Asbâbun Nuzûl
Surat al-Baqarah, Ayat: 142-144
سَيَقُوْلُ السُّفَهَآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ
عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (١٤٢)
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِِّتَكُوْنُوْا
شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَّمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ
مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ
هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ
رَّحِيْمٌ (١٤٣)
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ
أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ (١٤٤)
142. Orang-orang yang kurang akalnya[1]
di
antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam)
dari Kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka (umat Islam) telah berkiblat
kepadanya (kepada Baitul Maqdis)?". Katakanlah: "Kepunyaan Allâh-lah
Timur dan Barat. Dia (Allâh) memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya
ke jalan yang lurus".
143.
Dan demikian (pula) Kami (Allâh) telah menjadikan kalian (umat Islam) Umat yang
adil dan pilihan[2],
agar kalian (umat Islam) menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasûl
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (umat Islam). Dan Kami (Allâh)
tidak menetapkan Kiblat (Ka’bah) yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan
agar Kami (Allâh) mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasûl, dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan Kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allâh; dan Allâh tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
144.
Sungguh Kami (Allâh sering) melihat mukamu menengadah ke langit[3],
maka sungguh Kami (Allâh) akan memalingkan kamu (Nabi Muhammad) ke Kiblat yang
kamu (Nabi Muhammad) sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah).
Dan dimana saja kalian (umat Islam) berada, maka palingkanlah mukamu ke arahnya
(ke arah Masjidil Haram/ Ka’bah). Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurât dan Injîl) memang mengetahui bahwa
berpaling ke Masjidil Haram (Ka’bah) itu adalah benar dari Tuhannya (dari Allâh).
Dan Allâh sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka (umat Islam) kerjakan.
Al-Hâfizh[4] Ibnu Katsîr[5] mengeluarkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/274), dengan menisbahkan kepada Muhammad bin Ishâq dalam Tafsîr Muhammad Ibn
Ishâqnya:
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِيْ
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ أَبِيْ خَالِدٍ، عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ،
وَيُكْثِرُ النَّظْرَ إِلَى السَّمَآءِ يَنْتَظِرُ[6] أَمْرَ
اللهِ. فَأَنْزَلَ اللهُ: (قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ......). فَقَالَ رِجَالٌ مِّنَ
الْمُسْلِمِيْنَ: وَدِدْنَا لَوْ عَلِمْنَا عِلْمَ مَنْ مَاتَ مِنَّا قَبْلَ أَنْ نُّصْرَفَ
إِلَى الْقِبْلَةِ. وَكَيْفَ بِصَلاَتِنَا نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ؟. فَأَنْزَلَ
اللهُ: (....وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ....). وَقَالَ السُّفَهَآءُ مِنَ
النَّاسِ، وَهُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ: مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا
عَلَيْهَا؟. فَأَنْزَلَ اللهُ: (سَيَقُوْلُ السُّفَهَآءُ مِنَ النَّاسِ......) إِلَى آخِرِ الآيَةِ.
“Muhammad
bin Ishâq[7] berkata: “Ismâ’îl bin
Abî Khâlid[8] telah bercerita kepada
saya (kepada Muhammad bin Ishâq), dari Abû Ishâq[9], dari al-Barâ’ bin ‘Âzib[10], dia (al-Barâ’ bin
‘Âzib) berkata: “Dahulu Rasûlullâh SAW. shalat menghadap Baitul Maqdis, dan beliau
SAW. sering menengadahkan (mengarahkan) pandangannya ke Langit menunggu
perintah Allâh. Maka Allâh SWT. menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 144):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ..........
(١٤٤)
144. Sungguh Kami (Allâh
sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami (Allâh) akan
memalingkan kamu (Nabi Muhammad) ke Kiblat yang kamu (Nabi Muhammad) sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah)………….”.
“(Al-Barâ’ bin ‘Âzib melanjutkan perkataannya): “Maka berkatalah
sebagian kaum Muslimîn: “Alangkah senangnya bila kita mengetahui tentang mereka
(kaum Muslimîn) yang meninggal dunia sebelum kita (sebagian kaum Muslimîn)
berpindah Kiblat (ke Ka’bah). Dan bagaimana dengan Shalat kami (sebagian kaum
Muslimîn) yang menghadap Baitul Maqdis?”. Maka Allâh SWT. menurunkan (Surat
al-Baqarah, Ayat: 143):
....... وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ ....... (١٤٣)
143. ………. dan Allâh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian (wahai
Umat Islam)……….”.
“(Al-Barâ’ bin ‘Âzib melanjutkan perkataannya): “Dan berkatalah
orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, mereka adalah Ahli Kitâb
(kaum Yahûdi dan Nashrani): “Apa yang menyebabkan mereka (kaum Muslimîn)
berpaling dari Kiblat (Baitul Maqdis) mereka dahulu?”. Maka Allâh SWT.
menurunkan (Surat al-Baqarah, Ayat: 142):
سَيَقُوْلُ السُّفَهَآءُ مِنَ النَّاسِ .......
(١٤٢)
142. Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan
berkata…………….".
“(Al-Barâ’ bin ‘Âzib melanjutkan perkataannya): “Hingga
akhir Ayat (dari Surat al-Baqarah, Ayat: 142)”.
Al-Hâfizh[14] Ibnu Abî Hâtim[15] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya
(1/248 atau No. Hadis: 1328), (1/251 atau
No. Hadis: 1347), dan (1/252 atau No. Hadis: 1354).
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[16] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 2, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada Muhammad bin Ishâq dalam Tafsîr Muhammad Ibn
Ishâqnya.
Beliau (al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî) juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûrnya (2/5 - 2/6)[17].
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î mengutip (menuqil)
sebagaimana Hadis di atas dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya
(Surat al-Baqarah, Ayat: 142), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Jalâluddîn
as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûlnya (Juz. 2,
2/al-Baqarah).
Serta menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/274).
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[18] al-Barâ’ bin ‘Âzib di atas digolongkan Mawqûf li
hukmi Marfû’, maksudnya: hadis Mawqûf[19] yang dihukumi Marfû’[20]. Karena para Muhadditsîn[21] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfû’,
dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar al-Barâ’ bin ‘Âzib di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfû’ oleh
para Muhadditsîn, sehingga (hadis al-Barâ’ bin ‘Âzib di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam
hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN
Hadis di atas berkualitas shahîh[22], dan dikuatkan ke-râjih-annya
dengan Hadis-hadis melalui jalur (sanad) lain sebagaimana yang telah
saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr (al-Hâfizh as-Suyûthî/ al-Imâm al-Hâfizh
‘Abdurrahmân bin Abî Bakr).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/ al-Imâm al-‘Âlim Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib).
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh
as-Suyûthî/ al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin Abî Bakr).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/ Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim/ al-Imâm al-Hâfizh
‘Abdurrahmân bin Abî
Hâtim).
Tafsîr Ibn Ishâq (Ibnu Ishâq/ Muhammad bin Ishâq bin Yasâr).
[1] Di dalam “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî
bin Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr (Jilid.
1, Juz. 1, halaman: 453): al-Barâ’ bin ‘Âzib menafsirkan kata “السُّفَهَآءُ” dengan makna: “Orang-orang Ahli Kitâb (kaum
Yahûdi dan Nashrani)”.
Sedangkan di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay
al-Qurân, Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu
Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 616-617): ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, al-Barâ’
bin ‘Âzib, dan Mujâhid menafsirkan kata “السُّفَهَآءُ” dengan makna: “Orang-orang Yahûdi”. Adapun di
dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 617): as-suddŷ menafsirkan kata “السُّفَهَآءُ” dengan makna: “Orang-orang Munâfiq”.
[2] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin
‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2,
halaman: 627-629): “Diriwayatkan dari Abû Sa’îd al-Khudrŷ, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs,
dan Abû Hurairah mereka berkata: “Nabi SAW. menafsirkan kata “أُمَّةً
وَّسَطًا” dengan makna: “Umat (Islam)
yang adil”.
[3] Lihat: “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin
Muhammad as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr (Jilid. 1,
Juz. 1, halaman: 453).
[4] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[5] Nama
lengkapnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr. Nasab (keturunan) nya
yaitu: al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
al-Fidâ’. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn Katsîr. Ia (Ibnu
Katsîr) adalah seorang tsiqqah mutqan al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang kokoh dan kuat).
Ia (Ibnu Katsîr) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis) dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu Katsîr) lahir di Bashrah
pada tahun 700 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Bashrah. Ia (Ibnu Katsîr)
wafat di Bashrah pada tahun 774 Hijriyah, dan dikubur di Damsyiq
(Damaskus).
[6] Kata (يَنْتَظِرُ)
bisa juga diganti dengan (وَيَنْتَظِرُ).
(Sumber: “Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, Tahqîq Sâmî bin Muhammad
as-Salâmah”, karya al-Hâfizh Ibnu Katsîr; Jilid. 1, Juz. 1, halaman:
453).
[7] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Ishâq bin Yasâr. Ia (Ibnu Ishâq) merupakan
seorang Tâbi’în junior. Ia (Ibnu Ishâq) di-tsiqqah-kan
(dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh
Yahyâ bin Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-‘Ijlî. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Mathlabî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû Bakr. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Ishâq)
wafat di Baghdâd pada tahun 150 Hijriyah.
[8] Namanya yaitu:
Ismâ’îl bin Abî Khâlid. Ia (Ismâ’îl bin Abî Khâlid) merupakan seorang Tâbi’în
dekat pertengahan. Ia (Ismâ’îl bin Abî Khâlid) adalah seorang tsiqqah tsabat
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang
konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Bajlî al-Ahmasî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Kûfah.
Ia (Ismâ’îl bin Abî Khâlid) wafat pada tahun 146 Hijriyah.
[9] Nama sebenarnya
yaitu: ‘Amr bin ‘Abdullâh bin ‘Ubaid. Ia (Abû Ishâq) merupakan seorang
Tâbi’în pertengahan. Ia (Abû Ishâq) adalah seorang yang tsiqqah
(kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Nasab
(keturunan) nya yaitu: as-Sabî’î al-Hamdânî. Kuniyah (nama akrab)
nya yaitu: Abû Ishâq. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Abû Ishâq)
wafat di Kûfah pada tahun 128 Hijriyah.
[10] Nama
lengkapnya yaitu: al-Barâ’ bin ‘Âzib bin al-Hârits. Ia (al-Barâ’ bin ‘Âzib) merupakan
salah satu Sahabat Nabi SAW. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl.
Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Anshârî al-Awsî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Imârah. Tempat tinggalnya di Kûfah.
Ia (al-Barâ’ bin ‘Âzib) wafat di Kûfah pada tahun 72 Hijriyah.
[11] Muhadditsîn yaitu: Orang yang
hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar,
pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek
dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î,
Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud,
an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[12] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang
yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan
cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[13] Tsiqqât
adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.
[14] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[15] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim. Ia (Ibnu Abî Hâtim) adalah
seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang al-Hâfizh). Nasab (keturunan) nya yaitu: ar-Râzî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Ia (Ibnu Abî Hâtim)
adalah pakar tafsîr (tafsir) dan hadîts (hadis). Ia (Ibnu Abî
Hâtim) wafat pada tahun 327 Hijriyah.
[16] Nama sebenarnya
yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Jalâluddîn.
Laqab (gelar/titel) nya: as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî) adalah
seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh).
Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis), lughah (bahasa), adb (sastra), fiqh (fikih), târîkh
(sejarah) dan sebagainya. Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî.
Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat
tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada
tahun 911 Hijriyah.
[17] Al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî. Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr,
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Al-Qâhirah: Al-Muhandisîn.
Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 5-6.
[18] Atsar adalah: Sesuatu yang
disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan
perbuatan.
[19] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[20] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[21] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[22] Hadis Shahîh
ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama,
baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna
ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada
kecacatan (‘illat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar