PENGAMALAN
HADIS DHA'ÎF
Muhammad Ajaj
al-Khâthib berkata dalam al-Mukhtashar al-Wajîz fî 'Ulûm al-Hadîtsnya (halaman:
157-160): "Para 'Ulamâ berbeda pendapat dalam pengamalan Hadis Dha'îf
(lemah). Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat, yaitu:
A.
Hadîts Dha'îf (lemah) tidak dapat diamalkan secara mutlak., baik dalam keutamaan 'amal (fadhâil al-a'mâl) maupun dalam hukum
(ahkâm), sebagaimana diberitakan oleh al-Hâfizh Ibnu Saŷid an-Nâs dari
al-Hâfizh Yahyâ bin al-Ma'în. Pendapat pertama ini adalah pendapat al-Hâfizh
al-Bukhârî, al-Hâfizh Muslim bin al-Haĵâj, al-Hâfizh Ibnu Hazm, dan Abû Bakr
Ibn al-'Arabî.
B.
Hadis Dha'îf (lemah) dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam fadhâil al-a'mâl (keutamaan 'amal) maupun dalam
masalah hukum (ahkâm). Pendapat ini adalah pendapat al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal
dan al-Hâfizh Abû Dâwud, mereka berdua (al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dan al-Hâfizh
Abû Dâwud) berpendapat: "Hadis Dha'îf (lemah) lebih kuat daripada pendapat
para 'Ulamâ". Imâm Ibnu ash-Shalâh berkata menjelaskan perkataan al-Hâfizh
Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya: "Yang dimaksud perkataan al-Hâfizh
Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya yaitu: "Pada masa al-Hâfizh Ahmad bin
Hanbal dan yang lainnya, Hadis baru diklasifikasi menjadi tiga, yaitu: Shahîh, Dha'îf
dan Mawdhû', adapun klasifikasi Hadis Hasan maupun Hasan Shahîh baru
diperkenalkan oleh al-Hâfizh at-Tirmidzî. Oleh karena itu, maksud dari
perkataan al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya yaitu: "Hadis Hasan
maupun Hasan Shahîh, dan bukanlah Hadis Dha'îf".
C. Hadis Dha'îf (lemah) dapat
diamalkan dalam fadhâil al-a'mâl (keutamaan amal), mau'izhah (pelajaran dan nasehat),
targhîb (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhîb (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalânî, yaitu sebagai berikut:
1.
Hadisnya tidak terlalu dha'îf, contoh: "Hadis Mursal".
2.
Masuk dalam kategori Hadis yang diamalkan (ma'mûl bih), contoh: "Hadis
Muhkam (Hadis Maqbûl yang tidak bertentangan dengan Hadis lain), Hadis Nâsikh (Hadis
yang membatalkan hukum pada Hadis sebelumnya), Hadis Râjih (Hadis yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya)".
3.
Tidak diyakini kebenarannya secara mutlak kebenaran Hadis tersebut,
akan tetapi karena berhati-hati (ikhthiyath)".[1]
[1] Sumber: "al-Mukhtashar
al-Wajîz fî 'Ulûm al-Hadîts", karya: Muhammad Ajaj al-Khâthib (halaman:
157 - 160).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar