Senin, 07 Maret 2011

STRATIFIKASI SOSIAL


STRATIFIKASI SOSIAL


1.      PENGERTIAN STRATIFIKASI SOSIAL
Kalau kita berbicara tentang sosiologi, maka kita akan mengenal istilah stratifikasi sosial. Stratifikasi  menurut Kamus Ilmiah Populer memiliki arti: letak berlapis-lapis; hal yang menyusun secara bertingkat atau berlapis, lapisan; klasifikasi masyarakat berdasarkan kedudukan; tingkat sosial (Pius, 2001).
Joseph B. Gitter merumuskan stratifikasi sebagai kebiasaan hubungan antar manusia secara teratus dan tersusun, sehingga setiap orang, setiap saat memiliki situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain secara vertikal maupun mendatar dalam masyarakat. Sedangkan Pitirin A. Sorokin mendefisinikan bahwa stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat; secara herarkis (Ishomuddin, 2005).
Dengan demikian, peranan yang diambil oleh orang dalam masyarakat ditentukan oleh situasi kelompok. Kemudian formatnya berupa perwujudan kelas-kelas tinggi dan kelas rendah.
Sedangkan pendidikan dalam arti yang sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran  agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Hasbullah, 2008).


2.      CARA-CARA MENENTUKAN GOLONGAN SOSIAL
Konsep tentang golongan sosial bergantung bagaimana cara seorang menentukan golongan sosial itu sendiri. Adanya golongan sosial karena adanya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat. Untuk menentukan stratifikasi sosial dapat mengikuti metode sebagai berikut (Nasution, 2009) : pertama, metode objektif. Stratifikasi ditentukan melalui metode yang objektif, antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan dan jenis pekerjaan. Biasanya keterangan seperti ini terkumpul ketika diadakan sensus penduduk.
Kedua, metode subjektif. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya sendiri dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. Misalnya dengan pertanyaan: “menurut pendapat saudara termasuk golongan manakah saudara di negeri ini, golongan atas, golongan menengah atau golongan rendah?”.
Dan yang ketiga, metode reputasi. Metode ini dikembangkan oleh W. Lloyd Warner. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaiman anggota menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. Kekurang metode ini adalah sering terjadi ketidaksesuaian dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu W. L. Warner mengikuti suatu cara yang realistis, yakni memberi kesempatan kepada orang dalam masyarakat itu sendiri untuk menentukan golongan-golongan mana yang terdapat dalam masyarakat itu, lalu mengidentifikasi anggota masing-masing golongan itu.
   

3.      KRITERIA STRATIFIKASI  SOSIAL
Adapun ukuran-ukuran atau kriteria yang dipakai dalam menentukan gologan kelas-kelas atau lapisan sosial (stratifikasi) adalah sebagai berikut (Ishomuddin, 2005) : pertama, Kriteria kekayaan. Siapa saja memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati lapisan teratas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadi, cara berpakaian serta jenis dan bahan pakaian, kebiasaan atau cara berbelanja dan lain sebagainya.
Kedua, Kriterian kekuasan (politik). Siapa saja yang memiliki kekuasan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati lapisan yang tinggi dalam pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Ketiga, Kriteria kehormatan (nilai). Siapa saja yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran seperti ini biasanya dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orang-orang tua atau orang-orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
Keempat, Kriteria ilmu pengetahuan (termasuk di dalamnya kecakapan dan keterampilan). Ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
  Ukuran-ukuran tersebut  diatas tidaklah bersifat limiift, oleh karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat dipergunakan. Akan tetapi kriteria atau ukuran di ataslah yang paling banyak digunakan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial.


4.      FUNGSI STRATIFIKASI SOSIAL
Pada umumnya orang beranggapan bahwa stratifikasi sosial menghambat kemajuan masyarakat atau individu. Sebenarnya stratifikasi sosial mempunyai juga beberapa keuntungan. Menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore, fungsi-fungsi dari stratifikasi sosial ialah sebagai berikut (Ishomuddin, 2008): pertama, stratifikasi menjelaskan kepada seseorang “tempat”nya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan, menjelaskan kepadanya bangaimana ia harus menjalankan dan sehubungan dengan tugasnya menjelaskan apa dan bagaiama efek serta sumbanganya kepada masyarakat.
Kedua, karena peranan dari setiap tugas dalam setiap masyarakat berbeda dan seringkali adanya tugas yang kurang dianggap penting oleh masyarakat (karena beberapa pekerjaan meminta pendidikan dan keahlian terlebih dahulu), maka berdasarkan perbedaan pesyaratan dan tuntutan atas prestasi kerja, masyarakat biasanya memberi imbalan kepada yang melaksanakan tugas dengan baik dan sebaliknya, “menghukum” yang tidak atau kurang baik. Dengan sendirinya terjadilah distribusi penghargaan, hal mana dengan sendirinya mengahasilkan pembentukan stratifikasi sosial.
Ketiga, penghargaan yang diberikan biasanya bersifat ekonomik, berupa pemberian status sosial atau fasilitas-fasilitas yang karena distribusinya berbeda (sesuai degan pemenuhan persyaratan dan penilaian terhadap pelaksanaan tugas) membentuk strukur sosial.


5.      PENDIDIKAN MENURUT PERBEDAAN SOSIAL
Pada umumnya di negara demokrasi orang sukar menerima adanya golongan-golongan sosial masyarakat. Menurut undang-undang semua warga negara sama, hak dan kewajiban sama perlakuan di hadapan undang-undang (Nasution, 2009).
Dalam keyataannya tidak dapat disangkal adanya perbedaan status sosial, baik yang nampak atau yang tersembunyi. Biasanya tergambar dalam penyikapan orang miskin kepada orang kaya, pegawai rendah kepada pegawai atas (atasannya) dan penyikapan terhadap simbol-simbol kekayaan.
Pendidikan bertujuan untuk membekali setiap anak didik agar dapat maju dan merubah taraf dalam hidupnya untuk mencapai tingkat setinggi-tingginya. Akan tetapi sekolah sendiri tidak mampu meniadakan batas-batas tingkatan atau lapisan sosial itu, karena masih banyak yang memeliharanya atau bahkan mempertajamnya. Di mata Weber ada dua tipe manusia yang ada di sekolah. Pertama, adalah mereka yang disebut dengan “insider”, yaitu mereka yang memiliki status budaya yang diperoleh dari tata nilai dan berbagai proses pengalaman di sekolah itu sendiri. Kedua, adalah mereka yang disebut dengan “outsider”, yaitu mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di sekolah (Zainuddin Maliki, 2010).
Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial dan jika demikian keadaanya, maka timbulah pertanyaan: “apakah lembaga sekolah harus mempertimbangkan perbedaan  itu dalam kurikulumnya?”. Artinya, memberikan pendidikan bagi setiap golongan masyarakat sesuai dengan status sosial dan kebutuhan masing-masing golongannya. Maka dengan spontanitas kita akan keberatan menerima itu, karena kita berfikir pendidikan itu harus demokratis dan meniadakan diskriminasi dalam pembelajaran, meskipun disana sini masih kental praktek stratifikasi dalam dunia pendidikan.


6.      PENUTUP
Dalam konsep Islam tidak mengenal kelas atau kelompok (stratifikasi) manusia dalam perbedaannya. Kecuali ketaqwaan dan amalan baiknya yang bisa membedakan antar satu dengan yang lain. Allah Swt tidak melihat dari sisi jasmaiahnya, akan tetapi Allah Swt melihat apa yang di balik jasmaniahnya, yaitu amalan dan kebersihan jiwanya. Karena mamang perspektif Islam bersifat theosentris; larangan dan perintah-perintah semuanya bersifat agama (ilahiyyah).
Dalam Islam kemenangan tekanan perorangan tidak nampak kecuali dengan agama. Manusia tidak lagi nampak dalam kelompok atau kelas tradisional seperti marga, suku ras, tetapi menekankan kepribadiannya secara perorangan atau kolektif, berdasarkan kepada Tuhan yang merupakan norma pokok, transenden dan mutlak. Wallaahua’lam.







BIBLIOGRAFI

Hasbullah, 2008. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi, Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Ishomuddin, 2005. Sosiologi Perspektif Islam, Malang : UMM Press.
----------, 2008, Bahan Ajar; Ilmu Sosial Budaya Dasar, Malang : Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Malang.
Maliki, Zainuddin, 2010. Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Nasution, 2009. Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara.
Partanto, Pius, 2001. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Penerbit Arkola.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar