AGAMA dan PERKEMBANGAN ETOS KERJA
Definisi
Definisi Agama
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, agama berasal dari kata sangsekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa(kitab suci mereka bernama Agama).1
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).2
Agama juga diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan dilarang.3
Definisi Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat .
Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance). Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance). Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula.
Pembahasan
Peranan Agama dalam Mewujudkan Hubungan yang Positif antara “Kesalehan” dan “Tingkah Laku Ekonomi” di Desa Suralaya
(Tesis Mohamad Sobary)
Konsep Islam di Desa Suralaya
Konsep Kesalehan
Mohamad Sobary menggambarkan konsep kesalehan di Desa Suralaya menjadi dua konsep:
Kesalehan Ritual
Kesalehan Ritual di Desa Suralaya seperti: Puasa Ramadhan, berhaji, mengaji di Surau atau Masjid, dll.
Kesalehan Sosial
Kesalehan Sosial di Desa Suralaya seperti: bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, semangat berdagang, hemat, gotong royong, lebaran(untuk memelihara sillaturrahim), dll.4
Agama(kesalehan ritual) Sebagai Salah Satu Pembentuk Etos Kerja
Kesalehan Ritual yang dimaksud adalah seperti: pergi haji, menjadi Ulama’ atau Ustadz, memakai peci putih(yang dibeli di Makkah), membangun Masjid atau Surau. Adapun pembahasanya sebagai berikut:
Pergi Haji
Dalam berdagang seorang Haji lebih dipercaya daripada yang bukan haji. Dengan memakai peci putih maka ia akan banyak memperoleh keuntungan.
Menjadi Ulama’ atau Ustadz
Ulama’ atau Ustadz di Desa Suralaya menempati posisi sosial yang istimewa. Masyarakat di Desa Suralaya lebih hormat kepada Ulama’ atau Ustadz daripada yang lain.
Dari kedua poin di atas Muhammad Sobary menyatakan bahwa: “kesalehan tidak hanya terletak dalam Masjid(kesalehan ritual), tetapi juga dalam kegiatan ekonomi(kesalehan sosial)”. dengan kata lain, kesalehan sebagai suatu ideologi keagamaan ditampakkan dalam bentuk-bentuk praktik-praktik sosial dan ekonomi”.
Mohamad Sobary melanjutkan, bahwa: “agama dan bakat bisnis kecil-kecilan telah dipakai sebagai sarana kelangsungan hidup bagi penduduk Suralaya. Ketika mereka bergiat dalam bisnis, mereka terlihat tahan uji. Selain itu, mereka juga memilki semangat komersialisme seperti: hemat, kerja keras, rajin, terampil”. Kemudian Mohamad Sobary mengatakan: “Agama bukanlah faktor penentu satu-satunya, akan tetapi agama hanya salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pendek kata, agama Islam memainkan peran yang menentukan dalam membentuk semangat berdagang di kalangan penduduk(Betawi) Suralaya”. 5
ETIKA PROTESTAN DAN SEMANGAT KAPITALISME
(Max Weber)
Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang idnvidu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.
Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.
Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.
Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:
Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemeweahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.
Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika, aturan-aturan ilmiah dan yurisprudensi, sistematisasi rasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.
Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.
Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.
Kesimpulan
Agama bukanlah faktor penentu satu-satunya, akan tetapi agama hanya salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang atau suatu kelompok. Pendek kata, agama memainkan peran yang menentukan dalam membentuk etos kerja seseorang atau suatu kelompok.
BIBLIOGRAFI
Ishomuddin. 1996. Sosiologi Agama. Malang: UMM Press.
Madjid, Nurcholish. 1996. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Sobary, Mohamad. 1995. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Surabaya: Pustaka
Promethea.
1 Ishomudin. 1996. Sosiologi Agama. Malang: UMM Press. Hal. 27
2 Ibid., hal. 28
3 Ibid., hal. 29
4 Mohamad Sobary. 1995. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Hal. 168
5 Ibid., hal. 216-217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar