang diturunkan Allâh (maksudnya: memutuskan suatu perkara tidak berdasarkan
al-Qurân dan al-Hadîts al-Maqbûlah), maka mereka itu adalah orang-orang yang zhâlim". {Surat al-Mâidah,
Ayat: 45}.
Al-Hâfizh al-Jauzî
melanjutkan perkataannya: "(Jamâ’ah Mufaŝirîn melanjutkan perkataannya):
"Karena apabila dilihat dari perspektif Khithâbnya, ketika Allâh SWT. berfirman:
(الحُرُّ بِالْحُرِّ), maka Allâh SWT. telah menetapkan untuk tidak mengqishâsh
Hamba (budak) dengan Orang yang merdeka. Begitu pula ketika Allâh SWT.
berfirman: (الأُنْثَى بِالأُنْثَى), maka Allâh SWT. telah menetapkan untuk tidak
mengqishâsh Wanita dengan laki-laki".
Al-Hâfizh al-Jauzî
melanjutkan perkataannya: "Guru kami (guru al- Hâfizh al-Jauzî) yaitu:
'Alî bin 'Abdullâh berkata: "Menurut pendapat para Fuqahâ (para Ahli
Fiqih): "Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 178) tidak mansûkh (tidak terhapus).
Karena para Fuqahâ (para Ahli Fiqih) berpendapat bahwa: "Dalîl Khithâb
dapat menjadi huĵah (pedoman/ landasan) selama tidak bertentangan dengan dalil
yang lebih kuat darinya".
KESIMPULAN
1. Hadis di atas berkualitas shahîh[23], dan dikuatkan ke-râjih-annya
dengan Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hibbân melalui jalur
(sanad) al-Hâfizh al-Hasan bin Sufyân bin 'Âmir
bin 'Abdul 'Azîz bin an-Nu'mân sebagaimana yang telah
saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat
dijadikan huĵah (pedoman/ landasan) dalam Syara’ (Islâm).
2. Hukum yang terkandung dalam Surat al-Baqarah, Ayat: 178 mansûkh (terhapus/
dihapus) dengan hukum yang terkandung dalam Surat al-Mâidah, Ayat: 45,
sebagaimana penjelasan al-Hâfizh al-Jauzî di atas.
BIBLIOGRAFI
Jâmi’ al-Bayân
‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu
Jarîr/ Muhammad bin Jarîr bin
Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib).
Shahîh Ibn
Hibbân (al-Hâfizh Ibnu Hibbân/ Muhammad bin Hibbân bin Ahmad bin
Hibbân bin Mu’âdz bin Ma’bad).
Zâd al-Masîr fî at-Tafsîr (al-Hâfizh Ibnu al-Jauzî/ 'Abdurrahmân
bin 'Alî bin
Muhammad bin 'Alî bin al-Jauzî).
[1] Qishâsh
yaitu: "Menghukum dengan hukuman yang sama dengan perbuatan si
pelaku". Qishâsh tidak dilakukan apabila yang membunuh mendapat kema'afan
(ampunan) dari ahli waris (keluarga) yang terbunuh, yaitu: dengan membayar Diat
(ganti rugi) yang wajar. Pembayaran Diat dilakukan dengan cara yang baik,
umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah
membayar Diat-nya dengan baik pula, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
Apabila ahli waris (keluarga) si korban sesudah Allâh menjelaskan hukum-hukum
ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah
menerima Diat, maka ia juga harus diqishâsh; dan ia di akhirat juga mendapat
siksa Allâh yang sangat pedih.
[2] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib. Ia (Ibnu
Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-âdil-an dan
ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab (keturunan)
nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr
dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada
tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat
di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[3] Imâm Ibnu
Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân;
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar.
Cetakan Pertama, Juz. 3, halaman: 112 dan 105.
[4] Namanya yaitu:
Muhammad bin 'Alî bin al-Hasan bin Syaqîq. Ia (Muhammad bin 'Alî) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ pertengahan. Dan ia (Muhammad bin 'Alî) juga
merupakan seorang tsiqqah shâhib al-Hadîts (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang penulis Hadis). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-'Abidî asy-Syaqîqî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû 'Abdullâh. Tempat tinggalnya di Hamsh. Ia (Muhammad bin 'Alî) wafat pada tahun 250 Hijriyah.
[5] Namanya yaitu:
'Alî bin al-Hasan bin Syaqîq. Ia ('Alî bin al-Hasan bin Syaqîq) merupakan
seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Dan ia ('Alî
bin al-Hasan bin Syaqîq) juga merupakan seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel
ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh).
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-'Abidî al-Marwazî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû 'Abdurrahmân. Tempat tinggalnya di Hamsh.
Ia ('Alî bin al-Hasan bin Syaqîq) wafat di Kifr Jeddî pada tahun 215
Hijriyah.
[6] Nama lengkapnya
yaitu: ‘Abdullâh bin al-Mubârak bin Wâdhih. Ia (‘Abdullâh bin al-Mubârak)
merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Abdullâh bin
al-Mubârak) adalah seorang tsiqqah tsabat al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang konsisten). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Hanzhalî al-Marwazî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Tempat tinggalnya di Hamsh.
Ia (‘Abdullâh bin al-Mubârak) wafat di Hirrah pada tahun 181 Hijriyah.
[7] Nama lengkapnya
yaitu: Muhammad bin Muslim bin Sûsan. Ia (Muhammad
bin Muslim) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Ia (Muhammad bin Muslim) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în, al-Hâfizh
Abû Dâwud, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, al-Hâfizh al-Hâkim, dan al-Hâfizh
al-'Ijlî. Nasab (keturunan) nya yaitu: ath-Thâ-ifî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Ruwadz (salah satu Kota di Khurrâsân).
Ia (Muhammad bin Muslim) wafat pada tahun 177 atau 178 Hijriyah.
[8] Nama
lengkapnya yaitu: 'Amrû bin Dînâr al-Atsram. Ia ('Amrû bin
Dînâr) merupakan seorang Tâbi’în dekat pertengahan. Ia
('Amrû bin Dînâr) adalah seorang tsiqqah tsabat
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang
konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Jamhî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya: al-Atsram.
Tempat tinggalnya di Marwa ar-Ruwadz (salah satu Kota di Khurrâsân).
Ia ('Amrû bin Dînâr) wafat pada tahun 126 Hijriyah.
[9] Nama lengkapnya
yaitu: Mujâhid bin Jabar. Ia (Mujâhid) merupakan
seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Mujâhid) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Makhzûmî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Haĵâj. Tempat tinggalnya
di Marwa ar-Ruwadz (salah satu
Kota di Khurrâsân). Ia (Mujâhid) wafat di Marwa ar-Ruwadz pada tahun 102 Hijriyah.
[10] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia
(Ibnu ‘Abbâs) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr
(tafsir), fiqh (fikih), lughah (gramatika), Syi’ir
(Sya’ir), farâidh (waris) dan hadîts (hadis). Serta ia (Ibnu
‘Abbâs) telah meriwayatkan 1.660 Hadîts. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah
dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hâsyimî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Laqab
(gelar/titel) nya: Ibn ‘Abbâs, al-Hijr dan al-Bahr. Tempat
tinggalnya di Marwa ar-Ruwadz (salah satu
Kota di Khurrâsân). Ia (Ibnu ‘Abbâs) wafat di Thâ-if pada tahun
68 Hijriyah.
[11] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan antara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[12] Hadis Shahîh
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama,
baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna
ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada
kecacatan (‘illat).
[13] Tsiqqât
adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.
[14] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Hibbân bin Ahmad bin Hibbân bin Mu’âdz bin
Ma’bad. Ia (Ibnu Hibbân) merupakan seorang tsiqqah al-Imâm al-Hâfizh
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang
al-Imâm dan al-Hâfizh). Ia (Ibnu Hibbân) juga seorang pakar lughah
(gramatika) hadîts (hadis), târîkh (sejarah), ath-Thibb
(kedokteran), fiqh (fiqih), dan sebagainya. Nasab (keturunan) nya
yaitu: at-Tamîmî, ad-Dârimî al-Bustî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû Hâtim. Laqab (gelar/titel) nya: al-Hâfizh Ibn
Hibbân. Ia (Ibnu Hibbân) lahir di Bustî (salah satu Kampung yang
terletak di Sijistân) pada tahun 270 atau 271 Hijriyah. Tempat
tinggalnya di Khurrâsân. Ia (Ibnu Hibbân) wafat pada tahun 354 Hijriyah.
[15] Sanad
adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan
(redaksi/ isi) hadis.
[16] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[17] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[18] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[19] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[20] Nama lengkapnya
yaitu: 'Abdurrahmân bin 'Alî bin Muhammad bin 'Alî bin al-Jauzî. Ia (Ibnu
al-Jauzî) adalah seorang tsiqqah al-Imâm al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Imâm dan al-Hâfizh).
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî, at-Taymiŷ, al-Bakrŷ, al-Baghdâdî,
al-Hanbalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Faraj. Laqab
(gelar/titel) nya: al-Hâfizh Ibn al-Jauzî. Ia (Ibnu al-Jauzî) juga
seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts (hadis), lughah
(gramatika), adb (sastra), dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu
al-Jauzî) lahir pada tahun 508 Hijriyah. Ia (Ibnu al-Jauzî) wafat pada tahun
597 Hijriyah.
[22] Mansûkh
maksudnya: Hukum yang terkandung dalam Ayat (Surat al-Baqarah, Ayat: 178)
dihapus (mansûkh) dengan hukum yang terkandung dalam Ayat (Surat al-Mâidah,
Ayat: 45).
[23] Hadis Shahîh
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama,
baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna
ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada
kecacatan (‘illat).