Rabu, 23 Februari 2011

TAWAKAL


TAWAKAL

A.    PENGERTIAN TAWAKAL
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata “tawakkala” yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984, halaman 1687). Menurut kamus ilmiah popular tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah sambil berikhtiar (Dahlan, 2001, halaman 743). Seperti kalimat yang berbunyi “wakala ilaihi al-amra” artinya menyerahkan dan mempercayakan urusan kepadanya. Adapun ungkapan “ittakala ‘alallah” berarti tunduk dan patuh kepada Allah, sementara kalimat “tawakkal ‘alallah” berarti yakin dengan apa yang ada di sisi Allah Swt dan tidak bergantung serta tidak bersandar kepada apa-apa yang ada di tangan manusia.
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, namun sesungguhnya memiliki makna yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1.      Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal merupakan aktivias hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi,  Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337).
2.      Ibnu Qoyim al-Jauzi.
“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi, Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254).
3.      Imam Ibnu Qudamah Rohimahulloh,
Berkata: “Tawakal merupakan ungkapan dari penyandaran hati kepada yang disandari. Seseorang tidak tawakal kepada selainnya kecuali meyakini hal-hal berikut: adanya kecintaan, kekuatan, dan petunjuk. Jika kamu telah mengetahuinya, maka analogikan dengan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla. Jika telah mantap dalam hatimu, tiada yang berbuat kecuali Alloh dan engkau telah meyakini bahwa ilmu, kemampuan, dan rahmat Alloh sempurna, tiada lagi quroh, ilmu dan rahmat selainnya, maka engkau harus tawakalkan hatimu kepada-Nya, jangan berpaling kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapati ini dalam hatimu maka ada dua sebab, pertama, lemahnya keyakinan terhadap perkara-perkara tadi. Kedua, lemahnya hati karena digerogoti rasa takut dan rasa was-was yang mendominasi.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, 363).



B.     URGENSI TAWAKAL
Tawakal adalah separuh agama. Separuh lainnya adalah inabah. Sebab agama itu terdiri dari isti’anah dan ibadah. Tawakal adalah isti’anah dan inabah adalah ibadah, bahkan merupakan ubudiyah semata-mata dan tauhid murni, jika pelakunya benar-benar merealisasikannya. (lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim, 2/118).
Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertawakal pada banyak ayat, diantaranya: (1) “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Al-Maidah: 23). (2) “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. at-Thalaq: 3), (3) “Dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi pelindung.” (QS. an-Nisa’: 81), (4) “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. al-Imran: 159).
Artinya Allah SWT-lah yang akan mencukupkannya jika dia bertawakal dan bersandar kepada-Nya. Barang siapa yang hendak melakukan suatu urusan yang penting hendaklah dia bertawakal kepada-Nya di dalam melakukan urusannya itu. Akan tetapi janganlah dia hanya bersandar kepada-Nya saja, melainkan dia harus berusaha dengan segenap kemampuannya untuk tercapainya urusannya itu, dan pada saat yang sama dia berharap dan bersandar kepada Allah. Karena, orang yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menyempurnakan dan mencukupkan urusannya.
Jika Allah mengetahui seseorang hamba hanya bersandar kepada-Nya dan tidak tidak bersandar kepada yang selain-Nya niscaya Allah akan menolong hamba itu pada apa saja yang dia inginkan: dan seandainya seluruh manusia bekerjasama satu sama lain untuk mencelakakan hamba itu, niscaya mereka sama sekali tidak akan bisa mendatangkan sedikit pun kecelakaan baginya, walaupun hanya sebesar sayap nyamuk. Karena, Allah SWT lah yang berdiri di belakangnya dan menjaganya.
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, “Ya Allah hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati”. (HR. Muslim)
            Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil” kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka: “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal”. (HR. Bukhari)
            Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang”. (HR. Tirmidzi)
Ketika seorang manusia bersandar dan bertawakal kepada Allah SWT maka pikirannya menjadi jernih dan hatinya menjadi tenang. Semua perasaan takut dan kekhawatiran yang terjadi di dunia ini merupakan akibat logis dari tidak adanya tawakal kepada Allah SWT. Barang siapa bertawakal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya niscaya dia menjadi seorang pahlawan yang pemberani. Karena, orang yang bertawakal kepada Allah tidak mengenal kecemasan dan kekhawatiran. Anda melihat mereka senantiasa bersemangat di dalam bekerja demi dunia dan akhirat mereka. Tawakal dan penyadaran diri mereka kepada Allah, membantu mereka untuk bisa keluar dengan mudah dari berbagai kesulitan. Sebaliknya, manusia yang senantiasa cemas dan gelisah, maka ketika nafsu amarahnya menerpa dirinya, untuk kemudian menjerumusn-nya ke dalam lembah yang hina.


C.    DERAJAT TAWAKAL
Terdapat tujuh derajat yang membedakan ketawakkalan seseorang.  Adapun derajat-derajat dari tawakal itu sendiri adalah sebagai berikut ini:
1.      Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2.      Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3.      Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya
4.      Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
5.      Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6.      Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7.      Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44) “Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya".



D.    CIRI-CIRI TAWAKAL
Bagi seorang yang bertawakal secara benar mempunyai beberapa cirri. Diantara cirri-ciri orang yang bertawakkal adalah sebagi berikut:
1.      Tidak pernah berharap dan tidak pernah takut kecuali pada Allah Swt. Cirinya orang yang seperti ini adalah berbicara terang-terangan dengan orang yang secara adat kebiasaan diharapkan dan ditakuti seperti para umara’ dan sultan.
2.      Kepusingan masalah rizki tidak pernah masuk ke dalam hatinya karena sangat percaya akan jaminan dan tanggungan Allah Swt, sehingga ketika ada rizki yang sedang ia butuhkan maka hatinya tenang setengang bahkan lebih tenang daripada ketika ada.
3.      Hatinya tidak akan terguncang dan bingung di dalam suasana yang diduga kuat itu menakutkan, karena ia yakin sesuatu yang tidak akan menimpanya itu tidak akan menimpanya dan sesuatu yang akan menimpanya itu tidak akan bisa dihindari. Dari posisi inilah dapat diposisikan hikayat-nya Sayyidi As-Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, semoga Allah memberi manfaat yakni sesungguhnya beliau sedang menerangkan tentang “qadarnya Allah” tiba-tiba seekor ular besar jatuh, maka semua hadirin lari bercerai-berai menjauhinya. Ular itu melilit dan berjalan di lehernya, masuk dari satu lengan bajunya dan keluar dari salah satu lengan baju lainnya, sedangkan beliau tetap tegar tidak gentar dan tidak memutuskan keterangannya. Sebagian guru ditanya ketika dia dilemparkan ke hewan buas agar memakannya, ternyata hewan itu tidak menyakitinya, “apa yang kau pikirkan ketika kau dilemparkan ke hewan buas itu?” dia menjawab di dalam hukum air liurnya hewan buas itu karena keyakinan, “Hasbunallah wa ni’mal wakil”.


E.     SYUBUHAT SEPUTAR TAWAKAL
Tawakal itu bukanlah sebuah kepasrahan. Sebagian orang menyangka bahwa tawakal identik dengan pasrah total. Dan hal ini merupakan anggapan yang sangat keliru, karena tawakal itu menuntut akan rasa optimis dan aktif. Perhatikan dalil-dalil berikut: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”. (QS. at-Thalaq: 3)
Dalam ayat ini Allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal termasuk rizki. Apakah artinya orang tersebut tidak berupaya dan tidak kerja lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit? Apakah ada orang yang berkeinginan memiliki anak tetapi tidak pernah mengumpuli istrinya lantas diberi anak? Tentu tidaklah demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya dengan orang yang ingin memiliki anak maka ia harus beristri dan mengumpuli istrinya tersebut. Jadi tidak mungkin Allah memberi rizki kepada seseorang tanpa adanya ikhtiar (upaya) sedikitpun.
Hadits berikut akan membantu untuk memperjelas hal tersebut. Dari Umar bin Khaththab Ra, Rasulullah Saw bersabda, “andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (Shahih,HR. Tirmidzi: 2344, dan berkata hadits hasan shahih, Ibnu Majah: 4164, Ahmad, dishahihkan al-Albani).
Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha? Sebagian orang mukmin ada yang berkata, "Jika orang yang bertawakal kepada Allah itu akan diberi rezeki, mengapa kita harus lelah, berusaha, dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rezeki kita datang dari langit?" Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik, atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa dan yang kepada-Nya tempat bergantung. Para ulama ? semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan? telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata, "Dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang, kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, "Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rezekiku datang sendiri." Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."  Dan beliau bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Jadi tawakkal bagi seorang muslim adalah perbuatan dan harapan dengan disertai hati yang tenag, jiwa yang tentram serta keyakinan yang kuat bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah Swt pasti terjadi, dan apa yang tida dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Wallaahua’lam.






BIBLIOGRAFI

Al-Atsari, Abu Nu’aim, Tawakal Bukan Berarti Pasrah, Minggu, 15 Agustus 2010 ,Lentera
Sunnah, google.com.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 2007. Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim), Terjemah,
Jakarta: Darul Falah, Cetakan kesebelas.
Dahlan, 2001. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola.
Ilahi, Fadhl, Definisi Tawakal, 29 Maret 2008, pukul 2: 46 AM, google.com.
Maulan Rikza, Makna Tawakal, Selasa, 29 Muharram 1432/4 Januari 2011, google.com.
Mazhahiri, Husain, 1993. Jihad An-Nafs, Terjemah, Jakarta: Lentera Basritama.
Risalah al-Mu’awanah, Kebon Jambu, Ciri-ciri Tawakal yang Benar, 28 Augutus 2010,
google.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar