SHALAT RAWATIB 4 RAKAAT DIPISAH DENGAN SALAM
ATAU TIDAK ?
Ada 2 pendapat mengenai dipisah atau tidaknya
shalat Rawatib 4 raka’at. Adapun penjelasannya sebagaimana berikut:
1. 4 Raka’at Shalat Rawatib Dipisah Dengan Salam Pada Setiap Raka’at Kedua (2 raka’at
salam, 2 raka’at salam)
Para ‘Ulamâ’ yang memisah shalat
Rawatib 4 raka’at dengan salam yaitu: “IMÂM
ASY-SYÂFI’Î DAN IMÂM AHMAD BIN HANBAL”. Mereka (Imâm asy-Syâfi’î dan
Imâm Ahmad bin Hanbal) berdasarkan (berlandaskan) kepada Hadis sebagaimana di
bawah ini:
Ini
adalah lafazh Matan Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 1103):
حَدَّثَنَا عَمْرُوْ بْنُ مَرْزُوْقٍ, قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ, عَنْ
يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ, عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَارِقِيِّ, عَنِ ابْنِ
عُمَرَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: صَلَاةُ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى.
“‘Amrû bin Marzûq telah bercerita
kepada kami (kepada Abû Dâwud), dia (‘Amrû bin Marzûq) berkata: “Syu’bah telah
mengabarkan kepada kami (kepada ‘Amrû bin Marzûq), dari Ya’lâ bin ‘Athâ’, dari
‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, dari Nabi SAW; beliau
SAW. bersabda: “SHALAT (SUNNAH/NAWÂFIL) pada malam dan SIANG HARI ADALAH 2 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM), 2
RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM)”.[1]
2. 4 Raka’at Shalat Rawatib Tidak Dipisah (alias bersambung) Sampai Raka’at
Terakhir (raka’at ke 4) Kemudian Salam
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa 4 raka’at shalat Rawatib tidak dipisah dengan salam yaitu:
“JUMHÛR MUSLIMÎN”. Mereka (Jumhûr Muslimîn) berpendapat
bahwa: “Hadis yang menerangkan shalat Rawatib 4 raka’at pada siang hari
dipisah dengan salam (yaitu: riwayat ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ, dari ‘Abdullâh
bin ‘Umar) adalah: HADIS SYADZDZ, karena Hadis
tersebut bertentangan dengan periwayatan Mayoritas Ahli ‘Ilmu dari ‘Abdullâh
bin ‘Umar, sebagaimana dalam Shahîhayn (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim)”.[2]
Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în berkata: “Hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar
(sebagaimana Hadis di atas) tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan),
karena ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ adalah perawi yang
dha’îf (lemah). NÂFI’, ‘ABDULLÂH BIN DÎNÂR,
SERTA JAMÂ’AH meriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Umar TANPA MENYEBUTKAN KATA “PADA SIANG HARI”. Adapun
pendapat yang mengatakan bahwa Imâm Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa shalat 4
raka’at dipisah dengan salam yang mendasarkan kepada riwayat ‘Alî bin ‘Abdillâh
al-Bâriqŷ adalah bathil (salah/keliru), karena RIWAYAT
YANG BENAR (TEPAT) adalah sebagaimana (di bawah ini):
قَالَ
يَحْيَى بْنُ مَعِيْنٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الْأَنْصَارِيُّ:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَتَطَوَّعُ بِالنَّهَارِ
أَرْبَعًا, لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ.
“Yahyâ bin Ma’în berkata: “Yahyâ bin
Sa’îd al-Anshârŷ telah bercerita kepada kami (kepada Yahyâ bin Ma’în), dari
Nâfi’, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, bahwa sesungguhnya dia (‘Abdullâh bin ‘Umar) SHALAT SUNNAH PADA SIANG HARI 4 RAKA’AT, TANPA MEMISAHKAN DI
ANTARANYA (TANPA MEMISAHKAN DI ANTARA 4 RAKA’AT)”.
Dan juga sebagaimana Hadis Shahîh riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Syaibah
dalam al-Mushannaf Abî Bakr Ibn Abî Syaibahnya (2/274):
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ, عَنْ عُبَيْدِ اللهِ, عَنْ نَافِعٍ, عَنِ
ابْنِ عُمَرَ, أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ بِالنَّهَارِ أَرْبَعًا أَرْبَعًا.
“Ibnu Numair telah
bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî Syaibah), dari ‘Ubaidillâh, dari Nâfi’,
dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, sesungguhnya dia (‘Abdullâh bin ‘Umar) SHALAT (SUNNAH) 4 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM), 4 RAKA’AT (KEMUDIAN
SALAM)”.
Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în melanjutkan perkataannya: “Dan masih
banyak Hadis-hadis Shahîh yang lainnya”.[3]
Al-Hâfizh Ibnu ‘Abdul Bâr berkata: “Tidak ada seorang perawi
pun yang meriwayatkan kata “PADA SIANG HARI”
dari ‘Abdullâh bin ‘Umar kecuali ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ. Saya (al-Hâfizh
Ibnu ‘Abdul Bâr) mendustai (mengingkari) periwayatan ‘Alî bin ‘Abdillâh
al-Bâriqŷ”.[4]
Al-Hâfizh at-Tirmidzî berkata dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan
at-Tirmidzînya (No. Hadis. 543): “Sebagian Muhadditsîn ada yang
memarfu’kan Hadis riwayat ‘Abdullâh bin ‘Umar; sebagian Muhadditsîn yang lain
juga ada yang memawqûfkan Hadis riwayat ‘Abdullâh bin ‘Umar. Akan tetapi Hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar yang BENAR (TEPAT)
adalah tanpa kata “PADA SIANG HARI”, sebagaimana
dalam Shahîhayn (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim)”.
Al-Hâfizh an-Nasâ-î berkata dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya
(No. Hadis. 1648): “Menurut pendapat saya (al-Hâfizh an-Nasâ-î) Hadis ini (hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar) yang tercantum kata “PADA
SIANG HARI” adalah keliru (salah)”.
KESIMPULAN:
1.
Hadis yang dijadikan dasar Imâm asy-Syâfi’î dan Imâm Ahmad bin
Hanbal adalah HADIS SYADZDZ dan DHA’ÎF, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah
(pedoman/lanadasan) dalam hukum Syarâ’ (Islam).
2.
Yang dapat kita jadikan hujjah (pedoman/landasan) adalah
pendapat Jumhûr Muslimîn, karena mereka (Jumhûr Muslimîn) berdasarkan Hadis-hadis Shahîh dan keterangan-keterangan yang jelas (sharîh) dan kuat (rajîh).
3.
Shalat Rawatib 4 raka’at tidak boleh dipisah dengan salam. Karena
tidak ada nash-nash yang sharîh (tegas) dan shahîh (sah)
yang menerangkannya.
4.
Shalat Rawatib 4 raka’at boleh diselingi DENGAN
TAHIYAT AWAL pada raka’at ke 2, sebagaimana pendapat ‘Abdullâh bin
al-Mubârak, Sufyân ats-Tsaurŷ dan Muhammad
bin Ishâq.
5.
Shalat Rawatib 4 raka’at boleh dilakukan secara langsung TANPA TAHIYAT AWAL, terus disambung hingga raka’at ke
4 kemudian salam, berdasarkan keumuman lafazh Hadis-hadis yang
menerangkan shalat Rawatib 4 raka’at.
[1] Hadis ini juga diriwayatkan oleh: al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam (al-Jâmi’
ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî: No. Hadis. 389, 394 dan 543). Al-Hâfizh
an-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ: No. Hadis. 1648). Al-Hâfizh
Ibnu Mâjah dalam (Sunan Ibn Mâjah: No. Hadis. 1312). Al-Hâfizh Ahmad
bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal: No. Hadis. 4560 dan
4876). Al-Hâfizh ad-Dârimî dalam (Sunan ad-Dârimî: No. Hadis.
1510). Al-Hâfizh ath-Thabrânî dalam (al-Mu’jam al-Awsath: No. Hadis. 79, dan al-Mu’jam ash-Shaghîr: No. Hadis. 47). Al-Hâfizh ad-Dâruquthnî
dalam (Sunan ad-Dâruquthnî: No. Hadis. 1565 dan 1566). Al-Hâfizh al-Bayhaqî
dalam (as-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqî: 2/487, versi
Maktabah Syâmilah). Al-Hâfizh ‘Abdurrazzâq dalam (al-Mushannaf ‘Abd
ar-Razzâq: 2/176, versi Maktabah Syâmilah). Al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah
dalam (Shahîh Ibn Khuzaymah: No. Hadis. 1146 atau 4/438, versi Maktabah
Syâmilah). Al-Hâfizh Ibnu Hibbân dalam (Shahîh Ibn Hibbân: No.
Hadis. 2496, 2528, 2529 dan 2541).
[2] At-Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi’î
al-Kabîr, karya al-‘Allâmah Sirâjuddîn ‘Umar bin ‘Alî
al-Anshârŷ; Hadis No. 544.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar