Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 150
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ
شَطْرَهُ لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا
مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِيْ وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِيْ عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُوْنَ (١٥٠)
150. Dan dari mana saja kamu (Nabi Muhammad) keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah). Dan di mana saja kalian (Kaum Muslimîn) berada,
maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya (ke arah Masjidil Haram/ Ka’bah),
agar tidak ada hujjah (alasan) bagi manusia atas kalian (atas Kaum Muslimîn); kecuali
orang-orang yang zhalim[1] di antara mereka. Maka janganlah kalian (Kaum Muslimîn) takut
kepada mereka (kepada Kaum Musyrikîn penduduk Makkah), dan takutlah kepada-Ku (kepada Allâh) saja. Dan
agar Aku (Allâh) sempurnakan nikmat-Ku
atasmu, dan supaya kalian (Kaum Muslimîn) mendapat
petunjuk.
حَدَّثَنِيْ مُوْسَى, قَالَ: حَدَّثَنَا
عَمْرُوْ, قَالَ: حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ, عَنِ السُّدِّيِّ, فِيْمَا يَذْكُرُ عَنْ
أَبِيْ مَالِكٍ, وَعَنْ أَبِيْ صَالِحٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, وَعَنْ مُرَّةَ
الْهَمْدَانِيِّ, عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, وَعَنِ نَّاسٍ مِّنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ, قَالُوْا: لَمَّا صُرِفَ نَّبِيُّ اللهِ نَحْوَ الْكَعْبَةِ بَعْدَ صَلاَتِهِ
إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ, قَالَ الْمُشْرِكُوْنَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ: تَحَيَّرَ
عَلَى مُحَمَّدٍ دِيْنُهُ, فَتَوَجَّهَ بِقِبْلَتِهِ إِلَيْكُمْ، وَعَلِمَ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ أَهْدَى مِنْهُ سَبِيْلاً، وَيُوْشِكُ أَنْ يَدْخُلَ فِيْ دِيْنِكُمْ. فَأَنْزَلَ
اللهُ فِيْهِمْ: (........لِئَلاَّ يَكُوْنَ
لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِيْ.......).
“Mûsâ
bin Sahl[3] telah bercerita kepada saya (kepada Ibnu Jarîr), dia (Mûsâ bin
Sahl) berkata: “‘Amrû bin Hammâd[4] telah bercerita kepada kami (kepada Mûsâ bin Sahl), dia (‘Amrû bin
Hammâd) berkata: “Asbâth bin Nashr[5]
telah bercerita kepada kami (kepada ‘Amrû bin Hammâd), dari as-Suddŷ[6],
sebagaimana yang ia (as-Suddŷ) kemukakan dari Abû Mâlik[7], dan dari Abû
Shâleh[8],
dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs[9], dan dari
Murrah al-Hamdânŷ[10], dari ‘Abdullâh
bin Mas’ûd[11], dan dari beberapa
Sahabat Nabi SAW. Mereka (‘Abdullâh bin Mas’ûd dan beberapa Sahabat Nabi SAW.)
berkata: “Ketika (arah Kiblat) dirubah oleh Nabi SAW. ke arah Ka’bah setelah
(sebelumnya) Shalat beliau SAW. ke (arah) Baitul Maqdis (Masjid al-Aqshâ), Kaum
Musyrikîn penduduk Makkah berkata: “(Nabi) Muhammad dibingungkan agama (Islâm)
nya sendiri; ia (Nabi Muhammad) mengarahkan Kiblatnya (Kiblat kaum Muslimîn) ke
Kiblat kalian (ke Kiblat Baitul Maqdis/ Masjid al-Aqshâ), ia (Nabi Muhammad)
mengetahui bahwa jalan kalian (jalan Kaum Musyrikîn penduduk Makkah) lebih benar,
dan hampir saja ia (Nabi Muhammad) masuk agama kalian (masuk agamanya Kaum
Musyrikîn penduduk Makkah)”. Maka Allâh
SWT. menurunkan mengenai mereka (maka Allâh SWT. menurunkan mengenai perkataan
Kaum Musyrikîn penduduk Makkah Surat al-Baqarah, Ayat: 150):
........ لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ
عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِيْ
........ (١٥٠)
150. ………… agar tidak ada hujjah (alasan) bagi manusia atas kalian (atas Kaum Muslimîn); kecuali
orang-orang yang zhalim di antara mereka. Maka janganlah kalian (Kaum Muslimîn) takut
kepada mereka (kepada Kaum Musyrikîn penduduk Makkah), dan takutlah kepada-Ku (kepada Allâh) saja………….”.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[14] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 2, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada Riwayat Imâm Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân
‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (2/686 – 2/687).
Beliau (al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî) juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûrnya (2/35)[15] atau
(1/148).
PENJELASAN
(mengenai Hadis di atas):
Dalam Hadis Riwayat Imâm Ibnu Jarîr di atas, ada dua perawi yang masih
diperdebatkan (diperselisihkan) ke-tsiqqah-annya oleh para Muhadditsîn,
mereka berdua yaitu:
1.
As-Suddŷ al-Kabîr (nama
sebenarnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Abdurrahmân bin Abî Karîmah), dia (as-Suddŷ
al-Kabîr) ditsiqqahkan oleh: al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal, Muslim,
Ibnu Hibbân, al-Hâkim, dan al-‘Ijlî.
Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în berkata: “Hadisnya (as-Suddŷ al-Kabîr) dha’îf (lemah)”.
Al-Hâfizh Yahyâ bin Sa’îd al-Qaththân berkata: “Dia (as-Suddŷ
al-Kabîr) tidak apa-apa (tidak mengkhawatirkan)”. Al-Hâfizh
an-Nasâ-î berkata: “Dia (as-Suddŷ al-Kabîr) tidak kuat”. Al-Hâfizh
Ibnu ‘Adî berkata: “Hadisnya (as-Suddŷ al-Kabîr) lurus”. Sedangkan Al-Hâfizh
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî menyatakan: “Dia (as-Suddŷ al-Kabîr) adalah seorang
yang jujur dan mengkhawatirkan. Ibnu Hibbân menyebutkan (as-Suddŷ al-Kabîr)
dalam Târîkh ats-Tsiqâtnya, bahwa: “Ia (as-Suddŷ al-Kabîr) tsiqqah”.
2.
Abû Shâleh (nama sebenarnya yaitu: Bâdzâm/ Bâdzân), dia (Abû Shâleh)
ditsiqqahkan oleh: al-Hâfizh Ibnu Syâhain dan al-‘Ijlî.
Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în berkata: “Dia (Abû Shâleh) tidak kuat”. Al-Hâfizh
Yahyâ bin Sa’îd al-Qaththân berkata: “Para Sahabat kami tidak meninggalkan
periwayatannya (Abû Shâleh)”. Al-Hâfizh Ibnu Mahdî berkata: “Tinggalkan
Hadisnya (Abû Shâleh)”. Sedangkan Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî
menyatakan: “Dia (Abû Shâleh) adalah seorang yang dha’îf (lemah) dan
mudallis”.
PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[16] ‘Abdullâh bin Mas’ûd dan para
Sahabat yang lain di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfû’,
maksudnya: hadis Mawqûf[17] yang dihukumi Marfû’[18]. Karena para Muhadditsîn[19] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfû’,
dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin Mas’ûd dan para
Sahabat yang lain di atas tergolong hadis Mawqûf
yang dihukumi Marfû’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin Mas’ûd dan para
Sahabat yang lain di atas) dapat dijadikan
sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN
2.
Abû Shâleh sangat diperdebatkan (diperselisihkan) ke-tsiqqah-annya oleh
mayoritas Muhadditsîn; akan tetapi Abû Shâleh tidak meriwayatkan
sendirian saja, karena Abû Mâlik (nama sebenarnya yaitu: Ghazwân) juga
meriwatkan Hadis di atas bersama Abû Shâleh. Sehingga amanlah Hadis di atas
dari ke-dha’îf-an dan tadlis Abû Shâleh.
BIBLIOGRAFI
Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr (al-Hâfizh as-Suyûthî/ ‘Abdurrahmân bin Abî
Bakr).
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/ Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin
Katsîr bin Ghâlib).
Lubâb
an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh
as-Suyûthî/ ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr).
[1] Imâm Ibnu
Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân;
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar.
Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 686-687.
[2] Nama
lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib. Ia (Ibnu
Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-âdil-an dan
ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab (keturunan)
nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr
dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada
tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat
di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[3] Nama lengkapnya yaitu: Mûsâ bin Sahl bin Qâdim. Ia (Mûsâ bin Sahl) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ pertengahan. Dan ia (Mûsâ bin Sahl) juga
merupakan seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya).
Ia (Mûsâ bin Sahl) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan
ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim, al-Hâfizh
Ibnu Hibbân, dan al-Hâfizh adz-Dzahabî. Nasab (keturunan) nya
yaitu: ar-Ramlî an-Nasâ-î. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
‘Imrân. Tempat tinggalnya di Syâm. Ia (Mûsâ bin Sahl) wafat di Ramalah
(Palestina) pada tahun 262 Hijriyah.
[4] Nama lengkapnya yaitu: ‘Amrû bin Hammâd bin Thalhah. Ia (‘Amrû bin Hammâd) merupakan seorang Tabi’ al-Atbâ’ senior. Ia (‘Amrû bin
Hammâd) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya)
oleh: al-Hâfizh Muhammad bin Sa’d, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-Hâfizh
Mathîn. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Kûfî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya: al-Qannâd. Tempat tinggalnya di Kûfah.
Ia (‘Amrû bin Hammâd) wafat pada tahun 222 Hijriyah.
[5] Namanya yaitu:
Asbâth bin Nashr. Ia (Asbâth bin Nashr) merupakan seorang Tabi’ Tâbi’în pertengahan. Ia (Asbâth bin Nashr) di-tsiqqah-kan
(dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh
Yahyâ bin Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, al-Hâfizh Ibnu Syâhain, dan al-Hâfizh Ibnu Khalafûn. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Hamdânî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû Yûsuf. Tempat tinggalnya di Kûfah.
[6] Nama sebenarnya
yaitu: Ismâ’îl bin ‘Abdurrahmân bin Abî Karîmah. Ia (as-Suddŷ al-Kabîr) merupakan seorang Tâbi’în dekat
pertengahan. Ia (as-Suddŷ al-Kabîr) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal, al-Hâfizh
Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, al-Hâfizh al-Hâkim, dan al-Hâfizh
al-‘Ijlî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî. Kuniyah
(nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Laqab (gelar/titel) nya: as-Suddŷ al-Kabîr. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (as-Suddŷ al-Kabîr) wafat pada
tahun 127 Hijriyah.
[7] Nama sebenarnya
yaitu: Ghazwân. Ia (Abû Mâlik) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia
(Abû Mâlik) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan
ke-dhabith-annya). Ia (Abû Mâlik) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan
ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Yahyâ bin
Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-Hâfizh adz-Dzahabî. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Ghaffârî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû Mâlik. Tempat tinggalnya di Kûfah.
[8] Nama sebenarnya
yaitu: Bâdzâm. Ia (Abû Shâleh) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia
(Abû Shâleh) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya)
oleh: al-Hâfizh Ibnu Syâhain, dan al-Hâfizh al-‘Ijlî. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Hâsyimî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû Shâleh.
[9] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia
(Ibnu ‘Abbâs) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr
(tafsir), fiqh (fikih), lughah (gramatika), Syi’ir
(Sya’ir), farâidh (waris) dan hadîts (hadis). Serta ia (Ibnu
‘Abbâs) telah meriwayatkan 1.660 Hadîts. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah
dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hâsyimî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Laqab
(gelar/titel) nya: Ibn ‘Abbâs, al-Hijr dan al-Bahr. Tempat tinggalnya
di Marwa ar-Rawadz (salah satu Kota di Khurrâsân). Ia (Ibnu
‘Abbâs) wafat di Thâ-if pada tahun 68 Hijriyah.
[10] Nama sebenarnya
yaitu: Murrah bin Syurâhîl. Ia (Murrah) merupakan seorang Tâbi’în senior. Ia (Murrah) adalah seorang yang tsiqqah (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Hamdânî as-Saksakî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû Ismâ’îl. Laqab (gelar/titel) nya: ath-Thîb. Tempat tinggalnya di Kûfah.
Ia (Murrah) wafat pada tahun 76 Hijriyah.
[11] Nama
lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin Mas’ûd bin Ghâfil bin Hubaib. Ia (Ibnu Mas’ûd) merupakan
seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr (tafsir), lughah
(gramatika), Syi’ir (Sya’ir), dan hadîts (hadis). Semua Sahabat
Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Hadzlî
al-Madanî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdurrahmân. Laqab
(gelar/titel) nya: Ibn Umm ‘Abd. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Ibnu
Mas’ûd) wafat di Madînah pada tahun 32 Hijriyah.
[12] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[13] Hadis Hasan
Shahîh memiliki beberapa makna yaitu: 1. Hadis yang memiliki dua sanad, shahîh
dan hasan. 2. Sebagian Muhadditsîn ada yang menilai Hadis
tersebut shahîh; dan sebagian Muhadditsîn yang lain menilai hasan.
3. Ataupun sebagian Muhadditsîn ada yang menilai Hadis tersebut shahîh
lighayrih; dan sebagian Muhadditsîn yang lain menilai hasan
lidzâtih.
[14] Nama sebenarnya
yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Jalâluddîn.
Laqab (gelar/titel) nya: al-Hâfizh as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî)
adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang al-Hâfizh). Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr
(tafsir), hadîts (hadis), lughah (gramatika), adb (sastra),
fiqh (fikih), târîkh (sejarah), dan sebagainya. Nasab
(keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah
pada tahun 849 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî)
wafat di Qâhirah pada tahun 911 Hijriyah.
[15] Al-Hâfizh
Jalâluddîn as-Suyûthî. Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr,
Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Al-Qâhirah: Al-Muhandisîn.
Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 35.
[16] Atsar
adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa
perkataan dan perbuatan.
[17] Hadis Mawqûf
yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[18] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[19] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[20] Hadis Hasan
Shahîh memiliki beberapa makna yaitu: 1. Hadis yang memiliki dua sanad, shahîh
dan hasan. 2. Sebagian Muhadditsîn ada yang menilai Hadis
tersebut shahîh; dan sebagian Muhadditsîn yang lain menilai hasan.
3. Ataupun sebagian Muhadditsîn ada yang menilai Hadis tersebut shahîh
lighayrih; dan sebagian Muhadditsîn yang lain menilai hasan
lidzâtih.